Tren Global

Kuliah Mahal, Lulus Nganggur: Daya Saing RI Anjlok Gegara Pendidikan Tak Relevan

  • Indonesia turun ke peringkat 40 dalam daya saing global. Salah satu penyebab utamanya: pendidikan tinggi yang tak relevan dengan kebutuhan industri. Lulusan sarjana banyak yang kerja tak sesuai jurusan, dan pengangguran pun meningkat.
kampus-UI.jpg
Ilustrasi UI (halokampus)

JAKARTA - Penurunan tajam daya saing Indonesia dalam laporan World Competitiveness Ranking 2025 menjadi alarm keras bagi dunia pendidikan tinggi. Dari posisi ke-27 tahun lalu, Indonesia terjun bebas ke peringkat 40 dari total 69 negara. 

“Pascapandemi, Indonesia merupakan salah satu negara dengan performa daya saing terbaik dalam peringkat WCR yang naik 11 peringkat,” jelas Arturo Bris, Direktur IMD World Competitive Center (WCC), dalam keterangan tertulis, dikutip Senin, 23 Juni 2025.

Berbagai penyebab yang disorot dalam laporan tersebut diantaranya masih adanya keterbatasan infrastruktur, kurangnya tenaga kerja yang berkualitas, lemahnya kapasitas kelembagaan, serta tingginya tingkat pengangguran dan kesenjangan pembangunan antarwilayah.

Selain itu kebanyakan lulusan perguruan tinggi di Indonesia sebagian besar tidak dapat memenuhi kebutuhan industri saat ini atau yang kerap disebut skill mismatch. Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, pernah menyatakan 80% lulusan sarjana di Indonesia bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan program studi (prodi) mereka. 

“Sebanyak 80% lulusan itu bekerja di luar prodi mereka,” ungkap Nadiem saat mengisi dialog yang diunggah kanal YouTube Universitas Sumatra Utara, dikutip Jumat, 20 Juni 2025.

Hanya 20% yang berhasil terserap di sektor yang sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka pelajari. Menurut Nadiem, kondisi ini mencerminkan dunia kerja masa kini menuntut keterampilan multidisipliner dan fleksibilitas tinggi, yang belum sepenuhnya diakomodasi oleh sistem pendidikan tinggi nasional. "Bapak, Ibu tahu tidak, berapa persen lulusan kita yang mengikuti prodinya pada saat kerja? Maksimal 20%," tambah Nadiem

Permasalahan Pendidikan di Indonesia

Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2025 menunjukkan pengangguran terbuka di kalangan lulusan sarjana mencapai 8,3%, naik drastis dari 6,2% pada 2021. Permasalahan tidak berhenti pada lulusan. 

Sebanyak 58% perguruan tinggi negeri dinilai masih menggunakan kurikulum yang usianya lebih dari lima tahun. Banyak jurusan teknik, misalnya, masih berfokus pada manufaktur konvensional padahal industri kini mengarah pada green manufacturing dan otomatisasi. 

Selain itu, lebih dari 80% kampus belum menyisipkan mata kuliah terkait AI atau robotik dalam kurikulum mereka, padahal kebutuhan industri terhadap keterampilan ini diproyeksikan naik 300% pada 2025.

Dunia riset di kampus juga belum berpihak pada solusi industri. Hanya 12% riset perguruan tinggi yang berhasil dikomersialisasikan, dan hanya 7 persen yang menjawab kebutuhan konkret dunia usaha. 

Akademisi lebih sibuk mengejar publikasi jurnal ilmiah untuk pemeringkatan, dibanding menciptakan paten atau produk siap pakai. Tak heran, Indonesia memang menempati peringkat pertama di ASEAN dalam hal publikasi ilmiah, tetapi justru merosot ke posisi 87 dunia dalam Global Innovation Index 2024.

“Beberapa kali kita mendapatkan unggahan di media sosial yang mem-bully kita semua karena publikasi Indonesia meski banyak tapi abal-abal. Jurnalnya tidak jelas, jurnal predator,” jelas Plt Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Kemendikbudristek Nizam dalam acara Indonesia Research Summit-Editage di Jakarta, belum lama ini.

Minimnya pengalaman praktis para dosen turut memperparah situasi. Data LLDIKTI 2024 mencatat kurang dari 10% dosen memiliki pengalaman kerja di industri lebih dari dua tahun. 

Alhasil, pendekatan pengajaran masih sangat teoritis, jauh dari kebutuhan lapangan dan studi kasus dunia nyata. Meskipun demikian, sejumlah kampus nampak mulai melakukan pembenahan. 

Sebagai contoh, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) bekerja sama dengan MIND ID untuk riset baterai nikel, sementara Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) menawarkan program sertifikasi global seperti Cisco dan Oracle, dengan tingkat serapan lulusan mencapai 98 persen pada 2024. 

Universitas Prasetiya Mulya menerapkan kurikulum corporate hackathon bersama mitra industri seperti Danamon dan Unilever, dan berhasil menempatkan 96 persen lulusannya di dunia kerja.

Namun, pembenahan yang terjadi belum bersifat sistemik. Di sisi mahasiswa, banyak yang masih bergantung sepenuhnya pada ijazah dan nilai IPK, padahal industri kini lebih melihat portofolio dan sertifikasi keterampilan. 

Program magang berbasis proyek, sertifikasi Google Cloud atau AWS, dan partisipasi dalam kompetisi teknologi justru menjadi penentu utama dalam rekrutmen tenaga kerja masa depan. Di tingkat kebijakan, Indonesia masih tertinggal dalam memberikan insentif nyata untuk kolaborasi antara industri dan perguruan tinggi. 

Negara seperti Singapura bahkan sudah menerapkan skema super deductible tax hingga 300% untuk perusahaan yang mendanai riset kampus. Sementara di Indonesia, kerja sama riset masih sering terhambat birokrasi dan rendahnya anggaran penelitian.