Tren Pasar

Jatah Ritel Terancam Hilang, Speed Order Jadi Kunci Utama Alokasi IPO

  • Simulasi membongkar aturan baru OJK: Jatah pasti 10 lot untuk investor ritel terbukti gagal saat oversubscription parah. Kegagalan ini memaksa sistem kembali ke prinsip siapa cepat dia dapat untuk alokasi saham.
Aktifitas Bursa Saham - Panji 5.jpg
Pekerja berjalan di depan layar yang menampilkan pergerakan saham di Mail Hall Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta 17 Oktober 2023. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia (trenasia.com)

JAKARTA, TRENASIA.ID – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja memberlakukan aturan ketat dalam proses IPO secara elektronik melalui SEOJK Nomor 25/SEOJK.04/2025. Peraturan ini bertujuan menutup celah praktik curang seperti “numpang nama” atau menggunakan “multi-akun” yang selama ini dilakukan oleh investor besar.

Aturan ini secara langsung meningkatkan perlindungan dan kepastian alokasi bagi investor ritel. Namun, hasil simulasi terhadap aturan terbaru ini menunjukkan adanya kegagalan pada mekanisme penjatahan pasti saat permintaan saham di pasar membludak.

Kegagalan ini memaksa sistem IPO kembali ke prinsip lama, yaitu "siapa cepat, dia dapat". Berikut adalah lima poin krusial mengenai aturan baru OJK, yang kini menuntut investor untuk lebih mengandalkan kecepatan order.

1. Batas Maksimal 10% untuk Cegah Dominasi

Salah satu poin krusial adalah pembatasan pesanan. Setiap investor hanya boleh memesan paling banyak 10% dari total saham yang ditawarkan. Batasan ini untuk mencegah investor kakap (big fish) mendominasi seluruh kuota IPO.

Jika pesanan dari satu investor melebihi batas 10% tersebut, maka pesanan tersebut akan ditolak dan dikembalikan. Aturan ini bertujuan agar jatah saham dapat tersebar secara merata, menjamin bahwa tidak ada satu investor pun yang menguasai penjatahan.

2. Perang Melawan 'Numpang Nama' (Kunci Dana)

Untuk memerangi praktik curang “numpang nama” dan memastikan pemesan mampu membayar, OJK mewajibkan pengetatan verifikasi dana. Perusahaan efek kini diwajibkan mengunci dana pesanan dari Rekening Dana Nasabah (RDN) ke rekening jaminan khusus.

Proses penguncian dana (hold) ini harus dilakukan sebelum verifikasi pesanan dimulai. Hal ini adalah langkah mikro yang sangat penting untuk memerangi praktik pemesanan fiktif oleh investor kakap yang tidak memiliki dana sungguhan saat memesan.

3. Kegagalan Jatah Pasti Saat Ramai

Dalam skenario kelebihan pesanan 5 kali lipat, simulasi menunjukkan aturan jatah minimal gagal. Total saham yang dialokasikan untuk ritel tidak mencukupi untuk menjatah 10 lot kepada setiap pemesan, sesuai janji regulator.

Hanya 112,5 juta saham yang tersedia untuk ritel. Sementara itu, total kebutuhan minimum (10 lot) untuk 200.000 pemesan ritel adalah 200 juta lembar saham, menunjukkan kekurangan kuota yang sangat besar.

4. Implikasi: Dominasi Kecepatan Order

Kegagalan menjatah minimum 10 lot kepada setiap pemodal memaksa sistem kembali ke aturan urutan waktu. Ini berarti first-come, first-served (FCFS) atau "siapa cepat, dia dapat" kembali menjadi kunci utama dalam mekanisme IPO.

Dalam skenario ini, hanya 112.500 pemodal pertama yang memesan paling cepat yang menerima jatah 10 lot saham. Sisanya, sebanyak 87.500 pemodal, tidak menerima alokasi sama sekali dari penjatahan terpusat ini.

5. Jatah Pasti dan Prioritas untuk Ritel

Aturan ini memberikan keuntungan langsung bagi investor ritel. Alokasi saham untuk ritel dan non-ritel kini diwajibkan dibagi 1:1, menjamin porsi yang lebih besar dari kuota yang dialokasikan untuk investor kecil.

Jika terjadi kelebihan pemesanan, setiap pemodal ritel dijamin menerima alokasi terlebih dahulu paling banyak sampai dengan 10 satuan perdagangan (lot), sebelum dilakukan penjatahan secara proporsional. Namun, jatah pasti ini hanya berlaku jika kuota tersedia.