Utang Terus Membengkak, Banggar DPR Ragu Defisit APBN Kembali di Bawah 3 Persen pada 2023
Utang pemerintah naik signifikan selama pandemi COVID-19. Melihat kondisi ini, Ketua Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Said Abdullah menilai pembengkakan utang ini membuat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sulit mencapai level di bawah 3% pada 2023.

Muhamad Arfan Septiawan
Author


Karyawati salah satu bank menunjukkan mata uang Rupiah dan Dolar di Jakarta, Selasa, 8 Juni 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
(Istimewa)JAKARTA – Utang pemerintah naik signifikan selama pandemi COVID-19. Melihat kondisi ini, Ketua Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Said Abdullah menilai pembengkakan utang sulit menekan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga di bawah 3% pada 2023.
Menurut Said, penarikan utang sifatnya wajib sebagai penopang perekonomian di masa pandemi COVID-19. Said pun mengakui konsekuensi besar lainnya yang muncul dari penarikan utang ini adalah nilai bunga yang harus ditanggung pemerintah.
“Kita tidak suka berutang, saya ulangi sekali lagi. Tapi itu (menarik utang) adalah kondisi objektif dan subjektif yang harus kita tempuh saat ini,” kata Said dalam rapat kerja bersama Pemerintah dan Bank Indonesia (BI), Rabu, 30 Juni 2021.
- Modernland Realty Raup Marketing Sales Rp341 Miliar pada Kuartal I-2021
- Waskita Karya Raih Kontrak Pembangunan Jalan Perbatasan RI-Malaysia Rp225 Miliar
- Pengelola Hypermart (MPPA) Berpotensi Meraih Rp670,85 Miliar Lewat Private Placement
Said pun memprediksi pelebaran defisit APBN akan mencapai 5,7% pada 2021 akibat penarikan utang. Meski tidak menjamin defisit APBN di bawah 3% lagi pada 2023, Indonesia masih mampu melunasi utang-utang tersebut.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang Indonesia berada di angka Rp6.418 triliun per Mei 2021. Utang tersebut mengalami kenaikan Rp1.159,58 triliun dibandingkan dengan Mei 2020.
Sejumlah pihak telah berkali-kali mengingatkan pemerintah untuk menahan penarikan utang. Apalagi, dinamika ekonomi global punya efek terhadap beban bunga utang Indonesia yang berpotensi naik.
Hal itu bisa terjadi karena pemerintah harus menahan investor asing dengan menaikan imbal hasil atau yield Surat Berharga Negara (SBN). Seperti diketahui, racikan penarikan utang ala Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memang banyak membebankan penarikan utang dalam bentuk valuta asing (valas).
Indonesia menarik utang dari penerbitan SBN valas sebesar Rp1.126,45 triliun. Lalu, utang luar negeri (ULN) yang ditarik dalam valas mencapai Rp828,51 triliun.
Bunga utang Indonesia pada 2022 telah diprediksi menyentuh Rp417 triliun. Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai kemampuan pemerintah menarik penerimaan berbentuk valas semakin melemah.
Akibatnya, bunga utang yang tinggi ditambah penerimaan valas yang lemah membuat Indonesia terancam tidak bisa melunasi utangnya.
“DSR (debt service ratio) kita pada 2015 sudah 25 persen dan diingatkan IMF (International Monetary Fund) dan di 2020 itu mencapai 54%. Masalahnya DSR ini soal bagaimana negara mendorong sektor-sektor yang berkaitan dengan penerimaan valas, ini yang semakin tidak sinkron,” kata Bhima kepada Trenasia.com, Selasa, 29 Juni 2021.
Krisis utang ini, kata Bhima, juga dipicu oleh beban pembiayaan COVID-19 yang tinggi. Oleh karena itu, Bhima mendorong pemerintah untuk segera melakukan mitigasi penurunan kurva agar agresivitas penarikan utang bisa diredam.
Bila kondisi ini terus berlanjut, Bhima menyebut tidak menutup kemungkinan Indonesia bakal masuk dalam krisis utang. “APBN kita bebannya semakin tinggi, nilai rupiah juga terancam karena utang valas kita,” ucap Bhima. (LRD)
