Di Antara Tuduhan dan Jasa Besar, Apakah Layak Soeharto Jadi Pahlawan Nasional?
- Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto mencerminkan tarik-ulur antara narasi pembangunan dan keadilan sejarah.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA - Usulan untuk menetapkan Presiden RI ke-2, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional kembali mengemuka pada tahun 2025. Gagasan ini datang dari Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi, yang menyatakan bahwa usulan tersebut muncul dari bawah, melalui bupati, wali kota, serta hasil berbagai seminar yang melibatkan akademisi, tokoh masyarakat, dan sejarawan.
Proses pengusulan pun dilakukan secara berjenjang, dimulai dari masyarakat, diteruskan ke tingkat provinsi, dan saat ini tengah berada di Kementerian Sosial untuk dimatangkan. Jika lolos verifikasi, usulan ini akan diteruskan ke Dewan Gelar dan diputuskan oleh Presiden.
"Tentu awalnya adalah masukan dari gubernur. Gubernur mendapatkan masukan dari bupati, wali kota, yang sebelumnya bupati dan wali kota itu adalah masukan dari masyarakat lewat seminar dan lain sebagainya," ungkao Menteri Sosial Saifullah Yusuf, di Kompleks Widya Chandra, Jakarta, dikutip Senin, 21 April 2025.
Namun, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, wacana pemberian gelar ini kembali memantik kontroversi. Banyak kalangan menilai bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto belum tepat karena berbagai pelanggaran yang terjadi di masa pemerintahannya.
- FITT dan FORU Paling Cuan, IHSG Ditutup Menguat 7,70 Poin
- Tergelincir di Awal Pekan, LQ45 Ditutup di 721,79
- Wafat di Usia 88 Tahun, Paus Fransiskus Dikenal Sederhana dan Rendah Hati
Dilansir TrenAsia dari berbagai sumber berikut sederet alasan yang kerap menjadi sumber penolakan pencalonan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional,
Tuduhan dan Keberatan
Pelanggaran HAM Berat
Soeharto dianggap memiliki andil besar dalam sejumlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat selama masa pemerintahannya. Salah satu yang paling kontroversial adalah tragedi 1965–1966, di mana ratusan ribu orang yang dituduh sebagai simpatisan atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dibunuh secara sistematis.
Operasi militer di Timor Timur setelah integrasi pada 1975 juga menimbulkan banyak korban jiwa, termasuk warga sipil, dan memunculkan tudingan genosida.
Hal serupa terjadi di Papua dan Aceh, di mana pendekatan militeristik kerap menimbulkan kekerasan terhadap warga sipil. Menjelang kejatuhannya pada 1998, muncul pula kasus penculikan dan penghilangan paksa terhadap sejumlah aktivis prodemokrasi, yang hingga kini belum sepenuhnya terungkap atau diadili secara tuntas.
Korupsi dan Nepotisme
Selain pelanggaran HAM, rezim Orde Baru juga lekat dengan praktik korupsi dan nepotisme yang terstruktur. Transparency International pernah menobatkan Soeharto sebagai salah satu kepala negara paling korup sepanjang sejarah, dengan dugaan korupsi yang merugikan negara hingga lebih dari US$30 miliar.
Kekuasaan yang terpusat membuat keluarga dan kroni-kroninya memperoleh keistimewaan dalam berbagai proyek negara, perizinan bisnis, hingga penguasaan sumber daya alam.
Banyak perusahaan besar kala itu dikendalikan oleh anak-anak Soeharto dan jaringan bisnis yang dekat dengan kekuasaan, menciptakan ketimpangan ekonomi dan memperparah praktik oligarki.
Otoritarianisme dan Represi Politik
Rezim Orde Baru menjalankan pemerintahan yang sangat represif terhadap perbedaan pendapat dan kritik. Kebebasan sipil ditekan melalui sejumlah regulasi, seperti Undang-Undang Subversi yang memungkinkan negara menangkap siapa pun yang dianggap mengancam stabilitas.
Media massa kerap dibredel jika dianggap menulis hal yang bertentangan dengan narasi pemerintah. Partai politik dibatasi hanya tiga dan pemilu dikontrol ketat untuk memastikan dominasi Golkar.
Lembaga legislatif dan yudikatif kehilangan independensinya, sementara mahasiswa, aktivis, dan masyarakat sipil yang mencoba menyuarakan kritik kerap berhadapan dengan aparat keamanan.
- FITT dan FORU Paling Cuan, IHSG Ditutup Menguat 7,70 Poin
- Tergelincir di Awal Pekan, LQ45 Ditutup di 721,79
- Wafat di Usia 88 Tahun, Paus Fransiskus Dikenal Sederhana dan Rendah Hati
Penolakan dari Korban dan Keluarga Korban
Sampai hari ini, banyak keluarga korban pelanggaran HAM yang belum mendapatkan pengakuan maupun keadilan dari negara. Mereka terus menyuarakan penolakan terhadap upaya rehabilitasi simbolik terhadap Soeharto, termasuk usulan pemberian gelar pahlawan nasional.
Bagi mereka, pengusulan ini dianggap sebagai bentuk pengingkaran terhadap penderitaan yang mereka alami selama masa Orde Baru. Alih-alih memulihkan martabat korban, pemberian gelar tersebut justru dianggap menyakitkan dan mengkhianati prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan.
Belum Tuntasnya Rekonsiliasi Sejarah
Isu rekonsiliasi atas pelanggaran HAM masa lalu masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi bangsa Indonesia. Hingga kini, belum ada pengadilan yang secara resmi mengadili kejahatan-kejahatan besar yang terjadi selama masa pemerintahan Soeharto.
Usulan pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Soeharto tanpa disertai penyelesaian hukum dan pengakuan negara atas berbagai kasus pelanggaran HAM dinilai sebagai bentuk pengaburan sejarah.
Banyak kalangan akademisi, sejarawan, dan aktivis HAM menekankan pentingnya membuka dokumen sejarah secara transparan dan menyelesaikan proses keadilan transisional sebelum memberi penghormatan resmi pada figur yang kontroversial seperti Soeharto.
Jasa-Jasa Soeharto yang Tak Terbantahkan
Meski dihantui kontroversi, sebagian kalangan mengakui bahwa Soeharto memiliki sejumlah jasa besar yang turut membentuk fondasi pembangunan Indonesia, antara lain,
Swasembada Pangan
Di bawah kepemimpinan Soeharto, Indonesia berhasil mencapai swasembada beras pada pertengahan 1980-an. Program Bimas (Bimbingan Massal), intensifikasi pertanian, pembangunan irigasi, dan subsidi pupuk serta benih menjadi strategi utama yang menopang keberhasilan ini.
Atas prestasi tersebut, Indonesia menerima penghargaan dari FAO pada 1986—momen langka bagi negara berkembang kala itu.
Pembangunan Infrastruktur dan Industrialisasi
Era Orde Baru ditandai dengan pembangunan masif infrastruktur dasar, seperti jalan nasional, waduk, bandara, serta pelabuhan. Kawasan industri seperti Cibitung, Karawang, dan Batam dibentuk untuk menarik investasi dan mempercepat industrialisasi. Pendirian BUMN strategis juga mendorong tumbuhnya sektor manufaktur dan energi nasional.
Akses Pendidikan
Program SD Inpres (Sekolah Dasar Instruksi Presiden) diluncurkan pada 1973 untuk membangun ribuan sekolah di seluruh penjuru negeri, terutama daerah terpencil. Selain itu, kebijakan Wajib Belajar 6 Tahun memberi akses pendidikan dasar bagi jutaan anak Indonesia, dan menjadi tonggak pemerataan pendidikan di era itu.
Stabilitas Ekonomi
Ketika Soeharto mulai berkuasa, Indonesia tengah dilanda hiperinflasi di atas 600%. Lewat kolaborasi dengan ekonom ‘Mafia Berkeley’, pemerintahan Soeharto menerapkan kebijakan moneter dan fiskal ketat, membuka keran investasi asing, serta memperbaiki iklim usaha. Dalam waktu singkat, inflasi ditekan drastis dan pertumbuhan ekonomi kembali positif.
Layanan Sosial dan Kesehatan
Program Keluarga Berencana (KB) dijalankan secara nasional dengan pendekatan terstruktur hingga ke desa-desa, yang turut menurunkan angka kelahiran dan meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Sementara itu, Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) menjadi tulang punggung layanan kesehatan ibu dan anak, membantu menurunkan angka kematian balita.
Peran Diplomatik Internasional
Soeharto aktif dalam kancah internasional, terutama sebagai pemimpin dari negara berkembang. Ia berperan penting dalam Gerakan Non-Blok (GNB), mendorong kerja sama negara-negara Selatan. Ia juga menjadi tokoh kunci dalam pembentukan dan konsolidasi APEC, serta menjembatani perdamaian di Kamboja dan kawasan ASEAN secara umum.
Stabilitas Politik Nasional
Meski dicapai lewat pendekatan otoriter, pemerintahan Soeharto menjaga stabilitas nasional selama lebih dari tiga dekade. Absennya konflik horizontal besar, terutama pasca-1965, memberi ruang bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional, meski harus dibayar mahal dengan pembatasan demokrasi dan kebebasan sipil.
Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto mencerminkan tarik-ulur antara narasi pembangunan dan keadilan sejarah. Di satu sisi, jasa-jasanya dalam pembangunan dan diplomasi tak bisa dihapus begitu saja dari catatan sejarah Indonesia. Namun di sisi lain, luka-luka dari masa lalu, khususnya pelanggaran HAM, masih membekas dan menuntut penyelesaian yang adil.

Amirudin Zuhri
Editor
