Nasional

83 Akademisi Kecam Mekanisme Konsinyasi untuk Penyelesaian Konflik Wadas

  • Mekanisme tersebut dinilai menjadi bentuk intimidasi pada warga penolak tambang.
1179564_720.jpg
Warga meresmikan monumen perjuangan memperingati satu tahun pengepungan Desa Wadas oleh aparat keamanan, awal Februari 2023. (Gempadewa)

JAKARTA—Sebanyak 83 akademisi dari berbagai daerah di Indonesia mengecam tawaran konsinyasi atau penitipan ganti rugi melalui pengadilan sebagai solusi penyelesaian konflik pertambangan di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo. Mekanisme tersebut dinilai menjadi bentuk intimidasi pada warga penolak tambang. 

Langkah tersebut juga menjadi cara kotor negara untuk mengambil paksa tanah rakyat. Pernyataan itu disampaikan Solidaritas Akademisi untuk Wadas (Sadewa) melalui keterangan tertulis yang diterima TrenAsia, Selasa 28 Maret 2023. 

Sejumlah akademisi yang tergabung di antaranya Busyro Muqoddas (Pengurus Pusat Muhammadiyah), Herlambang P. Wiratraman (UGM), Rina Mardiana (IPB), Syukron Salam (Unesa) dan Suparman Marzuki (UII). Ada pula Robertus Robet (UNJ), Ubedillah Badrun (UNJ) dan trio STHI Jentera, Bivitri Susanti, Haris Azhar serta Asfinawati.

Sebagai informasi, tawaran konsinyasi atas tanah milik warga disampaikan Kantor Pertanahan Purworejo kepada Kepala Desa Wadas dalam surat tertanggal 10 Maret 2023. Surat itu memberitahukan pada warga penolak rencana tambang agar menyerahkan sejumlah berkas inventarisasi paling lambat 24 Maret 2023. Jika warga menolak, BPN (atau para pihak terkait pemrakarsa) akan melakukan mekanisme konsinyasi atau penitipan ganti rugi melalui pengadilan.

Sadewa dalam keterangannya menyatakan mekanisme konsinyasi adalah intimidasi dan upaya paksa pemerintah mengambil tanah rakyat. Sadewa menyatakan mekanisme tersebut harus dilawan karena konsinyasi hanya bisa dilakukan jika “penerima yang berhak” tidak diketahui keberadaannya, atau objek tanah sedang dalam perkara di pengadilan, masih dalam sengketa kepemilikan, diletakkan sita oleh pejabat berwenang, dan/atau masih menjadi jaminan bank.

Hal itu tertuang dalam Pasal 42 ayat (2) UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Jika merujuk ketentuan itu, pemilik tanah di Wadas tak memenuhi klausul konsinyasi. Kedua, kegiatan pertambangan tidak termasuk dalam objek peruntukan pembangunan untuk kepentingan umum. Hal itu disebutkan dalam ketentuan Pasal 10 UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Pembangunan untuk Kepentingan Umum. 

Oleh karena itu, Sadewa menegaskan upaya merebut ruang hidup warga Wadas wajib terus dilawan. Mereka juga menyerukan pada para akademisi agar berhenti diperalat kekuasaan. Sadewa menyebut akademisi harus berdiri bersama rakyat sebagai intelektual publik. “Bukan justru menjadi stempel kebijakan pemerintah,” tegas Sadewa.

Lebih lanjut, Sadewa meminta Komnas HAM mendesak pemerintah untuk menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap warga Wadas. Sadewa juga menyerukan kepada kelompok masyarakat sipil untuk memberikan solidaritas pada warga Desa Wadas. “Solidaritas ini adalah ujian kewarasan intelektual kita,” ujar Sadewa.