Perebutan Kontrak Mengungkap Keretakan dalam Sistem K-Pop
- Dari Fifty Fifty, EXO-CBX hingga NewJeans, dunia K-pop yang selalu populer belakangan ini tengah tersorot karena perselisihan terkait “tampering” yang menurut para ahli bisa mengguncang pondasi industri.

Distika Safara Setianda
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Dari Fifty Fifty, EXO-CBX hingga NewJeans, dunia K-pop yang selalu populer belakangan ini tengah tersorot karena perselisihan terkait “tampering” yang menurut para ahli bisa mengguncang pondasi industri.
Dalam konteks K-pop, “tampering” berarti adanya kontak tanpa izin dari pihak luar, biasanya agensi atau produser pesaing dengan artis yang masih terikat kontrak eksklusif.
Meski kasus semacam ini dulu kadang diabaikan, besarnya investasi yang dibutuhkan untuk meluncurkan sebuah grup idol, ditambah dengan keuntungan yang meningkat seiring pertumbuhan industri, membuat penyelesaian secara diam-diam kini menjadi semakin sulit.
Perselisihan Fifty Fifty
Dilansir dari The Korea Herald, kasus yang paling mencuat melibatkan girl group Fifty Fifty, yang meraih ketenaran global pada 2023 lewat lagu hits mereka di Billboard Hot 100, “Cupid.”
Namun pada Juni tahun yang sama, grup ini mengejutkan industri dengan mengajukan gugatan agar kontrak mereka dengan agensi Attrakt ditangguhkan.
Agensi menanggapi dengan menuduh adanya “kekuatan eksternal” yang mencoba merekrut anggota grup tersebut, menimbulkan kecurigaan soal tampering. Orang-orang yang diduga berada di balik upaya ini termasuk CEO The Givers Ahn Sung-il, yang memproduseri “Cupid,” beserta dua pihak lainnya.
Pengadilan Distrik Pusat Seoul akhirnya menolak permohonan penangguhan kontrak, dengan alasan sulit untuk menyimpulkan Attrakt melanggar kewajiban pembayaran atau gagal menjalankan tanggung jawab terhadap kesehatan anggota.
Serta pemutusan kontrak Attrakt dengan The Givers tidak termasuk pelanggaran eksklusivitas. Anggota grup mengajukan banding, tetapi kembali kalah.
Kemudian, anggota Fifty Fifty, Keena, menarik bandingnya dan kembali ke Attrakt, sementara agensi memutus kontrak dengan Saena, Aran, dan Sio.
Sejak itu, Attrakt mengajukan gugatan ganti rugi senilai 13 miliar won (sekitar US$9,2 juta) terhadap 12 terdakwa, termasuk tiga mantan anggota, orang tua mereka, dan eksekutif The Givers. Perusahaan juga mengajukan laporan pidana terhadap Ahn atas dugaan penggelapan dan pemalsuan dokumen.
Pada Agustus 2024, tiga mantan anggota tersebut menandatangani kontrak dengan Massive E&C, anak perusahaan dari perusahaan hiburan global IOK Company.
Pada Februari 2025, Ablume (yang beranggotakan Saena, Aran, dan Sio) dikabarkan menghubungi Ahn secara langsung untuk memproduseri musik baru mereka, dan ia menyetujuinya.
EXO-CBX vs. SM Entertainment
Kasus besar lainnya melibatkan anggota EXO, Chen, Baekhyun, dan Xiumin, yang dikenal sebagai EXO-CBX. Pada 2023, mereka memberi tahu SM Entertainment bahwa mereka mengakhiri kontrak, dengan alasan kurangnya transparansi dalam pembagian keuntungan dan perpanjangan kontrak jangka panjang yang tidak adil.
Pada Januari 2024, Baekhyun resmi meluncurkan label independennya, INB100. Beberapa bulan kemudian, pada Mei, INB100 menjadi anak perusahaan One Hundred, yang didirikan bersama oleh penyanyi MC Mong dan ketua p_Arc Group, Cha Ga-won.
SM Entertainment sebelumnya menuding MC Mong dan Cha berada di balik perselisihan EXO-CBX, memicu dugaan tampering secara tidak langsung.
Dalam pernyataan yang dirilis pada 10 Juni 2023, SM Entertainment menyatakan, “MC Mong dan Cha telah lama mendekati beberapa artis yang masih memiliki kontrak sah dengan SM. CBX kemudian mulai mencari celah untuk membatalkan perpanjangan kontrak yang sah secara hukum.”
SM Entertainment mengatakan mereka tetap memenuhi permintaan trio tersebut untuk menjalankan kegiatan secara mandiri.
“Seperti yang kini jelas, INB100 milik EXO-CBX tidak lagi berjalan secara independen, melainkan menjadi anak perusahaan dari perusahaan MC Mong dan Cha. Konferensi pers hari ini membuktikan apa yang sudah kami curigai: tampering terhadap CBX kini tidak dapat disangkal.”
Meskipun terjadi perselisihan, CBX tetap berada di bawah kontrak SM untuk kegiatan grup EXO dan sedang bersiap untuk comeback seluruh anggota nanti tahun ini.
Kasus NewJeans Mengguncang Industri
Kasus tampering terbaru dan mungkin paling heboh melibatkan girl group NewJeans. Perselisihan ini berkaitan dengan tuduhan mantan CEO Ador Min Hee-jin, mencoba mengatur agar grup tersebut lepas dari Hybe, induk perusahaan Ador, dengan menyusun surat hukum untuk mengakhiri kontrak mereka.
Pada November 2024, tim hukum NewJeans mengirim surat tercatat ke Ador yang menuding adanya pelanggaran kontrak dan mengancam akan mengakhiri kontrak dalam 14 hari. Tak lama kemudian, NewJeans menyatakan kontrak mereka dengan Ador batal dan mulai menjalankan kegiatan secara mandiri.
Ador menanggapi dengan mengajukan gugatan yang menyatakan kontrak masih sah, sekaligus meminta penangguhan kegiatan grup hingga keputusan pengadilan final. Pengadilan sebagian mengabulkan permintaan tersebut, melarang grup melakukan aktivitas tanpa persetujuan Ador terlebih dahulu.
Dua upaya mediasi antara Ador dan NewJeans di Pengadilan Distrik Pusat Seoul gagal. Pengadilan kini dijadwalkan memberikan putusan pada 30 Oktober mengenai apakah kontrak tersebut masih berlaku.
Isu utama adalah apakah alasan NewJeans untuk mengakhiri kontrak sah. Grup ini berargumen bahwa pemecatan Min merusak dasar kepercayaan, sehingga pembatalan kontrak dapat dibenarkan. Ador menanggapi semua kewajiban kontrak telah dipenuhi dan tidak ada alasan yang sah untuk hilangnya kepercayaan.
Mengapa Tampering Penting
“Pertumbuhan K-pop yang berkelanjutan bergantung pada semua pihak yang menepati janji mereka. Tidak ada yang bisa secara sepihak menyatakan kontrak batal sebelum putusan pengadilan,” ujar lima asosiasi industri musik utama dalam konferensi pers di Seoul pada Februari.
Membentuk sebuah grup idol bisa menghabiskan biaya mulai dari 1 miliar hingga lebih dari 10 miliar won sebelum album debut dirilis, tanpa jaminan kesuksesan. Jika artis dibujuk pergi sebelum investasi kembali, hal ini merusak model bisnis dasar agensi.
Karena setiap idol dianggap sebagai aset penting, bahkan beberapa agensi mendaftarkan nama panggung sebagai kekayaan intelektual, tampering juga dianggap setara dengan pencurian teknologi perusahaan.
“Jika artis bisa mengabaikan hukum dan membatalkan kontrak sesuka hati, siapa yang mau berisiko menginvestasikan 10 miliar atau 100 miliar won untuk membentuk grup K-pop?” kata seorang pejabat agensi.
“Demi keberlanjutan K-pop, tampering tidak boleh ditoleransi, dan mereka yang melanggar kontrak harus bertanggung jawab secara hukum.”

Distika Safara Setianda
Editor
