Akhir Era ‘Bakar Uang’: Kinerja BELI dan GOTO Mulai Berbuah, Pasar Pilih Efisiensi
- Industri digital memasuki babak baru. Bukan lagi soal siapa tumbuh tercepat, tetapi siapa yang paling disiplin menjaga profitabilitas. Analis menyebut sejumlah emiten teknologi seperti GOTO, BUKA, dan BELI mulai memperlihatkan hasil dari strategi efisiensi yang diterapkan dalam beberapa tahun terakhir—menandai berakhirnya era growth at all cost.

Ananda Astri Dianka
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Di tengah dinamika besar yang terjadi dalam industri digital global, pasar kini mengedepankan satu kata kunci: efisiensi. Fokusnya tidak lagi pada pertumbuhan agresif semata, melainkan pada kemampuan perusahaan menjaga profitabilitas secara konsisten.
Tren ini juga tercermin pada langkah sejumlah raksasa teknologi dunia yang mulai menata ulang strategi bisnis mereka. Pelaku industri kini menempatkan fokus pada bisnis inti dan pengelolaan biaya yang cermat sebagai upaya mendulang performa positif, tidak hanya bagi kinerja keuangan, tetapi juga bagi kepercayaan pasar.
“Efisiensi bisnis yang efektif menjadi kunci dalam menciptakan profitabilitas berkelanjutan. Dari situ, kenaikan bottom line dan apresiasi harga saham berjalan seiring,” ujar Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta Utama.
- Baca Juga: Cerdas Pilih PayLater: Perbandingan Bunga dan Biaya di Shopee, Tokopedia, TikTok, dan Blibli
Menurutnya, hal tersebut bukan tanda industri yang lesu, justru indikasi kedewasaan dari ekosistem serta model bisnisnya. “Teknologi sendiri adalah investasi masa depan, modal besar memang diperlukan, tapi harus digunakan dengan tepat. Efisiensi membuat emiten teknologi menjadi lebih sustain, lebih stabil, dan punya ruang untuk tumbuh secara sehat,” katanya.
Nafan menilai, beberapa pemain mulai menunjukkan hasil. “GOTO (PT GOTO Gojek Tokopedia Tbk) misalnya, gross profit-nya meningkat karena mereka fokus memperkuat gross transaction value. BUKA (PT Bukalapak Tbk) bahkan sudah berhasil mencetak profit. Itu sinyal kuat bahwa perusahaan digital Indonesia kini on the right track,” jelasnya.
Sementara emiten besutan grup Djarum, Blibli (PT Global Digital Niaga Tbk) menurut Nafan, berada dalam fase yang menarik. “Arah perusahaannya sudah benar, menjaga efisiensi sambil memperkuat ekosistem digital yang lebih luas,” tambahnya.
Fakta terbaru mendukung pandangan ini. Meski masih mencatatkan kerugian, emiten teknologi berkode BELI ini membukukan pendapatan konsolidasian kuartal III 2025 tumbuh 32% yoy menjadi sekitar Rp 5,644 triliun, dengan pendapatan 9 bulan mencapai Rp15,239 triliun. Take rate Blibli juga meningkat dan diikuti oleh struktur biaya turut membaik.
Ia menegaskan, perubahan orientasi ini mencerminkan berakhirnya era growth at all cost. “Era itu sudah selesai. Sekarang pasar hanya akan menghargai perusahaan digital yang disiplin, efisien, dan mampu menunjukkan hasil konkret dalam profitabilitas. Inilah fase baru di mana industri digital tidak lagi dinilai dari skala semata, tapi dari ketahanan dan keberlanjutan model bisnisnya,” ujarnya.
Fenomena ini menandai pergeseran besar dalam cara investor menilai nilai sebuah emiten teknologi. Kapitalisasi pasar tidak lagi dibangun dari janji pertumbuhan, melainkan dari bukti kinerja.
Bagi perusahaan seperti Blibli, masa depan kini bergantung pada satu hal: kemampuan mengubah efisiensi menjadi daya tahan jangka panjang. “Perlu pembuktian lebih lanjut terutama dalam hal integrasi dengan tiket.com,” pungkas Nafan.

Ananda Astri Dianka
Editor
