Tren Pasar

Akhir Era Saham Gudang Garam (GGRM), Terjun Bebas Seiring Laba Menyusut

  • Kejayaan Gudang Garam (GGRM) berakhir. Saham anjlok ke Rp8.800, laba bersih turun drastis di bawah Rp1 triliun setelah belasan tahun stabil.
52255292706_5fa1297f02_k.jpg
Rokok Surya Gudang Garam (GGRM) (Dok/flickr.com)

JAKARTA, TRENASIA.ID – Pernah menjadi salah satu raja tak terbantahkan di Bursa Efek Indonesia, nasib saham PT Gudang Garam Tbk (GGRM) kini berbanding terbalik 180 derajat. Saham yang pada masa jayanya sempat diperdagangkan di atas Rp80.000 per lembar, kini harus tertidur di level Rp8.800.

Anjloknya harga saham ini ternyata merupakan cerminan dari kondisi internal perusahaan yang sedang tidak baik-baik saja. Laba bersih yang selama belasan tahun selalu stabil di atas Rp5 triliun, kini anjlok hingga di bawah Rp1 triliun, menandai berakhirnya sebuah era kejayaan.

Fenomena ini tentu memicu pertanyaan besar: apa yang sebenarnya terjadi pada raksasa rokok asal Kediri ini? Mari kita bedah tuntas kisah keruntuhan salah satu imperium bisnis paling legendaris di Indonesia.

1. Masa Kejayaan: Saat GGRM Jadi Saham Kebal Krisis

Untuk memahami besarnya kejatuhan ini, penting untuk melihat kembali masa kejayaannya. Didirikan oleh Surya Wonowidjojo pada 1958, Gudang Garam menjelma menjadi konglomerasi raksasa yang bahkan terbukti kebal terhadap hantaman krisis moneter 1998 yang melumpuhkan banyak perusahaan.

Saat banyak perusahaan lain tumbang, Gudang Garam justru berdiri kokoh. Pemasok dan penjualan yang mayoritas berasal dari dalam negeri membuat perusahaan ini nyaris tidak memiliki utang luar negeri. Rokok, saat itu, terbukti menjadi produk yang tahan banting di segala kondisi ekonomi.

Di bawah kendali generasi kedua yang dipimpin oleh Susilo Wonowidjojo, bisnis Gudang Garam terus meroket. Dengan produk legendaris seperti Surya, perusahaan ini menjadi salah satu pembayar cukai terbesar dan sahamnya menjadi primadona di kalangan para investor institusi maupun ritel.

2. Rapor Merah: Anjloknya Laba dan Harga Saham

Namun, masa kejayaan tersebut kini seolah tinggal kenangan. Laba bersih perusahaan menunjukkan tren penurunan yang sangat mengkhawatirkan. Dari yang semula mencapai puncaknya di Rp10,8 triliun pada 2019, labanya anjlok menjadi Rp980,8 miliar pada 2024.

Kondisi ini berlanjut hingga semester pertama 2025, di mana perusahaan hanya mampu membukukan laba bersih Rp117,16 miliar. Angka ini sangat jauh jika dibandingkan dengan rata-rata laba tahunan yang selama ini selalu berada di atas Rp5 triliun.

Anjloknya kinerja fundamental ini secara langsung menghantam harga sahamnya. Dari yang semula diperdagangkan di level Rp83.650 pada April 2019, kini harganya terperosok ke level Rp8.800, sebuah penurunan yang sangat menyakitkan bagi para pemegang saham setianya.

Kinerja Laba Gudang Garam

3. Tsunami Tantangan: Kenapa Bisa Terjadi?

Keruntuhan kinerja ini ternyata disebabkan oleh tantangan berlapis yang menghantam industri rokok dalam beberapa tahun terakhir. Faktor utama yang menjadi penyebabnya adalah kenaikan tarif cukai yang hampir selalu terjadi setiap tahun dan terus menggerus margin.

Harga rokok yang terus meroket akibat kenaikan cukai membuat daya beli konsumen melemah, yang pada akhirnya menekan volume penjualan. Di saat yang sama, Gudang Garam juga harus menghadapi persaingan yang semakin ketatdari para produsen rokok lainnya.

Tantangan ini diperparah dengan maraknya peredaran rokok tanpa cukai alias rokok ilegal. Kombinasi dari tiga tekanan inilah yang secara perlahan tapi pasti menggerus profitabilitas raksasa industri rokok seperti Gudang Garam.

4. Jurus Diversifikasi yang Belum Berhasil

Menghadapi tekanan di bisnis inti, Gudang Garam sebenarnya tidak tinggal diam. Perusahaan mencoba melakukan diversifikasi bisnis ke sektor lain untuk mencari sumber pertumbuhan baru yang lebih berkelanjutan di masa depan.

Melalui PT Surya Kerta Agung, perusahaan masuk ke bisnis jalan tol. Langkah yang lebih ambisius adalah pembangunan Bandara Dhoho Kediri melalui PT Surya Dhoho Investama (SDHI), sebuah proyek mercusuar yang menelan biaya sangat besar.

Namun, jurus diversifikasi ini tampaknya belum membuahkan hasil yang diharapkan. Bandara Dhoho Kediri yang telah beroperasi dilaporkan masih sepi dari penerbangan, menunjukkan bahwa upaya ini masih membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk bisa berkontribusi.

5. Apa Artinya Ini Bagi Investor?

Kisah Gudang Garam adalah pelajaran penting bahwa tidak ada perusahaan yang terlalu besar untuk gagal (too big to fail). Model bisnis yang selama puluhan tahun terbukti tangguh, ternyata bisa goyah jika dihadapkan pada perubahan regulasi dan dinamika pasar.

Bagi investor, kondisi ini menyajikan sebuah dilema. Di satu sisi, ada nama besar dan sejarah yang legendaris. Namun di sisi lain, ada fundamental yang sedang berdarah-darah dan upaya diversifikasi yang hasilnya masih penuh tanda tanya.