Makroekonomi

Dorong Ekonomi Masa Depan, Indonesia Diminta Longgarkan Proteksi Perdagangan

  • Proteksi ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan hambatan perdagangan paling tinggi, jauh di bawah Amerika Serikat di peringkat 61 dan negara-negara Eropa seperti Jerman peringkat 15 dan Prancis peringkat 35.
1000047828.jpg

JAKARTA – Di tengah ambisi pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen, laporan terbaru International Trade Barrier Index (TBI) 2025 justru menunjukkan bahwa Indonesia masih terlalu ketat dalam menerapkan proteksi perdagangan. Situasi yang bisa menjadi kontraproduktif.

Dalam laporan yang dirilis oleh Center for Market Education (CME) bersama Tholos Foundation pada ajang Innovation Summit Southeast Asia (ISSA) 2025, Indonesia berada di posisi paling bawah peringkat 122 dari 122 negara dengan skor TBI mendekati 7,5 poin. 

Policy Analyst, Tholos Foundation Philip Thompson dalam laporannya menyebut, proteksi ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan hambatan perdagangan paling tinggi, jauh di bawah Amerika Serikat di peringkat 61 dan negara-negara Eropa seperti Jerman peringkat 15 dan Prancis peringkat 35.

“Indonesia terlalu lama mempertahankan berbagai bentuk proteksi yang seharusnya bersifat sementara,” ujar Philip di Energy Building, Jakarta pada Selasa, 6 Mei 2025.

Ia menyebut berbagai hambatan seperti pembatasan layanan, peraturan lokal, hingga bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) yang digunakan secara jangka panjang sebagai penghambat arus inovasi dan kompetisi yang sehat.

Fokus Baru: Sektor-Sektor Masa Depan

Dalam laporan yang sama Country Manager CME Indonesia, Alfian Banjaransari mengatakan, alih-alih terus bertumpu pada industri tradisional seperti pertanian dan komoditas, CME mendorong pemerintah untuk mendorong sektor-sektor baru yang bernilai tambah tinggi. Alfian menekankan perlunya fokus pada bidang seperti sustainable farming, logistik modern, energi terbarukan, dan industri kreatif.

“Dengan iklim usaha yang sehat dan insentif tepat, sektor underrated bisa menjadi tulang punggung ekonomi,” jelas Alfian. 

Ia juga mengingatkan bahwa campur tangan berlebihan justru bisa menghambat pertumbuhan alami sektor-sektor baru tersebut.

Kontroversi iPhone 16: Simbol Proteksi yang Melelahkan?

Dalam laporan ini juga menyinggung kasus pelarangan penjualan iPhone 16 di Indonesia, yang baru dicabut pada Maret 2025. Keputusan tersebut menjadi sorotan sebagai contoh nyata dari kebijakan proteksionisme yang dinilai kontraproduktif terhadap kemajuan.

Studi kasus ini mengeksplorasi keterbatasan struktural kerangka Local Content Requirements (LCR) Indonesia, termasuk produktivitas tenaga kerja yang rendah, peraturan yang tumpang tindih, dan infrastruktur yang tidak memadai. 

Kendala-kendala ini pada akhirnya melemahkan daya saing dan inovasi. Menghindari LCR di sektor-sektor strategis dapat mengurangi inefisiensi, memastikan bahwa industri dalam negeri terintegrasi secara lebih efektif ke dalam rantai pasokan global sambil mempertahankan keterjangkauan dan dinamisme pasar. 

Disisi lain, Staf Ahli Menteri PPN/Bappenas, Effendi Andoko menegaskan bahwa target pertumbuhan ekonomi 8% memerlukan suntikan investasi hingga Rp48 ribu triliun dalam lima tahun ke depan. Untuk itu, pemerintah harus membuka diri terhadap arus investasi, baik dari dalam maupun luar negeri.

“Pemerintah harus memfasilitasi, bukan membatasi. Kita harus membuka banyak pintu,” tegas Effendi.