Tren Global

Ekonomi Global Bergeser: Eropa Tinggalkan China, RI Jadi Pilihan

  • Perubahan ekonomi global dan tekanan di China mendorong perusahaan Eropa mencari tujuan baru. Indonesia muncul sebagai kandidat utama berkat IEU-CEPA dan hilirisasi.
Kargo
Ilustrasi kargo di pelabuhan (https://unsplash.com/photos/twEtn2JZlX8)

JAKARTA, TRENASIA.ID - Dalam beberapa tahun terakhir, lanskap ekonomi global mengalami perubahan yang jauh lebih cepat dari perkiraan banyak pihak. 

Salah satu pergeseran paling signifikan datang dari perusahaan-perusahaan Eropa yang beroperasi di China. Tekanan geopolitik, kendala ekspor, dan ketidakseimbangan perdagangan membuat banyak dari mereka mulai mempertimbangkan arah baru. Di tengah pusaran ini, Indonesia perlahan muncul sebagai kandidat utama tujuan diversifikasi.

Dikutip Reuters, Rabu, 10 Desember 2025, laporan terbaru Kamar Dagang Uni Eropa di China mengungkapkan lebih dari 70% perusahaan Eropa meninjau ulang strategi rantai pasokannya dalam dua tahun terakhir. 

Sebagian besar mencoba bertahan dengan melakukan lokalisasi produksi di China, namun 10% telah memutuskan untuk membangun rantai pasokan alternatif di luar negeri. Alasan mereka seragam, ketidakpastian yang terus meningkat di pasar China.

Baca juga : Cek 6 Tips Memilih Vendor Pernikahan Anti Penipuan!

Perubahan kebijakan ekspor China, mulai dari pembatasan logam tanah jarang hingga material penting lainnya membuat banyak industri Eropa terpukul. 

Ada perusahaan yang sampai menghentikan produksi karena tidak memiliki akses bahan baku, bahkan merugi hingga jutaan euro. Persoalan ini diperburuk oleh kondisi ekonomi di dalam negeri, deflasi harga produsen yang berlangsung 37 bulan berturut-turut dan melemahnya yuan terhadap euro. 

Ketimpangan perdagangan pun melebar, kini, perbandingan kontainer ekspor-impor UE–China mencapai rasio 1:4, jauh lebih timpang dibanding era 2019.

Di tengah ketegangan ini, arah pandang perusahaan Eropa perlahan beralih ke Asia Tenggara. khususnya, ke Indonesia.

IEU-CEPA Jadi Momentum

Pada September 2025 terjadi kesepakatan besar, Uni Eropa dan Indonesia menyelesaikan Indonesia–EU Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). 

Kesepakatan ini tidak hanya menghapus 98,5% tarif, tetapi juga menghemat hampir €600 juta per tahun bagi perusahaan Eropa. Lebih penting lagi, perjanjian ini lahir dari kebutuhan UE untuk mengurangi ketergantungan pada China, terutama dalam hal material strategis seperti nikel dan kobalt dua mineral yang Indonesia miliki dalam jumlah melimpah.

Di sisi lain, Indonesia mendapatkan pijakan yang lebih kuat sebagai mitra dagang penting bagi Eropa. Dengan pasar domestik yang besar dan komitmen pemerintah pada hilirisasi industri, hubungan ini membuka peluang jangka panjang bagi pertumbuhan investasi.

Sinyal pergeseran itu makin terlihat dari data perdagangan global. Menurut Project 44, perdagangan China dengan Indonesia tumbuh 29,2% sepanjang 2025, salah satu peningkatan tertinggi di kawasan. Angka ini menunjukkan semakin intensifnya arus logistik yang melibatkan Indonesia, baik sebagai tujuan akhir maupun pusat transit.

Baca juga : SSIA & CDIA Jadi Pilihan di Tengah Market Waspada The Fed

Indonesia pun berada dalam posisi strategis. Dengan cadangan nikel terbesar di dunia dan kobalt yang vital bagi industri baterai Eropa, negara ini masuk dalam radar perusahaan energi, otomotif, hingga teknologi tinggi Eropa yang mencari sumber pasokan baru.

Tidak hanya soal sumber daya. Indonesia memiliki beberapa kelebihan yang sulit diabaikan, diantaranya sebagai berikut,

  • Tenaga kerja muda melimpah. Lebih dari 70% penduduk berada di usia produktif, menciptakan suplai tenaga kerja jangka panjang.
  • Kebijakan pro-investasi. Kawasan Ekonomi Khusus, insentif pajak, dan penyederhanaan perizinan mendorong iklim usaha lebih ramah.
  • Letak geografis strategis. Berada di jantung ASEAN, Indonesia menjadi hub ideal untuk menjangkau pasar Asia dan global.
  • Hilirisasi industri. Kebijakan pembatasan ekspor bijih mentah mempercepat pertumbuhan industri EV, baterai, dan manufaktur bernilai tambah tinggi.

Keunggulan ini membuat perusahaan Eropa mulai melirik Indonesia bukan sekadar sebagai pemasok bahan mentah, tetapi sebagai basis produksi dan mitra jangka panjang.

Potensi besar ini tidak datang tanpa catatan, infrastruktur logistik Indonesia masih perlu dikejar. Biaya transportasi antar pulau tinggi, dan birokrasi kerap memperlambat proses operasional. 

Perusahaan juga harus menavigasi beragam aturan, mulai dari standar EU seperti EUDR hingga regulasi domestik seperti TKDN dan sertifikasi halal.

Persaingan pun tidak sedikit. Vietnam, Thailand, dan India sedang agresif menawarkan paket insentif yang tak kalah menarik untuk menarik relokasi pabrik.

Perubahan dinamika rantai pasokan global membuka peluang emas bagi Indonesia. Dengan kebijakan yang tepat dan perbaikan infrastruktur yang konsisten, Indonesia bisa memposisikan diri sebagai salah satu pilihan utama bagi perusahaan Eropa yang ingin keluar dari ketergantungan pada China.

Di tengah pergeseran geopolitik dan ekonomi dunia, Indonesia tengah berdiri di batas pintu peluang yang jarang datang dua kali. Pertanyaannya kini, siapkah kita memanfaatkannya?