Rahasia Singapura Raih Usia Panjang: Bukan Tradisi, tapi Kebijakan Publik
- Singapura dijuluki “Zona Biru 2.0” dengan harapan hidup 86 tahun, hasil kebijakan publik inovatif di bidang kesehatan, transportasi, dan tata kota jaid penyebab angka harapan hidup melonjak tertinggi di dunia

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Singapura belakangan dijuluki sebagai “Zona Biru 2.0”, istilah yang dicetuskan oleh National Geographic untuk merujuk pada wilayah dengan angka harapan hidup tinggi. Berbeda dengan zona biru klasik di dunia, seperti Okinawa di Jepang atau Sardinia di Italia yang terbentuk karena pola hidup tradisional, Singapura mencapai status ini melalui rekayasa kebijakan publik yang konsisten.
Menurut data kementerian kesehatan Singapura pada tahun 2024, rata-rata harapan hidup warga Singapura mencapai 86 tahun, salah satu yang tertinggi di dunia. Keberhasilan ini tidak lahir begitu saja, melainkan hasil dari strategi tata ruang, kesehatan, hingga transportasi yang saling terintegrasi dan dijalankan pemerintah selama beberapa dekade.
Kebijakan Kesehatan
Langkah paling menonjol terlihat dari sektor kesehatan. Pemerintah Singapura dikenal menerapkan regulasi ketat terhadap faktor risiko. Rokok dan alkohol dikenai pajak tinggi, sementara larangan merokok di ruang publik diberlakukan untuk mengurangi paparan asap rokok pasif. Hasilnya, ruang kota menjadi lebih bersih dan nyaman.
Dalam bidang gizi, kebijakan intervensi diterapkan melalui kewajiban label nutrisi pada setiap produk makanan serta pembatasan kandungan gula pada minuman kemasan. Kampanye publik gencar digelar, mulai dari iklan televisi hingga program di sekolah, untuk mendorong masyarakat memilih makanan sehat. Hal ini dianggap penting karena kuliner lokal kaya santan dan gula yang berisiko pada kesehatan jantung serta diabetes.
Sistem kesehatan Singapura juga dinilai sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Model layanan kesehatan universal dikombinasikan dengan tabungan wajib melalui skema Medisave, sehingga warga dapat mengakses layanan medis berkualitas dengan biaya yang relatif terjangkau. Tak heran, Indeks Kemakmuran Legatum 2023 menempatkan Singapura sebagai negara dengan akses kesehatan terbaik di dunia.
Baca juga : Singapura Siap Akui Palestina, Begini Sejarah Hubungan Kedua Negara
Kota Hijau dengan Ruang Publik Inovatif
Meski berstatus negara kota dengan luas hanya 720 km², Singapura mampu menyediakan ruang hijau yang luas. Data resmi pemerintah Singaputran menunjukkan bahwa 47% wilayahnya adalah ruang terbuka hijau, mulai dari taman lingkungan, kebun raya, hingga koridor ekologi. Kebun Raya Singapura, yang masuk daftar situs warisan dunia UNESCO, menjadi ikon penting sekaligus paru-paru kota.
Pemerintah juga menata perumahan dengan konsep padat tapi tetap nyaman. Contoh menonjol adalah Pinnacle@Duxton, hunian vertikal dengan kepadatan tinggi namun dilengkapi sky gardens di lantai 26 dan 50, yang berfungsi sebagai ruang interaksi sosial sekaligus tempat rekreasi.
Selain itu, inovasi juga dilakukan melalui pemanfaatan lahan tak terpakai. Ruang bawah tanah digunakan untuk penyimpanan air bersih, sementara area di bawah jembatan layang dialihfungsikan menjadi taman komunitas dan jalur rekreasi.
Transportasi Publik Ramah Warga
Transportasi massal adalah tulang punggung mobilitas warga. Jaringan Mass Rapid Transit (MRT) sepanjang 152,9 km terhubung dengan Light Rail Transit (LRT) dan jaringan bus. Integrasi ini membuat 90% warga puas dengan layanan transportasi umum.
Setiap stasiun MRT tidak hanya berfungsi sebagai titik transit, tetapi juga pusat aktivitas dengan akses langsung ke perumahan, pasar, dan fasilitas publik. Pendekatan ini dikenal sebagai Transit-Oriented Development (TOD).
Di sisi lain, pemerintah mendorong gaya hidup sehat melalui pembangunan koridor pejalan kaki dan jalur sepeda yang terus diperluas hingga 2040. Dampaknya terasa langsung: warga Singapura rata-rata berjalan kaki 5.500 langkah per hari, lebih tinggi dibanding rata-rata kota besar lainnya. Hal ini tidak hanya mengurangi polusi udara, tetapi juga meningkatkan kesehatan fisik dan mental masyarakat.
Baca juga : Peringatan dari Singapura dan Fenomena One Piece
Tata Kelola dan Kohesi Sosial
Singapura juga menjaga stabilitas sosial melalui aturan hukum yang ketat. Denda bagi pelanggaran kecil seperti buang sampah sembarangan, menyeberang jalan sembarangan, hingga larangan narkoba, menciptakan budaya disiplin dan rasa aman di ruang publik.
Namun, kebijakan pemerintah tidak hanya berorientasi pada ketertiban. Pemerintah juga membangun ekosistem interaksi sosial. Taman kota dan hawker centres atau pusat kuliner murah meriah, difungsikan sebagai ruang pertemuan warga lintas etnis, usia, dan kelas sosial. Kohesi sosial yang terbangun dari interaksi sehari-hari ini diakui menjadi salah satu faktor penting dalam memperpanjang usia harapan hidup.
Tantangan di Balik Prestasi
Meski sukses, Singapura menghadapi sejumlah tantangan serius. Pertama, biaya hidup tinggi. Laporan Economist Intelligence Unit 2024 menempatkan Singapura sebagai kota termahal kedua di dunia, setelah Hong Kong. Namun, banyak warga menilai tingginya biaya merupakan harga yang layak dibayar untuk kualitas hidup yang mereka nikmati.
Kedua, kepadatan penduduk. Dengan populasi lebih dari 6 juta jiwa di lahan sempit, tekanan terhadap ruang semakin besar. Pemerintah menjawab tantangan ini melalui kebijakan vertical greenery dan pengembangan kawasan mixed-use yang efisien.
Ketiga, penuaan penduduk. Diperkirakan 23,5% warga akan berusia di atas 65 tahun pada tahun 2030. Pemerintah sudah menyiapkan infrastruktur ramah lansia, mulai dari lift di perumahan umum hingga akses difabel di seluruh stasiun MRT.
Kisah Singapura menunjukkan jika usia panjang tidak lahir secara kebetulan, tetapi hasil dari konsistensi kebijakan publik. Dengan mengintegrasikan lingkungan sehat (ruang hijau dan udara bersih), mobilitas aktif (transportasi umum dan fasilitas pejalan kaki), serta akses kesehatan universal, negara kota ini berhasil menciptakan ekosistem yang membuat warganya bisa dan ingin hidup lama.
Bagi dunia, Singapura menjadi bukti nyata bahwa rekayasa sosio-spasial dapat melahirkan “zona biru” baru, yang dibentuk bukan oleh tradisi turun-temurun, melainkan oleh keberanian merancang kota untuk kesejahteraan kolektif.

Muhammad Imam Hatami
Editor
