Gelombang Aksi Gen Z di Asia, Jadi Kekuatan Politik Anyar
- Jika dulu suara anak muda sering dianggap gaduh tanpa arah, kini di banyak negara Gen Z memaksa para penguasa untuk benar-benar mendengar.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Dari Kathmandu hingga Dhaka, dari Jakarta hingga Bangkok, satu pola mulai terlihat jelas, Generasi Z Asia sedang bangkit sebagai kekuatan politik baru. Gen Z lahir di era digital, tumbuh bersama media sosial, dan kini menjadikannya senjata utama untuk melawan korupsi, ketidaksetaraan, dan otoritarianisme.
Jika dulu suara anak muda sering dianggap gaduh tanpa arah, kini di banyak negara Gen Z memaksa para penguasa untuk benar-benar mendengar.
“Berbeda dengan generasi sebelumnya, kesadaran politik mereka tidak lagi dibentuk oleh narasi yang dijalankan negara, melainkan lebih oleh jaringan sebaya, meme, dan testimoni viral dalam bentuk video vertikal bergerak,” tulis Sonny Inbaraj Krishnan, Global Health Communicator, dikutip laman cambodianess, Rabu, 10 September 2025.
Nepal: Amarah pada "Nepo Kids" dan Jatuhnya Perdana Menteri
Gelombang protes di Nepal dimulai dari kebijakan kontroversial, pemerintah memblokir 26 platform media sosial, termasuk Facebook, WhatsApp, dan Instagram. Dalihnya, aturan pendaftaran perusahaan digital tak dipatuhi. Namun, bagi Gen Z Nepal, langkah itu adalah upaya membungkam suara kritik.

Dari sinilah ribuan pelajar dan mahasiswa turun ke jalan. Mereka menyoroti korupsi dan gaya hidup mewah anak pejabat dengan tagar #NepoKids. Amarah pun memuncak, gedung parlemen dibakar, markas partai diserbu.
Darah tumpah, sedikitnya 22 orang tewas, ratusan luka-luka. Pada akhirnya, tekanan itu membuat Perdana Menteri KP Sharma Oli mundur, disusul Menteri Dalam Negeri. Pemerintah pun mencabut larangan media sosial.
Bangladesh: Dari Kuota Pekerjaan hingga Kejatuhan Hasina
Bangladesh mencatat sejarah paling dramatis. Awalnya, protes muncul dari penolakan sistem kuota kerja. Namun, penindasan brutal aparat justru menyulut pemberontakan massal. Menurut PBB, 1.400 orang tewas dalam rangkaian protes. Jalanan Dhaka berubah jadi lautan perlawanan.

Puncaknya, Sheikh Hasina lengser pada bulan Agustus 2024, mengakhiri 15 tahun kekuasaan. Ia melarikan diri ke India, sementara peraih Nobel asal Bangladesh, Muhammad Yunus ditunjuk memimpin pemerintahan sementara.
Setahun berselang, situasi masih rapuh, kekerasan massa, hukum yang goyah, hingga kebangkitan kelompok Islamis. Namun, satu hal pasti, Gen Z Bangladesh kini tak bisa lagi diremehkan.
Indonesia: Antara FOMO dan Idealisme
Di Indonesia, protes anak muda tak selalu berakar pada pemahaman isu yang dalam. Fenomena FOMO (Fear of Missing Out) membuat banyak remaja ikut aksi jalanan sekadar agar dianggap "gaul" atau solid.

Namun, di balik itu, ada dinamika psikologis yang menarik. Media sosial jadi ruang identitas dan validasi sosial. Dalam kerumunan, teori psikososial menjelaskan, mereka bisa larut dalam emosi kolektif, bahkan ikut melakukan tindakan anarkis yang sebelumnya tak pernah mereka bayangkan.
Meski begitu, Gen Z Indonesia tetap memainkan peran penting dalam gerakan lingkungan, anti-korupsi, hingga isu ketenagakerjaan. Mereka pun tak segan turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasinya, meski tak jarang berujung kericuhan seperti akhir Agustus lalu.
Tak hanya aksi jalanan, gen Z Indonesia saat ini juga sangat intens berjuang lewat jalur konstitusional. Tuntutan 17+8 menjadi gerakan terkini di mana influencer dan anak muda merumuskan masukan untuk pembenahan negara.
Thailand: Bayangan Protes yang Belum Padam
Thailand mungkin tampak tenang, tetapi protes pro-demokrasi 2020–2021 menjadi bukti bahwa Gen Z di Negeri Gajah Putih juga berani menantang status quo. Mereka menuntut reformasi monarki, sesuatu yang tabu selama puluhan tahun.
Meski ditekan aparat, karakter protesnya serupa dengan negara lain. horizontal, berbasis media sosial, dan penuh kreativitas.
Di semua negara, media sosial menjadi urat nadi perlawanan. TikTok, Instagram, hingga meme politik menjadi sarana mobilisasi cepat, membangun solidaritas, sekaligus melawan narasi resmi pemerintah.
"Aktivis Gen Z mengubah Facebook menjadi ruang publik, menggunakan meme, slogan, dan seni visual untuk membentuk identitas bersama dan momentum kolektif," tambah Sonny.
Tagar #NepoKids di Nepal, meme satir di Bangladesh, hingga konten kreatif di Indonesia dan Thailand, menunjukkan satu hal. narasi Gen Z jauh lebih kuat ketimbang propaganda negara.
Dampaknya nyata, dari jatuhnya Sheikh Hasina di Bangladesh hingga pengunduran diri perdana menteri di Nepal, Gen Z sudah membuktikan bahwa protes mereka bisa mengguncang rezim.
Namun, jalan panjang masih terbentang, tantangan mereka bukan hanya menghadapi represi negara, tetapi juga risiko manipulasi politik, frustrasi akibat lambannya perubahan, hingga bahaya kekerasan jalanan. Meski demikian, gelombang ini menandai pergeseran generasi dalam sistem politik.

Amirudin Zuhri
Editor
