Tren Global

Ben Cohen Lawan Balik Unilever Lewat Es Krim Semangka Bertema Palestina

  • Pendiri Ben & Jerry’s, Ben Cohen, rilis eskrim semangka bertema Palestina setelah konflik panjang dengan Unilever tentang nilai sosial dan kebebasan berekspresi.
6f9e6364-12f1-447e-855a-e55e0a2b9587_800x450.jpg

JAKARTA, TRENASIA.ID - Pendiri merek es krim legendaris Ben & Jerry’s, Ben Cohen, kembali menjadi sorotan setelah menuduh perusahaan induk Unilever memblokir rencana peluncuran rasa es krim baru bertema solidaritas Palestina. 

Cohen menilai keputusan unilever sebagai bentuk pembungkaman terhadap nilai sosial yang sejak awal menjadi jantung merek Ben & Jerry’s.

“Saya melakukan apa yang mereka tidak bisa,” ujar Cohen dalam video di akun Instagram pribadinya, seperti dikutip laman New York Post, Jumat, 31 Oktober 2025.

Dalam unggahan itu, ia memperkenalkan varian baru di bawah label pribadinya Ben’s Best, berupa sorbet rasa semangka, pilihan yang ia sebut sebagai simbol solidaritas terhadap rakyat Palestina, karena warna merah, putih, hijau, dan hitam buah semangka menyerupai bendera Palestina.

Cohen mengajak publik untuk memberi ide nama dan bahan tambahan bagi varian baru tersebut. Langkah ini ia sebut sebagai upaya melanjutkan semangat aktivisme sosial yang dulu menjadi identitas Ben & Jerry’s.

“Unilever mungkin bisa membeli merek kami, tapi mereka tidak bisa membeli nilai-nilai kami,” tulis Cohen dalam keterangan videonya.

Baca juga : NJIS Perkuat Mutu Pembelajaran dan Lingkungan Sekolah yang Inklusif dan Kolaboratif

Menanggapi tudingan Cohen, juru bicara Unilever dari divisi es krim Magnum menyatakan bahwa saat ini bukan waktu yang tepat untuk berinvestasi dalam pengembangan produk bertema konflik geopolitik.

 “Kami menghargai semangat sosial Ben & Jerry’s, tetapi fokus kami sekarang adalah pada stabilitas dan inovasi yang inklusif,” ujar perwakilan perusahaan itu, dikutip The Guardian.

Unilever juga menegaskan bahwa dewan independen Ben & Jerry’s, yang dibentuk untuk menjaga misi sosial merek itu, tidak terlibat dalam strategi bisnis atau keputusan pemasaran perusahaan.

Akar Konflik

Konflik antara pendiri Ben & Jerry’s dan Unilever bukan hal baru. Ketegangan ini bermula sejak tahun 2000, ketika Unilever mengakuisisi Ben & Jerry’s dengan janji akan menghormati “misi sosial dan independensi moral” merek tersebut. Namun, dua dekade kemudian, Cohen dan rekannya Jerry Greenfield kerap menuding Unilever telah melanggar semangat itu.

Puncak perselisihan terjadi pada 2021, ketika Ben & Jerry’s menolak menjual produknya di wilayah pendudukan Israel sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah Israel di Palestina. 

Keputusan itu kemudian dibatalkan oleh Unilever, yang menilai langkah tersebut berpotensi memicu boikot dan masalah hukum. Bagi Cohen, langkah Unilever itu menjadi sinyal bahwa misi sosial Ben & Jerry’s semakin dibungkam. 

“Kami mendirikan perusahaan ini untuk berbicara tentang keadilan, bukan untuk diam demi keuntungan,” ujarnya dalam wawancara lama dengan Reuters.

Baca juga : Daging Sapi Melonjak! Cek Daftar Harga Pangan Jakarta Hari Ini

Rekan pendiri Jerry Greenfield resmi mengundurkan diri dari Ben & Jerry’s pada September 2025. Dalam pernyataannya, ia mengaku kecewa karena ruang kebebasan berekspresi di bawah kepemilikan Unilever semakin sempit. 

“Saya tidak bisa lagi berjuang dari dalam,” ujarnya, dikutip The Guardian.

Meski begitu, Cohen bertekad untuk terus memperjuangkan nilai sosial yang telah menjadi fondasi Ben & Jerry’s selama lebih dari empat dekade. Ia menyatakan bahwa label barunya, Ben’s Best, akan meluncurkan serangkaian varian “aktivis” yang mengangkat isu-isu yang “tidak berani disentuh Unilever.”

Sebelumnya, Ben’s Best juga pernah meluncurkan rasa “Bernie’s Back” pada 2016 untuk mendukung kampanye presiden Senator Bernie Sanders.

Meski kini berjalan sendiri, Cohen menegaskan bahwa es krim tetap menjadi medium ekspresinya dalam menyuarakan keadilan sosial. 

“Es krim membuat orang tersenyum,dan ketika orang sudah tersenyum, mereka lebih mudah diajak bicara tentang perubahan.” ungkap Cohen.

Dengan sorbet semangka yang simbolis itu, Cohen seolah ingin mengingatkan dunia bahwa bahkan sesuatu yang manis bisa membawa pesan yang pahit, tentang konflik, keberanian, dan idealisme yang tak bisa dibekukan.