Kolom & Foto

Penyelundupan, Biang Kerok Letoinya Industri Manufaktur

  • Industri manufaktur yang berkontribusi 17,39% bagi PDB dibiarkan berjuang sendiri menghadapi aksi penyelundupan. Padahal sektor ini menyerap banyak tenaga kerja, namun negara lebih berpihak ke industri ekstraktif. Saatnya negara berpihak ke industri manufaktur dengan menegakkan perangkat hukum yang ada.
Belanja Lebaran BlokM Square - Panji 5.jpg
Jelang Hari Raya Idul Fitri nampak masyarakat mulai ramai memadati pusat perbelanjaan untuk berburu baju lebaran. Salah satunya di Blok M Square Jakarta Selatan. Senin 10 April 2023. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia (trenasia.com)

Letoinya industri manufaktur di Tanah Air semata-mata bukan disebabkan oleh lemahnya daya beli. Salah satu faktor utama yang menyebabkan industri-industri pengolahan lunglai adalah penyelundupan. Kerugian negara dalam empat tahun terakhir dari penyelundupan menurut Kementerian Keuangan tak kurang dari Rp54 triliun. 

Ini sungguh berbahaya, mengingat kontribusi industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 17,39% di kwartal III 2025. Tindakan kriminal yang biasanya dibekingi aparat ini sungguh memberi dampak buruk bagi industri nasional. Dampak utama penyelundupan terhadap industri manufaktur meliputi persaingan tidak seimbang (harga barang selundupan dijual jauh lebih murah karena menghindari bea masuk dan pajak), penurunan produksi dan investasi, hingga hilangnya lapangan kerja. 

Maraknya barang selundupan paling mudah dijumpai di industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Beberapa tahun terakhir toko-toko yang menjual pakaian bekas impor (thrifting) tumbuh bak cendawan di musim hujan. Di Jakarta penjualan pakaian branded bekas sangat mudah ditemui di kawasan Senen, Jakarta. Dua tahun silam Menteri Koperasi Teten Masduki sudah mengutarakan kegusarannya akan maraknya perdagangan barang thrifting. Ia pun menggelar razia terhadap pelaku penjualan pakaian bekas dari luar negeri. Sayang gebrakannya tak bergaung. Hanya ramai di media, nyatanya pedagang sandang eks impor itu masih mudah dijumpai di seluruh pelosok negeri. 

Belajar dari kesalahan itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang baru dilantik menggantikan Sri Mulyani pada 10 September silam menggunakan jurus lain. Ia mencegat kedatangan barang-barang haram itu di pintu-pintu masuk Indonesia. “Saya tidak akan melarang orang berdagang, saya akan mencegah di pintu-pintu masuk, pelabuhan-pelabuhan,” katanya. 

Sebagaimana diketahui di pintu gerbang masuk Indonesia itu memang bercokol petugas bea cukai, yang notabene aparat Kementerian Keuangan yang bertugas menghadang masuknya barang terlarang dari luar negeri. Menteri Purbaya menyatakan akan menindak tegas importir yang memasukkan pakaian dan balpres (karung besar berisi pakaian bekas) secara ilegal. Ia mengingatkan kebijakan ini bertujuan untuk menghidupkan kembali pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), sekaligus membuka peluang kerja, terutama bagi produsen industri TPT.

Industri TPT dalam beberapa tahun terakhir memang sedang tidak baik-baik saja. Sejak tahun 2022 kondisi industri TPT jatuh bangun. Mulai dari penurunan utilisasi atau kapasitas produksi pabrik, pemutusan hubungan kerja (PHK) beruntun yang mencapai 1 juta pekerja, hingga penutupan yang melanda 30 pabrik.

Industri TPT Mengalami Deindustrialisasi Tahap 3

Bahkan kalau ditarik lebih jauh, saat ini industri TPT nasional mengalami deindustrialisasi tahap 3. Tahun 2001 terjadi (deindustrialisasi) karena krisis. Lalu periode 2012-2014 efek FTA (free trade agreement/ perjanjian perdagangan bebas) dengan China. Lalu tahun 2022-2024 imbas pandemi Covid-19, geopolitik global, hingga oversupply produk TPT dari China.

Jumlah tenaga kerja di industri TPT di Indonesia adalah sekitar 3,97 juta orang per Agustus 2024. Angka ini merupakan gabungan dari sektor industri tekstil dan industri pakaian jadi, dengan jumlah tenaga kerja di industri pakaian jadi sebesar 2,89 juta orang pada periode yang sama.  Menurut laporan dari berbagai sumber yang diterbitkan pada tahun 2024 dan 2025, jumlah tenaga kerja di industri tekstil dan produksi tekstil (TPT) Indonesia telah mengalami penurunan signifikan akibat PHK massal.

Pada Agustus 2024, Kementerian Perindustrian melaporkan bahwa jumlah pekerja di sektor TPT turun 7,5% dibandingkan tahun sebelumnya. Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) berkontribusi 5,97% terhadap PDB sektor manufaktur non-migas pada tahun 2023, menurun dari 7,08% pada tahun 2019. Kontribusi ini juga dapat dilihat sebagai 5,51% dari total ekspor nasional pada Juni 2022.  Kontribusi industri TPT terhadap PDB sektor manufaktur non-migas mengalami penurunan dari 7,08% pada tahun 2019 menjadi 5,97% pada tahun 2023.

Pada Juni 2022, industri TPT berkontribusi 5,51% terhadap total ekspor nasional.  Nilai impor pakaian bekas yang masuk ke Indonesia mencapai puncaknya tahun 2019, yakni sebesar USD6,08 juta. Dan dalam kurun 2018-2022 perkiraan nilai impor ilegal mencapai hampir Rp100 triliun per tahun.  Thrifting tak hanya merugikan industri TPT domestik, melainkan juga menciptakan penumpukan limbah baru di Indonesia. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas menyatakan limbah tekstil di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 2,3 juta ton setiap tahunnya.

Tanpa adanya langkah intervensi, jumlah tersebut diproyeksikan akan meningkat hingga 70% di masa depan. Indonesia diperkirakan akan menghasilkan sekitar 3,9 juta ton limbah tekstil pada 2030. Jumlah ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat polusi air akibat industri tekstil tertinggi kedua di antara negara-negara G20.

Dalam 10 Tahun Terakhir Hilang 5 juta

Lapangan Kerja Setali tiga uang nasib industri ban dalam negeri. Senin, 3 November 2025 muncul kabar PT Multistrada Arah Sarana tbk (MASA) di Cikarang, Jawa Barat akan melakukan PHK terhadap para pekerjanya.

Salah satu faktor penyebabnya, lagi-lagi penyelundupan. Barang selundupan lebih diminati konsumen karena harganya sekitar 15% lebih rendah dibanding ban produksi lokal. Maklum, ban ilegal masuk tanpa melalui prosedur impor resmi, sehingga lolos dari bea masuk, pajak, dan biaya-biaya legal lainnya. Ini secara langsung mengikis pangsa pasar industri ban lokal dan menekan kinerja mereka. Harga murah membutakan konsumen akan standar kualitas dan keamanan yang diwajibkan oleh SNI.

Hal ini berpotensi menimbulkan risiko keselamatan bagi pengguna dan juga isu lingkungan terkait limbahnya di kemudian hari. MASA, produsen ban merek Michelin, berancang-ancang memutus hubungan kerja terhadap 280 karyawan. Perusahaan asal Prancis ini bahkan sudah mengajukan pengunduran diri dari Bursa Efek Indonesia sejak Juli silam. Permohonan itu mendapat stempel persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan tanggal 23 Oktober 2025.

Bukan hanya gagal menghadang aksi para penyelundup, maraknya pemutusan hubungan kerja di industri TPT dan karyawan MASA seharusnya mengingatkan pemerintah untuk mencari jalan untuk menciptakan lapangan kerja. Jangan hanya asyik memikirkan hilirisasi. Sebab, terbukti hilirisasi ekstraktif yang membutuhkan investasi besar dan teknologi canggih gagal meningkatkan penyerapan tenaga kerja.

Sekadar mengingatkan, sepanjang era pemerintahan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atau periode 2004-2014, lapangan kerja yang tercipta di sektor formal berhasil menyerap sekitar 15,62 juta pekerja. Namun, pada era Joko Widodo periode 2014-2024, lapangan kerja baru yang tercipta hanya berkisar 10,56 juta pekerjaan. Mental Bobrok Aparat Melancarkan Penyelundupan Akan halnya Presiden Prabowo Subianto berjanji menciptakan 19 juta lapangan kerja. Memang tak mudah mencapainya.

Tapi sejatinya negara sudah memiliki perangkat hukum yang komplit di bidang industri. Demi menghadang barang selundupan tersedia UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang mewajibkan importir mengimpor barang dalam keadaan baru. Pasal 47 ayat (1) dari UU itu yang telah diubah dengan Pasal 47 UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi UU, setiap importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru.

Ancaman sanksinya pun tak main-main: penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar. UU itu juga dilapisi dengan UU Perlindungan KonsumenUU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) juga melarang pelaku usaha memperdagangkan barang yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pakaian bekas impor masuk dalam kategori tersebut sehingga dilarang untuk diperdagangkan.

Berdasarkan Pasal 62 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen, sanksi bagi pelanggar Pasal 8 ayat (1) huruf a adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Singkat kata, yang dibutuhkan dalam pencegahan penyelundupan hanya goodwill pemerintah untuk menegakkan hukum. Penyelundupan berlangsung lancar lantaran mental aparat yang bobrok, tak peduli pada nasib saudara-saudara sebangsanya yang kena PHK dan sulit menembus lapangan pekerjaan.

Tags: