Menimbang Kepentingan Penulisan Ulang Sejarah Indonesia
- Proyek penulisan ulang sejarah nasional yang diinisiasi oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto diklaim bertujuan menyajikan narasi yang lebih Indonesiasentris, sekaligus menghapus bias kolonial dan merespons tantangan zaman seperti globalisasi.

Muhammad Imam Hatami
Author

JAKARTA - Rencana pemerintah untuk menulis ulang sejarah nasional menuai sorotan publik. Menteri Kebudayaan Fadli Zon pun diminta memberikan penjelasan terkait proyek sejarah tersebut yang dinilai rawan mengulang pola narasi Orde Baru yang bias kekuasaan.
Proyek penulisan ulang sejarah nasional yang diinisiasi oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto diklaim bertujuan menyajikan narasi yang lebih Indonesiasentris, sekaligus menghapus bias kolonial dan merespons tantangan zaman seperti globalisasi.
Narasi sejarah versi baru ini diharapkan dapat memperkuat identitas kebangsaan, serta menjangkau generasi muda yang kerap kali jauh dari pemahaman sejarah bangsanya sendiri.
Dikhawatirkan Ubah Sejarah Asli
Namun, proyek ambisius dengan anggaran mencapai Rp9 miliar ini justru menuai polemik di ruang publik. Sejumlah kalangan, mulai dari anggota DPR hingga komunitas akademisi, mempertanyakan arah, proses, dan substansi revisi sejarah tersebut.
Salah satu kritik paling tajam datang dari Anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana, yang juga dikenal sebagai sejarawan. Ia mempertanyakan nilai kebaruan dari pendekatan Indonesiasentris yang diusung proyek ini, mengingat pendekatan serupa telah digaungkan sejak Seminar Sejarah Nasional pertama pada 1957.
Tak hanya itu, Bonnie juga menyoroti kualitas metodologi yang digunakan. Bila proyek ini hanya mengandalkan kompilasi dari sumber sekunder tanpa penelitian primer yang kuat, maka hasilnya dikhawatirkan tidak akan memberikan kontribusi signifikan terhadap historiografi nasional.
Ia mengingatkan bahwa proyek sejarah dengan dana sebesar itu memiliki tanggung jawab akademik dan moral yang besar terhadap publik.
Di sisi lain, kekhawatiran juga muncul dari kelompok masyarakat sipil. Aktivis perempuan menyoroti adanya kecenderungan penghapusan atau marginalisasi narasi tentang kontribusi dan perjuangan perempuan dalam sejarah nasional.
Sementara itu, Mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman menilai proyek ini berisiko mengarah pada monopoli kebenaran sejarah oleh negara. Ia menyebut adanya gejala rekayasa sejarah yang dibingkai dalam satu tafsir tunggal, yang pada akhirnya dapat menjadi alat legitimasi kekuasaan.
“Tindakan itu merupakan cara halus pemerintah untuk mengontrol pemikiran rakyat dan memonopoli kebenaran atas sejarah bangsa,” ujar Marzuki, dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Rabu, 28 Mei 2025.
Marzuki dan rekan-rekannya mengingatkan bahwa sejarah semestinya tidak dikendalikan oleh kepentingan politik tertentu, melainkan harus tetap kritis dan mewakili keberagaman perspektif anak bangsa.
- MK Putuskan Pendidikan SD-SMP Gratis Kecuali yang Menggunakan Kurikulum Khusus, Apa Itu?
- Pemerintah Harus Serius Atasi Masifnya Gelombang PHK di Sektor Padat Karya
- MINE Kantongi Dua Kontrak Baru dari Anak Usaha MBMA
Tanggapan Pemerintah
Menanggapi rentetan kritik tersebut, Fadli Zon memberikan klarifikasi dalam rapat bersama Komisi X DPR. Ia membantah isu tentang penghilangan peristiwa penting seperti Kongres Perempuan Indonesia 1928, dan menegaskan bahwa kabar tersebut adalah hoaks yang menyesatkan publik.
Menurut Fadli, justru proyek ini berupaya memperkuat narasi mengenai keterlibatan perempuan dalam sejarah. Ia menjelaskan bahwa tujuan utama revisi sejarah ini adalah menyusun narasi yang lebih inklusif dan relevan dengan tantangan masa kini, sekaligus menanamkan identitas nasional yang kuat kepada generasi muda.
“Lalu masih ada narasi sejarah yang kita pelajari belum sepenuhnya membebaskan diri dari perspektif kolonial, kurang menjawab tantangan kekinian dan globalisasi, sehingga sering dipandang kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat modern terutama generasi muda,” jelas Fadli Zon, dalam rapat dengan Komisi X DPR, di Kompleks Parlemen.
Fadli juga menekankan bahwa penulisan sejarah kali ini disusun secara ringkas dalam 11 jilid yang hanya memuat garis besar sejarah nasional, bukan kajian detail mendalam yang bisa memakan ratusan jilid.
Untuk menjaga kualitas akademik, proyek ini melibatkan sejumlah akademisi terkemuka dari berbagai perguruan tinggi. Di antaranya adalah Susanto Zuhdi dari Universitas Indonesia, Singgih Tri Sulistiyono dari Universitas Diponegoro, serta Jajat Burhanuddin dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Para akademisi ini diharapkan mampu menghadirkan kajian sejarah yang lebih komprehensif, kredibel, dan bebas dari intervensi politik. Meski demikian, polemik yang mengiringi proyek ini menunjukkan bahwa penulisan ulang sejarah tidak hanya soal fakta dan narasi, tetapi juga menyangkut bagaimana negara membentuk ingatan kolektif bangsanya.

Ananda Astridianka
Editor