Tren Pasar

Tekanan Rupiah dan Modal Asing Keluar, LPEM FEB UI Desak BI Pertahankan BI Rate

  • LPEM FEB UI menilai Bank Indonesia perlu menjaga independensi kebijakan moneter di tengah tekanan fiskal dan politik yang meningkat jelang akhir 2025.
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia - Panji 5.jpg
Nampak suasana pembangunan serta gedung-gedung pusat bisnis dan perkantoran di kawasan Jakarta Pusat, Senin 26 Juni 2023. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia (trenasia.com)

JAKARTA, TRENASIA.ID – Bank Indonesia (BI) menghadapi keputusan krusial dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Rabu, 22 Oktober 2025. Meskipun bank sentral AS (The Fed) telah menurunkan suku bunga, kondisi domestik menghadirkan tantangan yang berbeda bagi otoritas moneter Indonesia.

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) dalam kajian terbarunya merekomendasikan agar BI menahan suku bunga acuan (BI Rate) di level 4,75% untuk RDG kali ini. 

“Kami menilai, prioritas utama BI saat ini adalah menjaga stabilitas Rupiah dan memulihkan kepercayaan investor,” tulis tim peneliti LPEM FEB UI dalam laporannya yang tayang pada Selasa, 22 Oktober 2025.

Rekomendasi ini didasari oleh meningkatnya tekanan pada stabilitas Rupiah dan kekhawatiran investor terhadap independensi BI. Berikut analisis mendalam dari LPEM FEB UI mengenai kondisi makroekonomi terkini.

1. Kekhawatiran Utama: Independensi Bank Sentral

Faktor utama yang disoroti adalah kekhawatiran pasar terhadap fiscal dominance. Investor kini menilai kebijakan BI terlalu akomodatif terhadap agenda pro-pertumbuhan pemerintah, yang dikhawatirkan dapat mengikis independensi bank sentral dalam menjalankan mandatnya.

“Program burden sharing dan penempatan dana pemerintah senilai Rp200 triliun di bank BUMN menjadi catatan penting yang menimbulkan persepsi negatif di kalangan pelaku pasar,” tulis LPEM FEB UI. 

Persepsi ini dinilai telah memicu sensitivitas investor asing terhadap stabilitas fiskal dan politik di Indonesia.

2. Dampak di Pasar Keuangan: Arus Modal Keluar

Kekhawatiran investor ini tercermin jelas pada data pasar keuangan. Sejak 17 September hingga 17 Oktober 2025, tercatat terjadi arus keluar modal asing (net sell) sebesar USD 1,88 miliar dari pasar obligasi pemerintah.

Arus keluar dana yang signifikan ini memberikan tekanan berat pada nilai tukar Rupiah. “Mata uang Garuda melemah ke level Rp16.577 per US$, atau terdepresiasi 3,05% sejak awal tahun,” ujar LPEM FEB UI. 

Tekanan tersebut juga berdampak pada menurunnya cadangan devisa negara, yang per akhir September 2025 tercatat turun menjadi USD 148,7 miliar, seiring upaya stabilisasi yang terus dilakukan oleh BI.

3. Dilema Data Ekonomi Makro

Data ekonomi makro domestik menunjukkan gambaran yang kontradiktif. Di satu sisi, neraca perdagangan Agustus 2025 mencatat surplus tinggi sebesar US$5,49 miliar, didorong oleh ekspor nonmigas seperti nikel.

Namun, di sisi lain, surplus tersebut juga disumbang oleh kontraksi impor sebesar 6,6% (yoy). “Penurunan impor bukan sinyal positif, melainkan indikasi melemahnya permintaan domestik dan aktivitas manufaktur,” jelas LPEM FEB UI.

Dari sisi inflasi, pada September 2025 terjadi kenaikan inflasi tahunan menjadi 2,65% akibat kenaikan harga pangan seperti cabai dan ayam broiler. Meski begitu, inflasi inti masih terkendali di level 2,19%, atau masih dalam kisaran target BI.

4. Rekomendasi Kebijakan LPEM FEB UI

Berdasarkan analisis tersebut, LPEM FEB UI menegaskan bahwa BI perlu menahan BI Rate di level 4,75%. “Langkah pelonggaran moneter yang terlalu agresif, meskipun sejalan dengan tren global The Fed, justru berisiko memperburuk persepsi terhadap independensi BI dan menambah tekanan pada Rupiah menjelang akhir tahun,” tulis laporan tersebut.

Dengan demikian, fokus kebijakan moneter ke depan diharapkan tetap pada stabilisasi nilai tukar dan penguatan kepercayaan pasar terhadap otoritas moneter Indonesia.

Tags: LPEM UI