BCA Bantah Utang Rp60 Triliun, Danantara Pastikan Tak Ada Rencana Akuisisi
- BCA luruskan isu utang Rp60 triliun, Danantara tegaskan tak ada akuisisi. Simak fakta di balik rumor saham BBCA.

Alvin Bagaskara
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Desakan agar pemerintah mengambil alih kembali kepemilikan saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dari Grup Djarum kembali mencuat dan memicu gejolak di pasar. Isu ini bermula setelah Ketua LPEKN, Sasmito Hadinegoro, meminta skandal BLBI terkait BCA dibongkar.
Pernyataan tersebut berujung pada usulan agar negara, melalui BPI Danantara, mengakuisisi 51% saham BCA. Rumor ini sontak memicu kegaduhan dan memberikan tekanan pada harga saham bank swasta terbesar di Indonesia tersebut.
Menanggapi spekulasi liar yang beredar, baik manajemen BCA maupun bos Danantara akhirnya buka suara untuk memberikan klarifikasi. Lantas, bagaimana bantahan dari kedua belah pihak? Mari kita bedah tuntas.
1. Klarifikasi Lengkap dari BCA Soal Akuisisi 2003
Menjawab isu sejarah yang kembali diangkat, Corporate Secretary BCA, I Ketut Alam Wangsawijaya, memberikan klarifikasi lengkap. Ia menegaskan bahwa informasi mengenai dugaan rekayasa dalam akuisisi 51 persen saham oleh Grup Djarum adalah tidak benar.
Ketut meluruskan bahwa angka Rp117 triliun yang sering disebut bukanlah nilai pasar BCA saat itu, melainkan total aset perseroan. Menurutnya, acuan valuasi yang benar adalah nilai pasar saat itu, yaitu sekitar Rp10 triliun.
“Pada saat strategic private placement dilakukan, nilai pasar BCA berdasarkan harga saham rata-rata di BEI adalah sekitar Rp10 triliun. Angka ini menjadi acuan valuasi saat transaksi berlangsung,” ujar Ketut dalam keterbukaan informasinya pada Rabu, 20 Agustus 2025.
BCA juga membantah keras informasi yang menyebutkan adanya utang perseroan kepada negara senilai Rp60 triliun. Ketut menegaskan bahwa angka tersebut justru merupakan aset obligasi pemerintah yang dimiliki oleh BCA, bukan utang.
Menurutnya, seluruh obligasi tersebut telah selesai pada tahun 2009 sesuai dengan ketentuan dan hukum yang berlaku. Ia menutup klarifikasinya dengan menyatakan bahwa proses akuisisi telah berjalan transparan di bawah pengawasan BPPN.
2. Bantahan Tegas dari Bos Danantara
Sebelumnya, CEO Danantara yang juga menjabat sebagai Menteri Investasi, Rosan Roeslani, menepis rumor tersebut. Ia memberikan jawaban yang singkat, padat, dan jelas terkait rencana akuisisi BBCA.
“Enggak ada,” ujarnya singkat usai menghadiri rapat tertutup dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Selasa, 19 Agustus 2025. Bantahan dari pejabat setingkat menteri ini menjadi jawaban resmi pemerintah atas rumor tersebut.
Sikap Rosan yang memilih tidak berkomentar lebih jauh saat kembali dikonfirmasi oleh wartawan juga mempertegas bahwa isu ini tidak menjadi agenda pembahasan di tingkat pemerintahan. Ini adalah sinyal kuat untuk meredam spekulasi liar yang beredar di pasar.
3. Dampak ke Pasar: Saham BBCA Langsung Memerah
Rumor yang tidak berdasar ini secara langsung memberikan dampak negatif ke pasar. Saham BBCA, yang biasanya menjadi pilar utama penguatan IHSG, harus rela tertekan dan parkir di zona merah dalam dua hari terakhir akibat sentimen negatif ini.
Pada perdagangan Selasa, 19 Agustus 2025, saham BBCA tercatat melemah -2,30% ke level Rp8.500. Pelemahan ini berlanjut hingga pagi ini, di mana harganya kembali turun -0,88% ke Rp8.425, menambah catatan koreksi sejak awal tahun.
Tekanan jual ini menunjukkan betapa sensitifnya pasar terhadap isu-isu yang menyangkut stabilitas kepemilikan di emiten sebesar BBCA. Kegaduhan sekecil apapun dapat dengan cepat memicu kepanikan dan aksi jual dari para investor di pasar.
4. Peringatan dari DPR: Jangan Bikin Gaduh!
Kegaduhan ini juga mendapatkan perhatian serius dari parlemen. Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKB, Tommy Kurniawan, meminta semua pihak untuk tidak melontarkan pernyataan yang hanya akan memperburuk iklim investasi nasional.
“Iklim investasi sedang bagus di tengah situasi global yang serba tidak pasti. Karena itu, kita wajib menjaganya dan jangan sampai ada pernyataan yang menimbulkan kegaduhan,” ujar Tommy, menekankan pentingnya stabilitas.
Ia juga secara spesifik mempertanyakan maksud dan tujuan di balik isu pengambilalihan ini. “Itu justru bisa mengganggu stabilitas keuangan dan iklim investasi kita,” pungkasnya, menegaskan bahwa isu sensitif seperti ini tidak seharusnya dilempar ke publik

Alvin Bagaskara
Editor
