Nasional

Gara-gara Tarif Impor Donald Trump, Industri Manufaktur Tertekan

  • Menanggapi kondisi tersebut, Kementerian Perindustrian telah menyiapkan sejumlah langkah strategis untuk meminimalisasi dampak negatifnya. Di antaranya adalah mendorong hilirisasi industri, diversifikasi produk, serta memperkuat pasar domestik yang saat ini mampu menyerap hingga 80% produk manufaktur nasional.
Industri manufaktur
Ilustrasi industri manufaktur (https://unsplash.com/photos/sTzb90A1Abs)

JAKARTA — Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan bahwa kebijakan tarif impor yang dikeluarkan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, masih berdampak terhadap sektor manufaktur di Indonesia.

Menurut Agus, gangguan pada rantai pasok global menjadi dampak awal yang dirasakan setelah kebijakan tersebut diberlakukan. Dampak selanjutnya mencakup penurunan daya saing, turunnya volume ekspor, serta ancaman masuknya produk impor dari negara-negara terdampak.

"Yang ketiga, ancaman banjir produk impor dari negara lain yang terdampak, dan yang keempat, ancaman pengurangan tenaga kerja serta pergeseran pasar ekspor," ujar Agus dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR RI di Senayan, Rabu, 30 April 2025.

Langkah Strategis Pemerintah

Menanggapi kondisi tersebut, Kementerian Perindustrian telah menyiapkan sejumlah langkah strategis untuk meminimalisasi dampak negatifnya. Di antaranya adalah mendorong hilirisasi industri, diversifikasi produk, serta memperkuat pasar domestik yang saat ini mampu menyerap hingga 80% produk manufaktur nasional.

Selain itu, pemerintah juga memfokuskan upaya pada perluasan pasar non-tradisional seperti Tiongkok, Eropa, ASEAN, dan Asia Timur guna menarik investasi baru dan membuka akses ekspor yang lebih luas.

Agus menekankan pentingnya percepatan ratifikasi perjanjian dagang Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA), yang dapat membuka akses bebas tarif ke pasar Eropa, khususnya untuk produk tekstil, alas kaki, dan sektor industri lainnya.

Untuk meningkatkan proteksi industri dalam negeri, pemerintah turut menggalakkan kebijakan anti-dumping, pengamanan perdagangan, serta pemberian berbagai insentif fiskal, seperti tax holiday, tax allowance, pembebasan bea masuk untuk mesin dan bahan baku, serta super tax deduction.

Di sisi non-fiskal, pemerintah memberikan dukungan melalui penetapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), pembangunan kawasan industri, penetapan Proyek Strategis Nasional (PSN), fasilitasi pembiayaan ekspor, hingga pelatihan dan sertifikasi tenaga kerja industri.

Menperin juga menyebut bahwa pemerintah memberikan insentif khusus untuk menjaga daya saing sektor padat karya, seperti PPh 21 dan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) bagi industri tekstil dan alas kaki, serta subsidi bunga 5% untuk kredit investasi pelaku UMKM dalam pembelian mesin produksi.

Kinerja PMI Manufaktur Indonesia

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada Maret 2025 berada pada level ekspansif, yakni 52,4 poin, meskipun mengalami penurunan dari bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 53,6 poin.

Penurunan ini antara lain disebabkan oleh melemahnya daya beli masyarakat menjelang Lebaran, yang berdampak pada turunnya penjualan produk dari subsektor industri makanan, minuman, serta tekstil dan produk tekstil (TPT).

Meski mengalami penurunan, kinerja PMI Indonesia masih lebih baik dibandingkan sejumlah negara lain. Berdasarkan data S&P Global, PMI manufaktur Indonesia pada Maret 2025 tercatat lebih tinggi dari Republik Rakyat Tiongkok (51,2), Vietnam (50,5), Thailand (49,9), Taiwan (49,8) Amerika Serikat (49,8) Myanmar (49,8), Belanda (49,6), Korea Selatan (49,1), Prancis (48,9), Jerman (48,3), Jepang (48,3), dan Inggris (44,6).