Industri

Dua Faktor Pengancam Pemulihan Ekonomi Indonesia Menurut Sri Mulyani, Apa Saja?

  • Indonesia menargetkan pemulihan ekonomi dan reformasi struktural dimulai tahun ini. Di tengah pandemi COVID-19 yang masih menyebar, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati sejumlah faktor yang dapat merusak skenario pemulihan tersebut.

<p>Menteri Keuangan, Sri Mulyani memberikan keterangan pers terkait pertumbuhan ekonomi di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis, 20 Mei 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>

Menteri Keuangan, Sri Mulyani memberikan keterangan pers terkait pertumbuhan ekonomi di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis, 20 Mei 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

(Istimewa)

JAKARTA – Indonesia menargetkan pemulihan ekonomi dan reformasi struktural dimulai tahun ini. Di tengah pandemi COVID-19 yang masih menyebar, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati sejumlah faktor yang dapat merusak skenario pemulihan tersebut.

Faktor utama ancaman pemulihan ekonomi Indonesia berasal dari India. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini khawatir lonjakan kasus COVID-19 dan gangguan distribusi vaksin memperlambat ekonomi Indonesia.

“Lonjakan kasus Covid-19 di India yang begitu dramatis dan menjalar ke berbagai belahan dunia tetap menimbulkan bayangan ketidakpastian dan risiko pelemahan ekonomi global datang kembali,” kata Sri Mulyani dalam sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Kamis, 20 Mei 2021.

Menurut pantauan Worldometers, kasus COVID-19 di India secara kumulatif mencapai 25,5 juta pada Kamis, 20 Mei 2021. Tingkat penyebaran kasusnya pun sangat tinggi, rata-rata kasus positif COVID-19 selama sepekan terakhir mencapai 307.913 kasus.

Ani, sapaan akrab Sri Mulyani, khawatir tidak terkendalinya kasus COVID-19 di India menghambat Indonesia mencapai target 181,5 juta penerima vaksin. Pasalnya, India menjadi salah satu negara produsen vaksin COVID-19 di dunia.

Waspada Inflasi Amerika Serikat

Bila India masih fokus mengendalikan wabah, lain halnya dengan Amerika Serikat yang telah menunjukan perbaikan ekonomi yang signifikan.

Sri Mulyani menyebut perbaikan ekonomi Amerika Serikat yang tampak dari angka inflasinya bisa berdampak negatif terhadap kondisi perekonomian dalam negeri. Bendahara Negara was-was Indonesia bakal mengalami taper tantrum usai The Fed, Bank sentral Amerika Serikat, mengencangkan kembali kebijakan moneternya.

Seperti diketahui, keputusan The Fed mengurangi quantitative easing (QE) pada 2013 silam menimbulkan volatilitas yang tinggi di pasar keuangan Indonesia.

Kondisi ini lah yang coba diantisipasi Sri Mulyani. Apalagi, pemerintah masih berencana menambah utang Rp323,4 triliun melalui skema lelang Surat Berharga Negara (SBN).

“Proyeksi kenaikan inflasi yang meningkat di Amerika Serikat berpotensi mengancam momentum pemulihan ekonomi Amerika Serikat apabila diikuti dengan pengetatan kebijakan moneter oleh The Fed. Ini dapat menciptakan efek rambatan (spillover), volatilitas dan ketidakpastian di sektor keuangan, serta dinamika arus modal global seperti saat terjadinya taper tantrum,” ungkap Sri Mulyani.

Seperti diketahui, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menargetkan target pertumbuhan ekonomi di kisaran 4,3%-5,3% tahun ini. Bendahara pun menyebut harus mengambil langkah cepat menyangkut pandemi COVID-19 serta mewaspadai dinamika arus modal global.

“Kita semua perlu terus menjaga optimisme dengan terjadinya tren pemulihan ini, namun tidak boleh membuat kita lengah bahkan harus tetap waspada karena ketidakpastian masih tinggi. Kerja keras belum selesai,” ujar Sri Mulyani.(RCS)