Korporasi

Dividen Jumbo Belum Kerek Saham Grup Astra, Pasar Tunggu Fundamental Pulih?

  • Emiten konglomerasi Grup Astra kembali menebar cuan kepada pemegang saham. Untuk tahun buku 2024, total dividen yang dibagikan oleh emiten-emiten di bawah naungannya mencapai Rp25,74 triliun. Namun, ini tidak terpotret terhadap kinerja saham perseroan yang masih tertekan.
image (1).jpg
Astra International (Istimewa)

JAKARTA – Emiten konglomerasi Grup Astra kembali menebar cuan kepada pemegang saham. Untuk tahun buku 2024, total dividen yang dibagikan oleh emiten-emiten di bawah naungannya mencapai Rp25,74 triliun. Namun, ini tidak terpotret terhadap kinerja saham perseroan yang masih tertekan. 

PT Astra International Tbk (ASII) menjadi penyumbang terbesar dengan total dividen sebesar Rp16,43 triliun atau Rp406 per saham. Jumlah tersebut terdiri atas dividen interim sebesar Rp98 per saham yang telah dibayarkan pada Oktober 2024, serta dividen final sebesar Rp308 per saham yang akan dibagikan pada Juni 2025. Dengan laba bersih mencapai Rp34,05 triliun, rasio pembayaran dividen ASII tercatat sebesar 48%, menandai normalisasi kebijakan setelah lonjakan distribusi dalam dua tahun terakhir.

Sementara itu, PT United Tractors Tbk (UNTR) menyusul dengan pembagian dividen sebesar Rp7,8 triliun atau Rp2.151 per saham. Dari jumlah tersebut, dividen interim senilai Rp667 per saham telah dibagikan sebelumnya, sedangkan sisanya sebesar Rp1.484 per saham—setara Rp5,38 triliun—dijadwalkan cair pada akhir Mei 2025.

Tak ketinggalan, PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) turut membagikan dividen senilai Rp515,8 miliar atau Rp268 per saham. Di sisi lain, PT Astra Otoparts Tbk (AUTO) menyalurkan dividen sebesar Rp915,74 miliar atau Rp190 per saham, dan PT Astra Graphia Tbk (ASGR) membagikan dividen sebesar Rp93,06 miliar atau Rp69 per saham.

Namun di tengah euforia pembagian dividen jumbo tersebut, harga saham mayoritas emiten Grup Astra justru mengalami tekanan. Fenomena ini mencerminkan bahwa pasar kini lebih selektif, dengan fokus pada prospek pertumbuhan dan fundamental jangka panjang, bukan semata pada imbal hasil dividen.

Pasar Menanti Sinyal Pemulihan

Per 9 Mei 2025, mayoritas saham emiten Grup Astra mencatatkan kinerja negatif secara year to date (ytd). Saham ASII terkoreksi 2,45%, UNTR merosot 20,63%, AUTO turun 10%, AALI melemah 5,65%, dan ASGR turun 1,73%.

Tekanan ini tidak terlepas dari lemahnya kinerja keuangan kuartal I/2025. ASII mencatat penurunan laba bersih 7,12% menjadi Rp6,93 triliun, meskipun pendapatan bersih tumbuh 2,64% year on year menjadi Rp83,36 triliun. Sektor otomotif yang menjadi andalan masih dibayangi lemahnya permintaan akibat tingginya suku bunga.

Mirae Asset Sekuritas mencatat bahwa penjualan kendaraan ASII masih tertahan karena suku bunga kredit yang tinggi. Menurut mereka, pemulihan sektor ini baru akan terakselerasi apabila Bank Indonesia mulai menurunkan suku bunga acuan pada paruh kedua tahun ini.

Di sisi lain, UNTR terdampak oleh fluktuasi harga batu bara, nikel, dan emas. Volatilitas ini memengaruhi pendapatan dari unit pertambangan dan alat berat. Kiwoom Sekuritas tetap merekomendasikan overweight untuk UNTR, dengan target harga Rp28.725 per saham. “Meski menghadapi tekanan harga komoditas, portofolio UNTR cukup terdiversifikasi,” tulis riset mereka.

Bukan Sekadar Dividen

Kondisi serupa juga terjadi pada AUTO dan AALI. AUTO mengalami koreksi harga, tetapi masih menarik perhatian analis karena stabilitas bisnis dan kebijakan dividen yang konsisten. “AUTO mempertahankan dividend yield di atas 6% serta valuasi yang masih kompetitif,” tulis Tim Riset MNC Sekuritas dalam laporan awal Mei. Rekomendasi buy dipertahankan dengan target harga Rp2.700 per saham.

Sementara itu, AALI menghadapi persoalan struktural yang lebih dalam. Riset Phintraco Sekuritas menyoroti bahwa usia tanaman sawit yang menua telah menurunkan produktivitas Tandan Buah Segar (TBS). “Untuk menjaga utilisasi pabrik, AALI harus membeli TBS dari pihak eksternal. Hal ini berdampak pada efisiensi dan margin operasional,” tulis analis Aditya Prayoga dalam laporannya.

Fenomena ini menunjukkan bahwa besarnya nilai dividen tidak lagi menjadi katalis utama penguatan harga saham. Investor kini lebih mempertimbangkan arah pertumbuhan jangka panjang, efisiensi bisnis, serta kemampuan emiten menghadapi tekanan eksternal. Tanpa fundamental yang kokoh dan dukungan dari kondisi makroekonomi, dividen jumbo berisiko sekadar menjadi sentimen sesaat.