Era Emiten Gurem Tamat? OJK Fokus Bidik IPO Aset Triliunan
- Demi lindungi investor dari saham fundamental lemah, BEI dan OJK prioritas emiten jumbo di 2026. Data pasar memperlihatkan saham konglomerat terbang tinggi, sementara emiten kecil justru berguguran.

Alvin Bagaskara
Author

JAKARTA, TRENASIA.ID – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat penurunan signifikan jumlah emiten baru sepanjang tahun 2025. Hanya 25 perusahaan yang resmi melantai di bursa, angka ini jauh di bawah target awal 66 emiten. Namun, nilai penggalangan dana justru melonjak tajam mencapai Rp15,21 triliun hingga Desember.
Capaian dana tersebut sukses melampaui total penghimpunan tahun 2024 yang hanya mencatatkan Rp14,3 triliun dari 41 emiten. Anomali data ini menunjukkan pergeseran tren pasar modal Indonesia yang tidak lagi didominasi oleh emiten kecil, melainkan mulai dibanjiri oleh perusahaan berskala strategis dengan aset besar.
Merespons dinamika ini, Bursa Efek Indonesia (BEI) menyesuaikan target tahun 2026 menjadi 50 emiten, namun dengan fokus berbeda. Prioritas bursa kini bergeser pada peningkatan kualitas fundamental dan kapitalisasi pasar, bukan sekadar mengejar kuantitas emiten yang sering kali memiliki kinerja saham yang volatil pasca-listing.
1. Kualitas di Atas Kuantitas
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Inarno Djajadi, menegaskan perubahan arah kebijakan otoritas. Pihaknya bersama BEI kini lebih menekankan agar calon emiten memiliki fundamental bisnis yang kuat serta tata kelola perusahaan yang baik sebelum mendapatkan izin efektif untuk melantai di bursa saham.
"OJK bersama BEI menekankan agar emiten yang melakukan IPO memiliki fundamental yang kuat, tata kelola yang baik, serta keberlanjutan usaha yang memadai, sehingga kredibilitas emiten tetap terjaga dan kepentingan investor terlindungi," ujar Inarno dalam pernyataan tertulisnya, Senin, 15 Desember 2025.
Strategi selektif ini bertujuan meminimalisir masuknya emiten yang hanya mencari dana talangan atau sekadar exit strategy bagi pendiri. Otoritas ingin memastikan perusahaan yang masuk bursa siap tumbuh jangka panjang, sehingga pendalaman pasar yang terjadi benar-benar sehat dan tidak merugikan investor ritel.
2. Tren 'Lighthouse IPO' Meningkat
Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna, menyoroti fenomena kenaikan rata-rata nilai emisi. Meskipun jumlah emiten turun akibat kondisi geopolitik global, nilai dana yang dihimpun meningkat berkat maraknya IPO kategori mercusuar atau Lighthouse IPO yang berskala jumbo dan menarik minat asing.
"Yang menarik di Bursa Efek Indonesia ini adalah dari sisi jumlah memang kami turun, namun ingat, dari sisi average fundraising-nya meningkat," kata Nyoman. Ia menambahkan bahwa bursa Indonesia masih tumbuh 1% saat bursa regional lain di Asia Tenggara justru terkontraksi jumlah emitennya.
BEI kini menargetkan enam perusahaan Lighthouse pada tahun mendatang. Kriteria ketat diterapkan, meliputi total aset di atas Rp3 triliun, kepemilikan publik (free float) minimal 15 persen, serta nilai penawaran umum perdana minimal Rp700 miliar untuk menarik arus modal besar masuk ke Indonesia.
3. Geopolitik dan Antrean Pipeline
Hingga pertengahan Desember 2025, tercatat masih ada 12 perusahaan yang berada dalam antrean atau pipeline IPO. Beberapa calon emiten memilih menunda aksi korporasi sambil menunggu momentum pasar yang lebih kondusif serta kepastian stabilitas suku bunga global yang memengaruhi biaya dana.
Nyoman menjelaskan bahwa fenomena ini adalah tren global yang tak terhindarkan. "Di belahan dunia itu yang terjadi memang penurunan dari sisi jumlah perusahaan tercatat di Bursa. Di Indonesia tetap bertumbuh, 1% sampai dengan saat ini. Sementara di tempat lain itu malah turun," jelasnya.
OJK memandang dinamika penundaan ini sebagai bagian dari proses pendalaman pasar yang wajar dan berorientasi jangka panjang. Dengan target realistis 50 emiten di 2026 namun fokus pada aset jumbo, otoritas optimis pasar modal Indonesia akan semakin matang dan atraktif.
4. Kinerja Saham: COIN hingga Konglomerat
Meski jumlah emiten sedikit, kinerja saham IPO tahun ini mencatatkan rekor fantastis. PT Indokripto Koin Semesta Tbk (COIN) menjadi fenomena dengan kenaikan harga hingga 3.700 persen ke level Rp3.800. Saham ini menjadi proksi investor untuk mendapatkan eksposur terhadap tren kenaikan aset digital global.
Selain sektor teknologi, saham konglomerasi juga mendominasi. PT Raharja Energi Cepu Tbk (RATU) dan PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA) masing-masing melonjak 819 persen dan 868 persen. Emiten properti besutan Sugianto Kusuma, PT Bangun Kosambi Sukses Tbk (CBDK) juga tercatat naik 114 persen sejak melantai.
Sejumlah analis sepakat menilai investor kini lebih percaya pada emiten dengan dukungan grup besar atau "owner" yang kuat. Dukungan aset fisik yang jelas seperti pada emiten emas PT Merdeka Gold Resources Tbk (EMAS) yang naik 89 persen juga menjadi daya tarik utama tahun ini.
5. Sektor Ritel Tertekan, Menanti SUPA

Berbeda nasib dengan energi, sektor ritel justru terpuruk. PT Jantra Grupo Indonesia Tbk (KAQI) menjadi laggard dengan koreksi 41 persen ke level Rp69. Sentimen pelemahan daya beli dan valuasi premium membuat investor menjauhi sektor ini, memicu tekanan jual masif pasca-IPO.
Di penghujung tahun, pasar kini menanti IPO PT Super Bank Indonesia Tbk (SUPA) yang menetapkan harga Rp635 per saham. Listing yang dijadwalkan pekan depan ini diharapkan menjadi katalis positif penutup tahun bagi sektor perbankan digital yang sedang menggeliat di Indonesia.
Jika SUPA berhasil mencatatkan kinerja positif, hal ini akan mengonfirmasi tesis bahwa tahun 2025 adalah tahunnya sektor strategis dan teknologi. Sebaliknya, kegagalan di sektor ritel menjadi pelajaran bagi investor untuk lebih selektif dalam memilih saham berdasarkan fundamental dan sentimen makroekonomi.

Alvin Bagaskara
Editor