Nasional

Mengingat Petrus, Cara Ekstrem Orde Baru Tumpas Premanisme

  • Di masa lalu, Indonesia pernah memiliki cara yang ekstrem untuk menumpas premanisme, yakni lewat penembak misterius (Petrus). Petrus merebak pada era Orde Baru (Orba), tepatnya medio 1982-1985.
soeharto.jpg
Presiden kedua RI, Soeharto (Istimewa)

JAKARTA—Aksi premanisme belakangan kembali menjadi sorotan di Tanah Air. Di sejumlah daerah, aksi premanisme berbaju organisasi masyarakat (ormas) bikin resah pengusaha. Pemalakan dan sejumlah tindakan sejenis kian dikhawatirkan karena mengganggu iklim investasi di Indonesia.

Tak hanya itu, anggota ormas pun kini berani melawan aparat keamanan. Di Depok, enam anggota GRIB Jaya ditangkap usai terlibat pembakaran mobil dan penganiayaan polisi. Belum lagi bentrokan antarpreman berkedok ormas yang masih sering terjadi di sejumlah tempat. 

Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, pun kembali menegaskan komitmennya dalam memberantas aksi premanisme. Dia menegaskan tak akan segan menindak siapapun yang terlibat aksi tersebut, tak memandang kelompok mannapun. 

“Jadi kalau mereka terindikasi menggunakan simbol-simbol tertentu, yang kita lihat adalah tindakannya. Kalau meresahkan masyarakat kita tindak tegas," ujarnya, dikutip dari Antara, Kamis, 15 Mei 2025. Listyo mengatakan pemberantasan premanisme telah masuk dalam operasi penyakit masyarakat (Pekat) yang digelar serentak sejak awal Mei ini. 

Di masa lalu, Indonesia pernah memiliki cara yang ekstrem untuk menumpas premanisme, yakni lewat penembak misterius (Petrus). Petrus merebak pada era Orde Baru (Orba), tepatnya medio 1982-1985. Yogyakarta menjadi kota pertama operasi Petrus. 

Digantung di Pohon

Operasi senyap itu rata-rata menyasar orang-orang bertato, berambut gondrong atau yang berpenampilan seperti preman. Korban Petrus biasa dibiarkan tergeletak di jalan, di bawah jembatan hingga digantung di pohon. Ada juga yang dimasukkan karung dan dibuang di sungai. Beberapa diculik dan tidak diketahui nasibnya hingga kini. 

Pelaku Petrus lazim melukai korbannya dengan tiga tembakan. Selain ditembak, sejumlah korban Petrus ditemukan tewas dengan luka cekik. Pelaku penembakan kemudian meninggalkan uang Rp10.000 di dekat jasad korban untuk biaya penguburan. 

Dalam otobiografinya yakni “Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya”, Presiden Soeharto mengungkap latar belakang di balik operasi Petrus. Soeharto mengklaim Petrus menjadi metode untuk membasmi kejahatan secara efektif. 

Hal ini karena Petrus dianggap dapat memberi efek jera luar biasa pada para penjahat. Soeharto menyebut efek jera dari Petrus lebih nyata ketimbang hukuman lain seperti penjara.

Namun langkah tersebut mendapatkan kecaman pegiat hak asasi manusia (HAM). Penelitian David Bourchier yang berjudul “Crime, Law and State Authority in Indonesia” mengungkap jumlah korban penembakan misterius medio 1982-1985 mencapai 10.000 orang. 

Baca Juga: RI Masih Sibuk Urus Preman Kala Investasi Mengucur Deras di ASEAN

Riset yang dirilis tahun 1990 itu menjadi salah satu rujukan Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM. Adapun aduan yang diterima Komnas HAM mencatat jumlah korban Petrus sedikitnya 2.000 orang. Petrus pun menjadi salah satu dari 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu yang disesalkan Joko Widodo saat menjabat Presiden. 

“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai kepala negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” ujar Jokowi pada Januari 2023.

Selain Petrus, sejumlah pelanggaran HAM berat lain adalah Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Talangsari 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I – II 1998-1999, dan Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999. 

Pelanggaran HAM berat lain yang diakui Jokowi adalah Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999, Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena, Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.