Biayai COVID-19, Sri Mulyani Terbitkan Utang Syariah Rp35 Triliun
JAKARTA – Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan surat utang obligasi syariah berdenominasi dolar Amerika Serikat atau Sukuk Global senilai US$2,5 miliar setara Rp35 triliun untuk membantu pembiayaan dalam penanganan COVID-19. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan dalam pernyataan resmi, Kamis, 18 Juni 2020, menyatakan Sukuk Global itu terdiri dari […]

Sukirno
Author


Ilustrasi utang luar negeri Indonesia. / Pixabay
(Istimewa)JAKARTA – Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan surat utang obligasi syariah berdenominasi dolar Amerika Serikat atau Sukuk Global senilai US$2,5 miliar setara Rp35 triliun untuk membantu pembiayaan dalam penanganan COVID-19.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan dalam pernyataan resmi, Kamis, 18 Juni 2020, menyatakan Sukuk Global itu terdiri dari tiga seri dengan struktur akad wakalah.
Seri-seri tersebut mempunyai tenor 5 tahun dengan kupon 2,3% senilai US$750 juta, tenor 10 tahun dengan kupon 2,8% senilai US$1 miliar dan tenor 30 tahun dengan kupon 3,8% senilai US$750 juta.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Kupon untuk tenor 5 dan 10 tahun ini merupakan yang terendah untuk penerbitan Sukuk Global yang pernah diterbitkan pemerintah. Penerbitan untuk tenor 30 tahun ini merupakan yang terbesar di Asia dan juga merupakan penerbitan Sukuk Global Indonesia dengan kupon terendah yang pertama kali di pasar keuangan global.
Penerbitan Sukuk Global akan dicatatkan di Singapore Stock Exchange dan NASDAQ Dubai serta akan dilaksanakan setelmen pada 23 Juni 2020.
Penerbitan ini mendapatkan respons baik dari investor global dan lokal karena menghasilkan orderbook hingga US$16,66 miliar setara Rp233 triliun lebih atau hampir 6,7 kali dari target US$2,5 miliar. Dengan besarnya orderbook, Pemerintah dapat menekan harga sampai 70 bps dari harga penawaran awal dan di bawah indikatif fair value.
Penerbitan ini dilakukan melalui Perusahaan Penerbit SBSN Indonesia III, sebuah badan hukum yang dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia khusus untuk melakukan penerbitan SBSN.
Setiap seri telah mendapatkan peringkat Baa2 oleh Moody’s Investor Service, BBB oleh S&P Global Ratings Services dan BBB oleh Fitch Ratings.
Pemerintah mendedikasikan penerbitan tenor 5 tahun sebagai Sukuk Hijau (Green Sukuk) untuk menunjukkan komitmen, kepemimpinan dan kontribusi di komunitas global untuk pembiayaan perubahan iklim.
Green Sukuk itu merupakan penerbitan yang ketiga kalinya di pasar global, selain penerbitan Green Sukuk Ritel pada akhir 2019. Transaksi ini mendapatkan permintaan yang besar dari investor global yang qualified dan beragam, yang menunjukkan kepercayaan investor terhadap Indonesia.
Distribusi investor untuk tenor 5 tahun antara lain 32% investor syariah (Timur Tengah dan Malaysia), 5% Indonesia, 40% Asia (kecuali Indonesia), 12% Amerika Serikat dan 11% Eropa.
Tenor 10 tahun didistribusikan untuk 31% investor syariah, 5% Indonesia, 34% Asia (kecuali Indonesia), 18% Amerika Serikat dan 12% Eropa. Sedangkan, untuk tenor 30 tahun didistribusikan sebesar 10% untuk investor syariah, 5% Indonesia, 44% Asia (kecuali Indonesia), 8% Amerika Serikat dan 33% Eropa.
Bertindak sebagai Joint Lead Manager dan Joint Bookrunners dalam transaksi ini adalah BNP Paribas, Dubai Islamic Bank, HSBC, Maybank dan Standard Chartered. BNP Paribas dan HSBC juga bertindak sebagai Joint Green Structuring Advisor.
Sementara itu, PT Danareksa Sekuritas dan PT Trimegah Sekuritas Indonesia Tbk bertindak sebagai Co-Manager dalam transaksi ini.

Pengendalian Risiko Utang
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan adanya pengendalian risiko agar rasio utang tetap terjaga dalam batasan aman dan tidak mengganggu keberlangsungan dari APBN di 2021.
“Upaya pengendalian yang dijalankan pemerintah adalah dengan tetap memperhatikan rasio utang tetap managable dan memenuhi aspek compliance,” kata Menkeu Sri Mulyani.
Pernyataan itu disampaikan Menkeu saat menyampaikan tanggapan pemerintah terhadap pandangan fraksi atas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN Tahun Anggaran 2021.
Menkeu mengatakan rasio utang akan tetap dipertahankan agar tidak melampaui batas maksimal yang ditetapkan UU Nomor 17 Tahun 2003 maupun UU Nomor 2 Tahun 2020 yaitu 60% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Kebijakan pembiayaan utang ini juga dijalankan berdasarkan prinsip kehati-hatian, untuk kegiatan produktif, efisien dalam cost of fund dan mempertimbangkan kebijakan makro.
Pengendalian risiko ikut mencakup penerapan disiplin ketat pada penerbitan surat berharga negara (SBN) yang diupayakan berada dalam tren required yield terus menurun sejak 2021 dan tahun-tahun selanjutnya.
“Pemerintah juga akan melakukan penguatan dalam standar penerapan manajemen risiko utang terutama dalam proses assesment dan protokol mitigasi ketika deviasi dalam indikator kinerja utang mengalami pelebaran,” ujarnya.
Dalam dokumen Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2021, pemerintah memproyeksikan defisit anggaran sebesar 3,21%-4,17% dari PDB. Sementara itu, rasio utang diperkirakan berada dalam kisaran 36,67%-37,97% terhadap PDB.
Sebagai gambaran, Kementerian Keuangan mencatat jumlah utang pemerintah per akhir Mei 2020 mencapai Rp5.258,57 triliun atau mencapai 32,09% terhadap PDB.
Rinciannya, sebesar Rp4.442,90 triliun atau 84,49% bersumber dari SBN terdiri dari SBN dalam bentuk rupiah (domestik) sebesar Rp3.248,23 triliun dan valuta asing Rp1.194,67 triliun.
Selain SBN, utang juga berasal dari pinjaman atau 15,51% mencapai Rp815,66 triliun terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp9,94 triliun dan luar negeri Rp805,72 triliun.
Meningkatnya utang pemerintah itu karena adanya kebutuhan pembiayaan untuk mengatasi pandemi COVID-19 bagi sektor kesehatan, jaring pengaman sosial dan pemulihan ekonomi. (SKO)
