Nasional

Ironi Industri Tekstil: Investasi Tumbuh, tapi PHK Menjamur

  • Perkembangan kinerja sektor Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) disebut menjadi menopang perekonomian nasional. Investasi di sektor ini tumbuh sebesar 107,71% pada 2024. Namun demikian, pemutusan hubungan kerja (PHK) justru semakin merongrong industri tersebut.
Suasana aktivitas di salah satu pabrik PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), perusahaan tekstil yang diputus pailit karena kesulitan keuangan.
Suasana aktivitas di salah satu pabrik PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), perusahaan tekstil yang diputus pailit karena kesulitan keuangan. (Dokumentasi Internal Sritex)

JAKARTA -Perkembangan kinerja sektor Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) disebut menjadi menopang perekonomian nasional. Investasi di sektor ini tumbuh sebesar 107,71% pada 2024. Namun demikian, pemutusan hubungan kerja (PHK) justru semakin merongrong industri tersebut.  

 Direktur Jendral Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT), Taufik Bawazier menyebut pada kuartal I Tahun 2025, industri TPT menunjukkan kinerja yang cukup menggembirakan dengan pertumbuhan PDB sebesar 4,64% (YoY) dan kontribusi sebesar 0,99% terhadap PDB nasional.

"Ekspor TPT hingga Februari 2025 tercatat mencapai USD 2,03 miliar, meningkat sebesar 2,67 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Kinerja neraca perdagangan TPT juga mengalami peningkatan signifikan sebesar 20,99 persen atau setara US$0,78 miliar," ujarnya dalam keterangan resmi pada Jumat, 8 Mei 2025.

Taufik menyampaikan, dari sisi investasi, sektor TPT juga mengalami pertumbuhan positif. Pada tahun 2024, Penanaman Modal Asing (PMA) di sektor ini meningkat sebesar 109,97%, sementara Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) mengalami penurunan 9,21%. 

Namun secara total, investasi sektor TPT tumbuh sebesar 107,71%, mencerminkan kepercayaan investor terhadap prospek jangka panjang industri ini. "Adapun penyerapan tenaga kerja di sektor TPT mencapai 3,97 juta orang, yang merupakan 19,87% dari total tenaga kerja industri manufaktur nasional hingga Agustus 2024," ujarnya.
 
Sebagai informasi, pada tahun 2024, program restrukturisasi ini telah diperluas untuk mencakup industri pertenunan dan rajut, dengan alokasi anggaran sebesar Rp28,7 miliar untuk 49 perusahaan industri penerima.

PHK di Mana-mana

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat, total pekerja yang terdampak PHK mencapai 24.036 orang pada Januari hingga April 2025. Angka tersebut lebih besar dibanding periode yang sama tahun lalu (year to year/YoY), yakni 77.965 orang terkena PHK sepanjang 2024.

PHK paling banyak terjadi di tiga provinsi, yakni 10.692 pekerja di Jawa Tengah, 4.649 orang di Jakarta, dan 3.546 orang di Riau. Penyebabnya perusahaannya merugi atau tutup karena penurunan permintaan dari dalam dan luar negeri, perusahaan merelokasi pabrik agar pengeluaran upah lebih murah, dan terjadi kasus perselisihan hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja.

Selain itu, PHK terjadi karena efisiensi sebagai salah satu jalan agar perusahaan bisa bertahan dengan mengurangi jumlah pekerja. Lalu, ada pula yang terjadi karena melakukan transformasi perubahan bisnis, dan ada pailit karena beban kewajiban kepada kreditur.

"Saat ini sudah terdata sekitar 24.000. Jadi sudah sepertiga lebih dari tahun 2024. Jadi kalau ada yang bertanya PHK year to year saat ini dibanding tahun lalu, itu meningkat," kata Yassierli dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 5 Mei 2025.