Koalisi Masyarakat Sipil Desak Jokowi Cabut Pasal Karet UU ITE
Desakan ini muncul pasca Presiden menyatakan Pemerintah akan membuka ruang untuk duduk bersama dengan DPR RI guna merevisi UU ITE dalam rapat tertutup dengan pimpinan TNI dan Polri di Istana Negara.

Dewi Aminatuz Zuhriyah
Author


Ilustrasi media sosial Facebook, Google, Twitter dan layanan digital asing dikenakan pajak / Pixabay
(Istimewa)JAKARTA – Koalisi masyarakat sipil mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera mencabut sejumlah pasal karet yang ada undang-undang (UU) ITE.
Desakan ini muncul pasca Presiden menyatakan Pemerintah akan membuka ruang untuk duduk bersama dengan DPR RI guna merevisi UU ITE dalam rapat tertutup dengan pimpinan TNI dan Polri di Istana Negara.
Dalam keterangan resmi yang dikutip Selasa, 16 Februari 2021, Koalisi tersebut menyatakan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan jika Pemerintah ingin serius mengubah UU ITE.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
Pertama, seluruh pasal-pasal yang multitafsir dan berpotensi over kriminalisasi dalam UU ITE sudah seharusnya dihapus. Rumusan pasal-pasal dalam UU ITE, yang sudah diatur dalam KUHP, justru diatur secara buruk dan tidak jelas rumusannya disertai dengan ancaman pidana lebih tinggi.
Kedua, proses fair trial dalam ketentuan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam revisi UU ITE harus kembali diberlakukan dan mendukung pembaharuan KUHAP dalam RKUHAP bahwa segala bentuk upaya paksa harus dengan izin pengadilan.
Revisi UU ITE harus mengembalikan hal baik yang pernah dirumuskan oleh UU ITE tahun 2008 bahwa mekanisme upaya paksa harus dengan izin dalam bentuk penetapan dari pengadilan. Dalam UU ITE yang sekarang berlaku, upaya paksa justru menjadi diskresi aparat penegak hukum dan menghilangkan izin dari Ketua Pengadilan.
Ketiga, pengaturan mengenai blocking & filtering juga harus direvisi. Dalam pandangan Koalisi, kendatipun kewenangan tersebut memang sudah seharusnya dimiliki pemerintah untuk menegakkan hukum, namun perlu adanya kontrol agar tidak terjadi kesewenang-wenangan.
Kewenangan mengenai pengaturan blocking dan filtering konten harus diatur secara tegas mekanismenya sesuai dengan due process of law. Terlalu besarnya kewenangan pemerintah eksekutif melakukan blocking dan filtering konten internet perlu ditinjau ulang dengan memasukkan mekanisme kontrol dan pengawasan sebelum dan setelah melaksanakan pemutusan.
Hal tersebut adalah semata mata untuk menjamin hak setiap orang atas informasi dan asas-asas pemerintahan yang baik.
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- Cegah Ledakan Kasus COVID-19, Pemerintah Geser dan Hapus Hari Libur Nasional Ini
- Penyaluran KPR FLPP: BTN Terbesar, Tiga Bank Daerah Terbaik
Mengacu pada 3 hal tersebut, koalisi masyarakat sipil pun mendesak kepada presiden Jokowi untuk merealisasikan pernyataan yang disampaikan untuk melakukan revisi UU ITE.
Kedua, mencabut semua pasal pasal karet yang kerap kali menjadi alat mengkriminalisasi ekspresi dan pendapat oleh masyarakat.
Ketiga, merevisi ketentuan hukum acara pidana dalamn UU ITE agar dapat menjamin adanya fair trial dan sinkronisasi dengan perubahan KUHAP ke depan.
Keempat, merevisi ketentuan mengenai kewenangan pemerintah eksekutif yang terlalu besar untuk melakukan pemutusan akses elektronik sebagaimana diatur dalam UU ITE.
Serta terakhir, mengevaluasi secara menyeluruh implementasi UU ITE oleh aparat penegak hukum, termasuk mendorong aparat untuk memiliki pemahaman dan perspektif hak asasi manusia dan profesionalitas dalam menangani setiap perkara UU ITE.
Sebagai informasi, anggota koalisi masyarakat sipil terdiri dari ICJR, LBH Pers, IJRS, Elsam, SAFENet, YLBHI, KontraS, PBHI, Imparsial, LBH Masyarakat, AJI Indonesia, ICW, LeIP, LBH Jakarta, Greenpeace Indonesia, PUSKAPA, Rumah Cemara, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), WALHI. (SKO)
