Denda Tambang Ilegal Rp6,5 Miliar per Hektare, Sekadar Tambal Bocor?
- Pemerintah menetapkan denda hingga Rp6,5 miliar per hektare bagi tambang ilegal di kawasan hutan. Namun di balik kebijakan tegas ini, muncul pertanyaan besar: apakah denda benar-benar mampu menutup kerugian ekologis yang nilainya jauh lebih besar daripada potensi penerimaan negara?

Muhammad Imam Hatami
Author

JAKARTA, TRENASIA.ID – Pemerintah akhirnya mengambil langkah tegas untuk menekan maraknya praktik pertambangan ilegal di kawasan hutan. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menetapkan skema denda administratif baru bagi perusahaan tambang yang beroperasi tanpa izin di kawasan hutan lindung maupun konservasi.
Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 391.K/MB.01.MEM.B/2025 yang berlaku mulai 1 Desember 2025. Langkah tersebut menjadi bagian dari strategi pemerintah menutup kebocoran penerimaan negara sekaligus menekan laju kerusakan ekologis yang semakin meluas.
Bahlil menegaskan, aturan baru ini merupakan sinyal kuat bahwa pemerintah tidak lagi memberikan ruang bagi praktik eksploitasi mineral yang merusak lingkungan tanpa kontribusi nyata bagi negara. Dalam beleid tersebut, Kementerian ESDM menetapkan tarif denda administratif untuk empat komoditas utama yang paling sering ditemukan beroperasi secara ilegal di kawasan hutan.
Denda tertinggi dikenakan pada pertambangan nikel, mencapai Rp6,5 miliar per hektare, disusul bauksit Rp1,76 miliar, timah Rp1,25 miliar, dan batu bara Rp354 juta per hektare. Besaran ini disusun melalui pembahasan teknis lintas kementerian dan lembaga.
“Perhitungan penetapan denda administratif atas kegiatan pertambangan di kawasan hutan ini didasarkan hasil kesepakatan Rapat Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan untuk kegiatan usaha pertambangan,” demikian bunyi poin kesatu dalam Kepmen tersebut.
Aturan ini juga menjadi tindak lanjut atas Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor B-2992/Set-PKH/11/2025. Penagihan denda sepenuhnya berada di bawah kendali Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), dan seluruh hasil pungutan akan masuk sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor ESDM.
Pemerintah menegaskan bahwa sanksi administratif hanya berlaku untuk pelanggaran yang ditemukan dan diproses langsung oleh Satgas PKH. “Penetapan denda administratif atas kegiatan usaha pertambangan di kawasan hutan ini berlaku pada penindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Satgas PKH,” demikian poin keempat aturan tersebut.
Dengan model penegakan seperti ini, pemerintah berharap skema denda tidak hanya menjadi hukuman, tetapi juga instrumen pemulihan yang dapat menutup kerugian ekologis dan ekonomi akibat aktivitas tambang ilegal.
Kerugian Besar di Balik Angka Denda
Meski nilai dendanya sangat besar, masalah lain muncul ketika angka tersebut dibandingkan dengan alokasi biaya rehabilitasi hutan. Dalam rapat di DPR, Wakil Ketua Komisi IV mengungkap bahwa anggaran rehabilitasi hutan hanya sekitar Rp62.500 per hektare yang mana sangat timpang jika dibandingkan dengan denda maksimal Rp6,5 miliar per hektare untuk nikel.
Pertanyaan pun mengemuka: apakah negara benar-benar akan diuntungkan, atau justru tetap “boncos” menghadapi kerusakan ekologis yang nilainya jauh lebih besar daripada potensi denda yang dapat dikumpulkan?
Indonesia telah kehilangan lebih dari 32 juta hektare tutupan hutan sejak 2001. Deforestasi ini tidak hanya melepas karbon dalam jumlah masif, tetapi juga merusak ekosistem, menggerus nilai ekonomi jangka panjang, dan memperburuk risiko bencana.
Sebuah studi ilmiah tahun 2025 bahkan memperkirakan bahwa biaya restorasi ekosistem mangrove secara global mencapai US$9.739 per hektare, atau lebih dari Rp150 juta per hektare ratusan kali lipat dari alokasi rehabilitasi hutan di Indonesia.
Kerusakan hutan bukan sekadar hilangnya pohon. Dampaknya meluas: banjir, longsor, hilangnya jasa ekosistem, penurunan produktivitas lahan, kerugian infrastruktur, hingga biaya ekonomi bencana yang mencapai triliunan rupiah setiap tahun. Eksternalitas ini nyaris tidak tercermin dalam nilai denda maupun kebijakan anggaran pemerintah.
Nilai ekonomi blue carbon dari ekosistem pesisir Indonesia, misalnya, mencapai puluhan miliar dolar. Namun hingga kini pasar karbon domestik masih terbatas, dengan harga karbon yang relatif rendah, sehingga belum mampu menjadi insentif kuat bagi konservasi hutan.
Sektor ekstraktif seperti pertambangan, sawit, kehutanan, dan energi memang memberikan pemasukan besar bagi negara. Namun di balik itu terdapat unpaid ecological and social costs atau biaya sosial dan ekologis tersembunyi yang tidak pernah sepenuhnya dihitung dalam kebijakan fiskal maupun perhitungan PDB.
Kerugian ini menumpuk dari tahun ke tahun. Di balik besaran denda yang kini diberlakukan, terdapat sederet kerusakan besar yang sering kali tidak terhitung, antara lain sebagai berikut:
1. Deforestasi dan Kerusakan Hutan
- Indonesia kehilangan jutaan hektare hutan dalam dua dekade terakhir. Dampak ekologisnya tidak dihitung dalam harga komoditas.
- Indonesia kehilangan ±9,95 juta ha hutan 2001–2022 (data Global Forest Watch).
- Kerugian ekonomi ekosistem hutan diperkirakan mencapai Rp 300–500 triliun per tahun, terutama dari hilangnya fungsi tata air, karbon, dan keanekaragaman hayati (estimasi KLHK dan studi BRG/BRIN).
- Potensi nilai karbon hilang: 1 ha hutan tropis menyimpan ±150–200 ton karbon.
- Jika 1 juta ha hilang → setara kerugian emisi ±150–200 juta ton CO₂.
- Dampak Tidak Tertagih
- Peningkatan banjir bandang dan longsor.
- Hilangnya habitat satwa kunci (orangutan: ±80% populasinya hilang dalam 75 tahun terakhir).
- Penurunan kualitas tanah dan air.
2. Kebakaran Hutan & Lahan (Karhutla)
- Karhutla memberikan kerugian lintas sektor yang sangat besar namun tidak dibayar oleh pelaku industri.
- Total kerugian ekonomi akibat karhutla 2015: Rp 221 triliun (data World Bank).
- Kebakaran 2019: Rp 75 triliun kerugian (data KLHK + Bank Dunia).
- 15 juta orang terdampak ISPA dalam tiga periode kebakaran besar (2015–2020).
- Dampak Tidak Tertagih
- Pendidikan terganggu: ratusan sekolah tutup tiap tahun saat kabut asap.
- Kesehatan jangka panjang anak meningkat (asthma, pneumonia).
- Hilangnya produktivitas ekonomi (flight cancellation, gagal panen).
3. Polusi Air dari Pertambangan & Industri
- Industri tambang emas, batu bara, dan nikel menyumbang eksternalitas besar tanpa kompensasi memadai.
- >2.500 sungai di Indonesia mengalami pencemaran berat (data KLHK).
- Tambang batu bara menghasilkan 3 miliar m³ air asam tambang (AAT) per tahun yang harus diolah (data BRIN).
- 53% tambang nikel di Sulawesi dan Maluku berada dekat radius 1 km dari DAS, meningkatkan risiko sedimentasi (paparan Yale Environmental Index).
- Dampak Tidak Tertagih
- Biaya kesehatan masyarakat meningkat (kulit, diare, keracunan logam berat).
- Nelayan kehilangan pendapatan akibat matinya terumbu karang atau pesisir keruh.
- Krisis air bersih di desa ring-1 tambang.
4. Hilangnya Keanekaragaman Hayati
- Kerusakan habitat akibat ekspansi industri menggangu stabilitas ekosistem.
- Indonesia kehilangan lebih dari 50% populasi badak jawa, 80% orangutan, dan 40% harimau sumatera dalam 50–75 tahun terakhir.
- Nilai ekonomi jasa ekosistem global = US$ 44 triliun (data WEF).
- Indonesia menyumbang 10% keanekaragaman hayati dunia, sehingga kehilangan spesies berarti kerugian global.
- Dampak Tidak Tertagih
- Penurunan produktivitas pertanian (hilangnya penyerbuk alami).
- Ketidakstabilan ekosistem pesisir dan hutan.
- Hilangnya nilai wisata alam (eco-tourism).
5. Konflik Sosial & Kehilangan Tanah Adat
- Ekspansi perkebunan dan tambang memicu konflik struktural yang tidak dihitung sebagai biaya ekonomi.
- ±2.500 konflik agraria dalam 10 tahun terakhir (data KPA).
- Mayoritas konflik terkait perkebunan sawit, tambang, dan kehutanan.
- 700 ribu–1 juta hektare wilayah adat masih tumpang tindih izin industri (AMAN).
- Dampak Tidak Tertagih
- Hilangnya sumber penghidupan masyarakat adat.
- Kerusakan budaya dan praktik tradisional pengelolaan alam.
- Biaya hukum, konflik, dan kriminalisasi warga.
6. Biaya Kesehatan Akibat Polusi Udara
- Kota besar dan daerah industri mengalami beban udara kotor yang tidak dihitung dalam harga produk industri.
- Polusi udara menyebabkan ±123.000 kematian per tahun di Indonesia (IHME 2024).
- Kerugian ekonomi polusi udara di Jabodetabek mencapai Rp 70 triliun per tahun (BRIN + Bank Dunia).
- Industri energi dan transportasi menyumbang >70% polutan PM2.5.
- Dampak Tidak Tertagih
- Biaya pengobatan meningkat drastis.
- Produktivitas kerja turun (penyakit pernapasan).
- Anak dan lansia paling rentan.
7. Kerusakan Pesisir & Laut
- Eksploitasi pesisir mengancam ekonomi lokal dan ketahanan pangan.
- 40% terumbu karang Indonesia mengalami kerusakan berat (LIPI/BRIN).
- Abrasi pantai menggerus ±29 ribu ha per tahun (KKP).
- Overfishing mengurangi stok ikan 30–40% di beberapa wilayah.
- Dampak Tidak Tertagih
- Pendapatan nelayan turun 30–60%.
- Kerusakan pesisir memicu perpindahan penduduk.
- Penurunan kualitas pangan laut.
Dengan kondisi tersebut, para pakar menilai bahwa negara secara keseluruhan sudah mengalami kerugian nyata, bahkan sebelum denda administratif diberlakukan. Kerusakan ekologis yang terjadi selama puluhan tahun tidak tertutupi hanya oleh pungutan denda, setinggi apa pun angkanya. Sementara itu, anggaran rehabilitasi yang sangat kecil membuat upaya pemulihan tidak sebanding dengan laju deforestasi.
Meski demikian, kebijakan denda baru ini tetap dianggap sebagai langkah signifikan. Setidaknya, pemerintah kini memiliki instrumen hukum yang melakukan dua hal sekaligus: menindak tegas pelanggaran dan menambah sumber penerimaan negara.

Muhammad Imam Hatami
Editor