Produk Tembakau Dipanaskan Meluncur, Jumlah Rawat Inap Akibat PPOK dan Penyakit Jantung Iskemik Turun di Jepang
- Jepang mengalami penurunan tren rawat inap akibat penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) pascakehadiran produk tembakau yang dipanaskan.

Feby Dwi Andrian
Author


JAKARTA - Jepang tercatat mengalami penurunan tren rawat inap akibat penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), eksaserbasi (perburukan gejala) PPOK, dan penyakit jantung iskemik (IHD) pascakehadiran produk tembakau yang dipanaskan atau heated tobacco product (HTP). Hal ini terungkap dalam hasil riset oleh sejumlah peneliti yang dipublikasikan di Frontiers, penerbit artikel ilmiah dan platform sains terbuka.
Penelitian jangka panjang tersebut dilakukan terhadap orang dewasa berusia 20 -74 tahun dengan waktu rawat inap pada Januari 2010 hingga Desember 2019. Penelitian dijalankan pada lima tahun sebelum dan empat tahun sesudah produk tembakau yang dipanaskan pertama kali dikenalkan di Jepang.
Japan Medical Data Center (JMDC), penyedia layanan data statistik medis Jepang yang menjadi sumber data, mencatat jumlah rawat inap mengalami peningkatan dari 53.481 pada 2010 menjadi 450.761 pada 2019. Dengan rata-rata peningkatan tertinggi terjadi pada 2012 ke 2013 sebesar 48,98%, tahun 2011 ke 2012 sebesar 43,01%, dan 2014 ke 2015 sebesar 39,44%. Setelah 2015, rata-rata peningkatan rawat inap ada di angka 17,05%.
Penelitian yang dilakukan oleh Angela van der Plas, Meagan Antunes, Alba Romero-Kauss, Matthew Hankis, dan Annie Heremans ini mencatat bahwa jumlah rawat inap akibat PPOK mengalami penurunan sebesar 0,1% – 0,2% jika dibandingkan dengan waktu sebelum pengenalan produk tembakau yang dipanaskan.
“Rata-rata jumlah rawat inap karena PPOK sebesar 1,93% dari total rawat inap, dengan tren fluktuatif mulai dari 1,83% pada tahun 2013 menjadi 2,08% pada 2016, kemudian menurun menjadi 1,82% pada 2019,” ujar para peneliti seperti dikutip dari Frontiers.
Sementara itu, angka rawat inap karena eksaserbasi PPOK ditambah infeksi saluran pernapasan bawah atau lower respiratory tract infections (LRTI) tercatat mengalami peningkatan dari 0,4% pada 2013 dan menjadi 0,48% di dua tahun berikutnya.
Kemudian, pada 2019 menurun menjadi 0,41% dengan rata-rata 0,43%. Adapun, rata-rata tren rawat inap karena penyakit jantung iskemik juga turun dari 4,49% pada 2016 menjadi 4,02% pada 2019.
Dari data di atas, bisa dilihat bahwa kendati jumlah rawat inap secara keseluruhan mengalami peningkatan, tetapi jumlah rawat inap karena PPOK, eksaserbasi PPOK, dan penyakit jantung iskemik malah mengalami tren sebaliknya setelah produk tembakau yang dipanaskan hadir di Jepang.
Analisis tren rawat inap ini dilakukan dengan tujuan mereplikasi analisis Real-World Data (RWD) yang telah dilakukan sebelumnya. Analisis RWD ini menilai dampak kehadiran produk tembakau yang dipanaskan ke pasar Jepang dengan menggunakan data dari Medical Data Vision (MDV), sebuah penyedia data kesehatan di Jepang.
Pasca penelitian di Jepang, para peneliti pun menyarankan agar riset serupa bisa dilakukan di negara-negara lain, di mana produk tembakau yang dipanaskan sudah tersedia dan dimanfaatkan. Dengan demikian, data epidemiologi jangka panjang bisa tersedia. Data ini bisa menjadi sumber referensi penting bagi negara-negara di dunia dalam menyikapi kehadiran produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan.

Laila Ramdhini
Editor
