Tren Ekbis

Suara Anak Muda Soal Wacana PPATK Mau Blokir e-Wallet

  • Wacana PPATK soal pemblokiran e-wallet tak aktif menuai reaksi dari Gen Z. Dari cemas hingga setuju, mereka meminta transparansi dan kejelasan aturan agar saldo digital tetap aman.
Mengapa E-Wallet Populer di Kalangan Milenial dan Generasi Z?
Mengapa E-Wallet Populer di Kalangan Milenial dan Generasi Z? (Freepik.com)

JAKARTA, TRENESIA.ID – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tengah mengkaji opsi pemblokiran terhadap dompet digital (e-wallet) yang tidak aktif atau tidak digunakan dalam jangka waktu tertentu.

Langkah ini disebut sebagai bagian dari upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Namun bagi sebagian besar anak muda, terutama Gen Z dan milenial mapan, wacana ini menimbulkan pertanyaan besar: memangnya dompet digital bisa dianggap “nganggur”?

Dalam keseharian generasi muda, e-wallet bukan sekadar alat pembayaran, tetapi bagian dari gaya hidup. Mereka menggunakannya untuk jajan, membayar ojek online, top up game, berlangganan layanan digital, hingga belanja kebutuhan harian.

Suara Gen Z: Cemas, Bingung, tapi Ada yang Setuju

Wacana ini memunculkan beragam reaksi di kalangan pengguna muda. Di satu sisi, ada yang memahami pentingnya pengawasan transaksi digital demi keamanan nasional. Namun di sisi lain, banyak yang khawatir terhadap transparansi dan keamanan saldo dalam e-wallet mereka.

Aisyah (23), seorang karyawan kreatif di Jakarta, mengaku cukup kaget saat mendengar rencana pemblokiran dompet digital yang dianggap tidak aktif.

“Kadang GoPay atau DANA aku nggak dipakai 2–3 minggu, tapi itu bukan berarti nggak penting. Biasanya aku simpan dana di situ buat flash sale atau beli tiket konser. Kalau tiba-tiba diblokir, ya panik sih. Harusnya pemerintah kasih edukasi atau peringatan dulu, jangan langsung blokir,” ujarnya kepada TrenAsia.id, Kamis, 7 Agustus 2025.

Menurutnya, memiliki lebih dari satu aplikasi e-wallet di ponsel adalah hal lumrah. Meski tidak selalu digunakan setiap hari, dompet digital itu tetap dianggap fungsional, apalagi untuk promo atau transaksi musiman.

Sementara itu, Rafi (24), mahasiswa jurusan psikologi, justru melihat sisi positif dari wacana ini. Ia menilai, pemblokiran akun yang benar-benar tidak aktif bisa mempersempit ruang bagi akun palsu dan praktik pencucian uang.

“Aku nggak masalah kalau yang diblokir itu benar-benar akun nganggur dan mencurigakan. Tapi masa kalau nggak dipakai sebulan udah dibekukan? Minimal kasih waktu enam bulan, terus notifikasi dulu. Jangan langsung dihapus,” jelasnya.

Berbeda dengan Rafi, Tiara (22), yang bekerja sebagai freelancer, justru mengaku cemas. Ia kerap menggunakan e-wallet untuk transaksi musiman dan promo tertentu.

“Aku pakai ShopeePay atau OVO cuma sesekali, pas lagi ada promo. Kadang saldonya ngendap, tapi itu duit aku. Takut aja kalau tiba-tiba dianggap nggak aktif terus diblokir. Jangan sampai saldo yang susah ditabung malah hilang tanpa pemberitahuan,” katanya.

Menurut Tiara, di tengah arus digitalisasi keuangan, masyarakat membutuhkan jaminan bahwa sistem yang mereka percayai tidak akan berubah secara sepihak, apalagi tanpa transparansi dan komunikasi yang jelas. Karena bagi Gen Z, e-wallet bukan hanya alat bayar. Ia adalah simbol kemandirian finansial, kemudahan, dan kepercayaan terhadap sistem digital.