Di Balik Efisiensi Perusahaan: Outsourcing dan Nasib Pekerja yang Terabaikan
- Penggunaan tenaga kerja outsourcing di Indonesia terus menunjukkan tren peningkatan, bahkan di sektor-sektor yang sebelumnya dianggap sebagai pekerjaan inti. Salah satu contoh mencolok datang dari Teguk Indonesia, sebuah perusahaan ritel minuman yang pada Februari 2025 tercatat hanya memiliki 4 orang karyawan tetap.

Idham Nur Indrajaya
Author


JAKARTA - Beberapa estimasi menunjukkan bahwa pada tahun 2011, sekitar 40–50% tenaga kerja di sektor formal berasal dari skema outsourcing. Angka ini menunjukkan tren yang mirip dengan kondisi di negara lain seperti Jepang, di mana sekitar 40% pekerja formal juga berada dalam sistem kerja serupa, meskipun pendekatan kebijakan dan perlindungannya berbeda.
Di Indonesia, ketergantungan terhadap tenaga outsourcing masih belum diimbangi dengan regulasi jangka panjang yang kuat.
Forum Komunikasi Asosiasi Alih Daya Indonesia (FAADI), yang membawahi lebih dari 3.000 perusahaan outsourcing, memperkirakan jumlah pekerja outsourcing di Indonesia telah melampaui angka 3 juta orang pada tahun 2020, tersebar di berbagai sektor industri. Sebagian besar dari mereka bekerja di sektor penunjang, seperti jasa keamanan, kebersihan, logistik, dan layanan katering.
- Waspada! Ini Dampak Negatif Pakai Headset Terlalu Lama
- Sejarah dan Dinamika Sistem Outsourcing di Indonesia
- Laba Sompo Insurance Melejit 45 Persen, Asuransi Properti jadi Kunci
Fenomena Maraknya Outsourcing di Indonesia
Penggunaan tenaga kerja outsourcing di Indonesia terus menunjukkan tren peningkatan, bahkan di sektor-sektor yang sebelumnya dianggap sebagai pekerjaan inti. Salah satu contoh mencolok datang dari Teguk Indonesia, sebuah perusahaan ritel minuman yang pada Februari 2025 tercatat hanya memiliki 4 orang karyawan tetap.
Sementara itu, jumlah tenaga kerja outsourcing-nya melonjak tajam dari 67 orang pada September 2024 menjadi 483 orang pada Desember 2024. Kasus ini menunjukkan bahwa bahkan perusahaan berskala kecil sekalipun kini mulai bergantung pada sistem outsourcing.
Secara umum, tren outsourcing sangat dominan di sektor-sektor non-inti. Data dari riset internasional menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia, sebagaimana di banyak negara ASEAN lainnya, paling sering menggunakan outsourcing untuk layanan pendukung.
Contohnya termasuk teller bank, bagian perakitan di industri elektronik, hingga bagian farmasi. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Friedrich Ebert Stiftung (FES) pada 2013, pekerjaan inti di berbagai sektor seperti teller bank, penyolderan dan perakitan di industri otomotif, serta pelayanan di apotek, sering kali dialihkan kepada perusahaan outsourcing. Tujuan utamanya adalah untuk menghindari komitmen jangka panjang terhadap tenaga kerja tetap.
Lebih lanjut, laporan Gabungan Serikat Pekerja mencatat bahwa banyak perusahaan kini secara sistematis mengonversi pegawai tetap menjadi pekerja outsourcing. Konversi ini berdampak pada turunnya pendapatan dan terbatasnya akses pekerja terhadap jaminan sosial.
Sebagai contoh, pada Desember 2024, Aliansi Buruh Migas (KASBI) mencatat ada 226 pekerja outsourcing di Pertamina Cepu yang belum menerima hak-haknya, termasuk gaji, iuran BPJS, dan tunjangan hari raya (THR), dengan total kerugian mencapai sekitar Rp2,35 miliar.
Secara umum, pekerja outsourcing sering kali hanya menerima upah minimum atau bahkan lebih rendah, tanpa tunjangan yang memadai seperti asuransi kesehatan, jaminan pensiun, atau fasilitas kerja yang layak.
Dari sisi regional, tren penggunaan outsourcing bervariasi. Di wilayah Jabodetabek—yang menjadi pusat aktivitas bisnis dan industri—banyak perusahaan memanfaatkan outsourcing untuk mendukung operasional skala besar, terutama di bidang keamanan dan kebersihan.
Sebaliknya, di wilayah luar Jawa, persentase penggunaan outsourcing cenderung lebih kecil. Dalam sektor ekonomi, layanan seperti ritel dan logistik menunjukkan pertumbuhan outsourcing yang lebih cepat, seiring dengan berkembangnya e-commerce dan kebutuhan akan fasilitas penyimpanan dingin (cold storage).
Sementara itu, di sektor publik, terutama Badan Usaha Milik Negara (BUMN), praktik outsourcing juga mendapat sorotan tajam. Beberapa BUMN memang telah mulai mengangkat pekerja outsourcing menjadi pegawai tetap, namun di sisi lain, laporan tentang pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak akibat pengalihan ke skema outsourcing juga terus bermunculan. Hal ini menambah kompleksitas persoalan outsourcing, terutama ketika menyangkut hak-hak dasar pekerja dan keberlangsungan pekerjaan yang layak.
Baca Juga: Prabowo Mau Hapus Outsourcing, Negara Maju Ini Justru Sebaliknya
Regulasi dan Perubahan Kebijakan
Kerangka hukum outsourcing di Indonesia mengalami beberapa perubahan penting. UU No.13/2003 (UU Ketenagakerjaan) awalnya melegalkan outsourcing dan menyerahkan batasan pada Peraturan Menteri. Pada 2012 diterbitkan Permenaker No.19/2012 yang membatasi outsourcing hanya untuk jenis pekerjaan non-inti tertentu: catering, cleaning service, keamanan, transportasi (driver), dan jasa pertambangan/perminyakan. Ketentuan ini bertujuan melindungi pekerja tetap agar aktivitas inti perusahaan dikerjakan oleh karyawan tetap.
Omnibus Law UU Cipta Kerja (2020) sempat melonggarkan aturan outsourcing, dengan menghapus klausul perizinan khusus dan memperbolehkan outsourcing lebih luas. Namun pasca penolakan publik, undang-undang Ketenagakerjaan baru (UU No. 11/2023) direvisi untuk mengembalikan pembatasan outsourcing.
Konstitusi kini kembali mempertegas outsourcing hanya untuk pekerjaan pendukung non-inti (seperti yang disebutkan di atas), sekaligus membatasi kontrak PKWT maksimal lima tahun.
Selain itu, PP No.35/2021 tentang PKWT menghapus aturan kontrak seumur hidup, mewajibkan perpanjangan kontrak tak lebih dari lima tahun. Peraturan ini secara tidak langsung berdampak pada outsourcing, karena banyak pekerja alih daya diikat PKWT. Mahkamah Konstitusi juga aktif mengkaji status pekerja outsourcing.
Putusan MK No.168/PUU-XXI/2023 menegaskan bahwa outsourcing hanya boleh untuk pekerjaan non-inti: “seperti cleaning service, keamanan, katering, dan pengemudi”. Dengan keputusan tersebut, kerangka hukum outsourcing diperkuat: mengklasifikasi jenis pekerjaan yang boleh dialihdayakan dan membatasi durasi kontrak PKWT.
Sikap pemerintah pun berubah di bawah tekanan serikat pekerja. Menjelang Pemilu 2024, Presiden Jokowi sempat menaikkan iuran BPJS Kesehatan, yang diprotes oleh FAADI karena membebani perusahaan outsourcing.
Kini, pemerintahan Prabowo Subianto (2024–) berencana membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional untuk mengkaji penghapusan outsourcing secara bertahap. Serikat KSPI dan KSBSI mendesak penghapusan total; KSBSI mengingatkan agar transisi itu tidak merugikan pekerja dan perlu kajian matang. Menurut Elly Rosita Silaban (KSBSI), penghapusan outsourcing“membutuhkan kajian dan pertimbangan yang matang” agar tidak merugikan semua pihak.
Suara Serikat
Di sisi pengusaha outsourcing, Asosiasi Alih Daya Indonesia (ABADI) dan FAADI mendorong dialog dengan pemerintah. Ketua FAADI, Mira Sonia, meminta keringanan iuran BPJS Kesehatan bagi perusahaan outsourcing yang terdampak pandemi. Namun, asosiasi ini juga mengakui maraknya PHK selama 2020–2021, bahkan meski aturan baru kontrak lima tahun sudah berlaku, banyak kontrak outsourcing tidak diperpanjang atau di-PHK tanpa pesangon.
Serikat pekerja dan LBH ketenagakerjaan menyebut praktik “outsourcing terselubung” terjadi di berbagai industri. Misalnya, Geber BUMN (gabungan serikat pekerja BUMN) melaporkan masih dijumpai vendor outsourcing di banyak BUMN, termasuk tanpa mendaftarkan karyawannya ke BPJS Kesehatan/Ketenagakerjaan.
Pada 2018, Gerakan Buruh BUMN menyelenggarakan aksi demo di Jakarta menuntut penghapusan outsourcing di seluruh BUMN. Koordinatornya, Achmad Ismail, menyayangkan rekomendasi Komisi IX DPR tahun 2013 yang “tak kunjung dilaksanakan”.
Ia menegaskan isi rekomendasi tersebut agar seluruh pekerjaan di BUMN ditangani oleh pegawai tetap, tanpa dialihdayakan. Demonstrasi ini melibatkan ribuan buruh, yang sebagian mengeluhkan PHK sepihak (misal 1.095 sopir tangki Pertamina, 600 karyawan Krakatau Steel) akibat pemutusan kontrak outsourcing.
Selain aksi massa, pengaduan individual ke Kemenaker juga meningkat. Misalnya, beberapa pekerja outsourcing rumah sakit mengeluh bahwa gaji dibawah UMP dan hak BPJS tidak terpenuhi. Juga terdapat penelusuran kontrak kerja berlapis (“outsourcing berantai”) di mana perusahaan pengguna mendepak karyawan ke penyedia jasa untuk mengelak kewajiban hukum.
Data kasus hubungan industrial 2018–2023 menunjukkan kecenderungan sengketa antara karyawan outsourcing dan perusahaan pengguna; banyaknya gugatan PHK atau upah menggarisbawahi lemahnya perlindungan pekerja alih daya.
Contoh perusahaan retail minuman kekinian (Teguk Indonesia) yang mengandalkan jasa outsourcing besar-besaran. Teguk hanya memiliki 4 karyawan tetap, sementara karyawan outsourcing naik dari 67 menjadi 483 dalam beberapa bulan. Bisnis seperti ini memicu pro dan kontra: efisiensi operasional vs. kesejahteraan pekerja.
Perbandingan Internasional dan Global
Secara global, banyak negara berkembang menghadapi fenomena serupa. Di ASEAN, outsourcing cukup lumrah: Filipina dan India misalnya menguasai global BPO dengan jutaan tenaga kerja kontrak di call center, IT, dan back office. Sementara itu, negara tetangga Malaysia dan Thailand mengizinkan outsourcing di beberapa sektor non-inti. Laporan ASETUC-FES (2021) menyorot bahwa di Indonesia, Thailand, Filipina, dan Malaysia terdapat insiden tinggi penggunaan outsourcing meski masing-masing punya kerangka hukum ketat. Ini menunjukkan tren regional: perusahaan mencari fleksibilitas tenaga kerja luas di sektor jasa dan manufaktur.
Dalam konteks investasi, perusahaan multinasional cenderung menerapkan standar global. Banyak korporasi asing di Indonesia memang mengalihdayakan tugas-tugas pendukung seperti call center dan administrasi kepada vendor, sebagaimana praktik di negara asal mereka.
Di sisi lain, perusahaan lokal pun marak melakukan outsourcing untuk mengurangi beban biaya tetap. Belum ada data terperinci membandingkan pemakaian outsourcing antara perusahaan global vs lokal, namun risiko serupa muncul: ketidakpastian posisi kerja dan perbedaan perlindungan hukum pekerja.
Secara keseluruhan, penerapan outsourcing di Indonesia berada di antara tren ASEAN lain – tidak seagresif Filipina (BPO) dan tidak seterbuka beberapa negara Eropa Barat, tetapi dalam 10 tahun terakhir tetap meningkat.
- Korupsi BJB dan Bank Jatim Terkuak, OJK 'Beres-beres' BPD
- Kampanye Unik Jepang dalam Mengedukasi Turis Asing tentang Etika
- Kasus Pagar Laut Nyaris Tenggelam
Aspek Ekonomi dan Bisnis
Dari perspektif bisnis, outsourcing dipandang sebagai strategi efisiensi dan fleksibilitas. Perusahaan dapat mengurangi biaya rutin (gaji, tunjangan, pelatihan) serta mengurangi risiko hubungan kerja jangka panjang dengan “menyerahkan” pekerjaan pendukung kepada vendor.
Efek ekonomi jangka pendeknya: margin laba dapat meningkat dan perusahaan lebih mudah beradaptasi dengan fluktuasi permintaan. Misalnya, di industri ritel dan manufaktur, pengusaha sering menyebut kemampuan menambah atau mengurangi karyawan outsourcing lebih cepat ketimbang mempekerjakan karyawan tetap.
Namun, efektivitas ini mendapat kritik dari segi kualitas layanan. Praktik outsourcing seperti keamanan dan customer service sering disebut kurang terlatih atau kurang loyal. Biaya pelatihan dan kontrol kualitas menjadi kewajiban perusahaan pengguna, sementara pekerja outsourcing dapat berpindah-pindah vendor.
Dalam sektor kesehatan, misalnya, tenaga kebersihan atau kerumah tanggaan yang dioutsourcing kadang dianggap sulit dijamin konsistensinya. Secara kasat mata, kualitas layanan rawan terpengaruh saat banyak pekerjaan dialihkan ke tenaga berstatus kontrak.
Secara makroekonomi, outsourcing juga berpengaruh pada perolehan pendapatan pekerja dan penerimaan pajak. Karena banyak pekerja alih daya digaji di kisaran upah minimum, kontribusi pajak dan iuran jaminan sosial cenderung lebih rendah ketimbang jika mereka bekerja sebagai karyawan tetap dengan gaji lebih tinggi.
Praktik outsourcing yang masif dapat menekan pertumbuhan upah di sektor formal dan berpotensi menurunkan penerimaan negara dari pajak dan iuran BPJS. Serikat buruh juga menyorot bahwa outsourcing mengurangi beban perusahaan untuk membayar tunjangan hari raya (THR) penuh, pesangon, atau tunjangan pensiun, sehingga hak ekonomi pekerja tergerus.
Secara keseluruhan, studi bisnis menunjukkan outsourcing dapat menghemat biaya perusahaan dalam jangka pendek, tetapi ada biaya sosial dan investasi kompetensi jangka panjang.
Ketika bos menambah outsourcing, pekerja kontrak sering membentuk jalur karier terpisah, tanpa kenaikan jabatan layaknya karyawan tetap. Hal ini berimplikasi pada loyalitas dan produktivitas.
Banyak pengamat ketenagakerjaan menyarankan bahwa perusahaan perlu menyeimbangkan efisiensi tersebut dengan program pelatihan dan perlindungan yang setidaknya mendekati standar pekerja permanen.
Secara keseluruhan, data dan narasi dari berbagai pihak menegaskan bahwa outsourcing akan tetap menjadi bagian penting perekonomian Indonesia. Kombinasi regulasi baru, upaya perlindungan sosial, dan tekanan publik/serikat akan menentukan bagaimana sistem ini berkembang. Yang jelas, setiap angka dalam statistik mengandung kisah manusia yang bekerja keras namun masih mencari keadilan dalam dunia kerja modern.
(Catatan: Selama satu dekade terakhir, data resmi mengenai jumlah tenaga kerja outsourcing di Indonesia masih sulit diakses secara terpusat. Badan Pusat Statistik (BPS), melalui Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), belum mengeluarkan statistik tersendiri yang secara khusus memetakan jumlah dan distribusi pekerja outsourcing. Akibatnya, banyak analisis terkait topik ini mengandalkan hasil survei industri atau laporan dari asosiasi profesi.)

Amirudin Zuhri
Editor
