Sejarah GBK, Aset Senilai Rp450 T yang Kini Dikelola Danantara
- Letaknya yang dikelilingi kawasan bisnis utama seperti Sudirman, Gatot Subroto, dan Semanggi, menjadikan GBK tidak hanya penting secara simbolik, tetapi juga sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bagian dari strategi investasi dan pengelolaan aset negara.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA - Kawasan Gelora Bung Karno (GBK) di Jakarta tidak hanya menjadi ikon olahraga dan tempat bersejarah nasional, GBK juga tercatat sebagai salah satu aset negara dengan nilai terbesar yang pernah dimiliki Indonesia.
Dengan estimasi mencapai US$25 miliar atau sekitar Rp450 triliun, GBK berada di peringkat tertinggi dalam daftar aset negara yang dinilai memiliki potensi ekonomi luar biasa.
Kawasan GBK dikabarkan akan masuk dalam portofolio pengelolaan oleh Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, lembaga baru yang ditargetkan mengelola aset hingga senilai US$1 triliun.
“GBK yang dikelola Kemensetneg, yang nilainya 8 tahun yang lalu itu mencapai US$25 miliar akan dimasukkan ke dalam Danantara,” jelas Chief of Executive Officer (CEO) Danantara, Rosan P. Roeslani kala Town Hall Meeting Danantara di Jakarta, Senin , 28 April 2025 yang lalu.
Wacana ini pertama kali diungkapkan oleh CEO Danantara, Rosan Roeslani, dalam acara Town Hall Meeting, dan disebut sebagai inisiatif langsung dari Presiden Prabowo Subianto.
Namun, proses pengalihan pengelolaan GBK bukanlah hal sederhana. Saat ini, kawasan seluas 279 hektare tersebut masih dikelola oleh Pusat Pengelolaan Komplek GBK (PPK GBK), sebuah Badan Layanan Umum (BLU) di bawah Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg).
Berbeda dengan aset yang dikelola BUMN, status hukum GBK membuat proses alih kelola memerlukan waktu dan mekanisme khusus. Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, juga menegaskan bahwa hingga kini, belum ada aset GBK yang resmi dikelola Danantara. Prosesnya masih dalam tahap kajian dan koordinasi antarlembaga.
Sekilas Sejarah Kawasan GBK
Pembangunan kawasan Gelora Bung Karno dimulai pada tahun 1960 sebagai bagian dari ambisi besar Presiden Soekarno untuk menunjukkan eksistensi dan martabat bangsa Indonesia di mata dunia.
Proyek ini dilakukan untuk menyambut Asian Games ke-4 tahun 1962, yang sekaligus menjadi ajang olahraga internasional pertama yang diselenggarakan di tanah air pascakemerdekaan.
Pembangunan stadion dan fasilitas pendukungnya merupakan bagian dari simbolisasi ideologi "nation building" era Orde Lama, dengan menekankan bahwa Indonesia adalah negara baru yang maju, mandiri, dan siap bersaing di pentas internasional. Presiden Soekarno bahkan menyebut kompleks olahraga ini sebagai “monumen olahraga bangsa”.
Untuk mempercepat pembangunan, pemerintah Indonesia menjalin kerja sama teknik dengan Uni Soviet yang saat itu memberikan bantuan dalam bentuk dana, material, hingga tenaga ahli konstruksi.
Stadion utama yang kemudian dikenal sebagai Stadion Utama Senayan memiliki kapasitas awal lebih dari 100.000 penonton dan menjadi salah satu stadion terbesar dan termegah di Asia saat itu.
Ciri khas arsitekturnya adalah "temu gelang" atap raksasa melingkar yang melindungi tribun, simbol kekuatan dan semangat gotong royong. Setelah Asian Games 1962, kawasan Senayan berkembang menjadi pusat kegiatan olahraga nasional.
Fasilitas-fasilitas seperti Istora Senayan, Lapangan Hoki, Kolam Renang Akuatik, Lapangan Tenis, dan fasilitas atlet lainnya dibangun secara bertahap, menjadikan kawasan ini sebagai jantung pembinaan atlet Indonesia dan penyelenggaraan berbagai event nasional dan internasional.
Tak hanya itu, kawasan GBK juga menjadi saksi berbagai peristiwa penting bangsa, mulai dari kampanye politik, konser musik berskala besar, hingga kegiatan keagamaan dan sosial. GBK menjadi ruang publik multifungsi yang merekatkan masyarakat lintas generasi dan kelas sosial.
Pada tahun-tahun terakhir, kawasan ini mengalami revitalisasi besar-besaran menjelang penyelenggaraan Asian Games 2018, termasuk peremajaan Stadion Utama yang kini berkapasitas sekitar 76.000 penonton dengan teknologi pencahayaan dan kursi individual standar FIFA.
Upaya ini memperkuat posisi GBK sebagai salah satu fasilitas olahraga paling modern di Asia Tenggara. Kini, dengan luas mencapai 279 hektare, kawasan GBK bukan hanya warisan sejarah dan kebanggaan olahraga nasional, tetapi juga menjadi paru-paru kota dan lahan strategis yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Letaknya yang dikelilingi kawasan bisnis utama seperti Sudirman, Gatot Subroto, dan Semanggi, menjadikan GBK tidak hanya penting secara simbolik, tetapi juga sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bagian dari strategi investasi dan pengelolaan aset negara.

Ananda Astridianka
Editor
