Sepak Bola Gagal Total di SEA Games 2025, Pengamat Sebut Penurunan Prestasi Era Erick
- Timnas gagal di SEA Games 2025. Pengamat desak PSSI tanggung jawab. Simak pula rekam jejak sejarah kegagalan fase grup dari 1983 hingga 2009.

Alvin Bagaskara
Author

JAKARTA, TRENASIA.ID – Kegagalan Timnas Indonesia U-22 menembus fase grup SEA Games 2025 cabang sepakbola memicu reaksi keras. Pengamat sepak bola nasional, Pangeran Siahaan, menilai hasil minor ini sebagai penurunan prestasi nyata, mengingat status Indonesia sebagai juara bertahan peraih medali emas edisi sebelumnya.
Sorotan tajam diarahkan kepada PSSI selaku federasi sepak bola tertinggi. Publik menuntut pertanggungjawaban jelas setelah skuad Garuda Muda tersingkir memalukan di tangan rival Asia Tenggara. Kegagalan ini seolah mengulang siklus kelam yang pernah menghantui sepak bola nasional.
Pangeran menekankan bahwa menyalahkan pelatih atau pemain saja tidak cukup. Ada aspek manajerial dan kebijakan federasi yang turut andil dalam carut-marut prestasi ini. Berikut adalah 5 poin kritikan tajam pengamat serta rekam jejak sejarah kegagalan Timnas.
1. Penurunan Prestasi dan Sentimen Politik
Pangeran Siahaan menyoroti fakta bahwa kegagalan ini terjadi di tengah dinamika politik sepak bola yang sedang tidak kondusif. Momen ini memperburuk citra prestasi nasional karena sebelumnya Indonesia mampu meraih medali emas dengan gemilang di Kamboja.
Sentimen publik menjadi sangat negatif akibat rentetan hasil buruk. Sebelumnya, kekecewaan sudah muncul akibat kegagalan lolos ke Piala Dunia 2026. Harapan menjadikan SEA Games sebagai pelipur lara justru berakhir dengan kepahitan baru bagi suporter. "Ini sudah pasti penurunan prestasi," tegas Pangeran dalam tayangan YouTube Liputan6 Sport dikutip pada Kamis, 18 Desember 2025.
Situasi politik sepak bola dinilai sedang tidak asyik bagi federasi. Tekanan publik semakin besar karena ekspektasi tinggi yang dibangun tidak sejalan dengan realitas di lapangan. Federasi kini menghadapi ujian berat untuk memulihkan kepercayaan masyarakat. "Politik sepak bola juga lagi enggak asyik," tambahnya.
2. Logika Tanggung Jawab Prestasi
Pengamat mengkritik narasi yang mengajak publik untuk tidak saling menyalahkan. Menurutnya, pemegang otoritas dan kekuasaan tertinggi dalam urusan sepak bola wajib bertanggung jawab penuh atas segala hasil yang terjadi, baik itu kemenangan maupun kekalahan.
Logika sederhananya adalah keadilan dalam klaim kinerja. Jika pada saat meraih medali emas pengurus federasi berlomba-lomba mengklaim itu sebagai prestasi mereka, maka saat gagal total seperti ini mereka juga harus berani pasang badan. "Itu parah sih," kritik Pangeran.
Menghindari tanggung jawab dinilai sebagai sikap yang tidak kesatria. Pangeran menegaskan bahwa akuntabilitas adalah kunci dalam manajemen organisasi olahraga profesional. Tanpa ada yang bertanggung jawab, evaluasi menyeluruh mustahil dapat dilakukan dengan objektif. "Kan logika sederhana saja sebenarnya," ujarnya.
3. Pemisahan Teknis dan Manajemen
Pangeran membedakan dengan jelas antara peran teknis dan manajerial. Urusan taktik, strategi permainan, dan performa pemain di lapangan memang menjadi domain pelatih serta skuad yang bertanding selama 90 menit pertandingan berlangsung.
Namun, faktor non-teknis sepenuhnya berada di tangan federasi dan manajemen. Persiapan tim, pemilihan ofisial, hingga dukungan logistik adalah tanggung jawab PSSI. Kegagalan timnas tidak bisa dilepaskan dari keputusan-keputusan yang diambil di luar lapangan. "Urusan di luar lapangannya kan urusan manajemen," jelasnya.
Oleh karena itu, federasi tidak bisa cuci tangan dan hanya menunjuk pelatih sebagai kambing hitam. Manajemen tim nasional memiliki andil besar dalam menciptakan ekosistem yang mendukung atau justru menghambat prestasi atlet di ajang internasional. "Sudah pasti yang ngurusin SEA Games-lah," cetusnya.
4. Konsekuensi Jabatan dan Evaluasi
Desakan tanggung jawab ini sejalan dengan langkah drastis yang terjadi pasca-turnamen. PSSI resmi mendepak Indra Sjafri dari kursi pelatih kepala. Selain itu, Sumardji juga memutuskan mundur dari jabatannya sebagai manajer timnas sebagai bentuk konsekuensi.
Langkah mundur dan pemecatan ini memvalidasi pandangan pengamat bahwa harus ada pihak yang menanggung beban kegagalan. Namun, evaluasi diharapkan tidak berhenti pada pergantian personel semata, melainkan perbaikan sistem tata kelola tim nasional secara menyeluruh.
Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, kini dituntut untuk membuktikan efektivitas kepemimpinannya. Publik menanti langkah konkret selanjutnya agar siklus kegagalan fase grup seperti ini tidak terulang kembali di masa depan. "Siapa pun yang mengklaim, sekarang harus bertanggung jawab," pungkas Pangeran.
5. Jejak Sejarah Kegagalan Fase Grup
Kegagalan Indra Sjafri di 2025 menambah daftar panjang rekor buruk Timnas di SEA Games. Sejarah mencatat Indonesia pertama kali gagal lolos grup pada 1983 di Singapura, kemudian terulang lagi pada 1995 meski saat itu diperkuat jebolan Primavera Italia.
Masa paling kelam terjadi pada dekade 2000-an. Indonesia mencatatkan hattrick kegagalan lolos grup pada edisi 2003, 2007, dan puncaknya di 2009 saat menjadi juru kunci di Laos. Kala itu, Indonesia hanya meraih satu poin dan dipermalukan lawan.
Pola ini menjadi pengingat bagi generasi muda bahwa sepak bola memiliki siklus. Kegagalan fase grup 2025 adalah validasi bahwa status juara bertahan bukan jaminan. Federasi harus melakukan evaluasi total agar sejarah kelam tidak terus berulang.

Alvin Bagaskara
Editor