Kisah Seteru Abadi (Bagian II): Perlombaan Senjata Nuklir India-Pakistan
- India melakukan uji coba nuklir pertamanya pada tahun 1974 dengan kode nama Smiling Buddha. Tindakan ini mendorong Pakistan untuk mempercepat program nuklirnya sendiri secara diam-diam, dengan bantuan dari China dan ilmuwan nuklir Pakistan, A.Q. Khan.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA – Ketegangan antara India dan Pakistan telah memasuki babak yang sangat berbahaya sejak kedua negara mengembangkan senjata nuklir. Konflik yang telah berlangsung selama puluhan tahun ini memasuki dimensi yang lebih mengancam ketika India melakukan uji coba nuklir pertamanya pada tahun 1974 dengan kode nama Smiling Buddha.
Tindakan ini mendorong Pakistan untuk mempercepat pengembangan program nuklirnya secara diam-diam, dengan dukungan dari China dan ilmuwan nuklir ternama, A.Q. Khan.
Pada tahun 1998, India dan Pakistan saling melakukan uji coba nuklir, yang mengukuhkan status mereka sebagai dua negara bersenjata nuklir yang saling berseteru. Ketegangan di wilayah Kashmir dan sepanjang perbatasan pun kini membawa ancaman eskalasi nuklir yang jauh lebih mengerikan.
Kebijakan Nuklir dan Potensi Eskalasi
Meskipun kedua negara kini memiliki persenjataan nuklir, pendekatan kebijakan mereka berbeda secara mendasar. India menganut doktrin "No First Use" (NFU), yang menyatakan komitmen untuk tidak menggunakan senjata nuklir sebagai serangan pertama, melainkan hanya sebagai respons jika diserang dengan senjata nuklir.
Meski demikian, India terus memperkuat kapabilitas nuklirnya. Pada tahun 2017, India mengembangkan sistem peluncuran berbasis kapal selam (SLBM) serta kemampuan peluncuran nuklir dari udara, memperkuat strategi penangkalannya dalam skenario perang nuklir.
Di sisi lain, Pakistan secara terbuka menolak doktrin NFU. Negara tersebut menyatakan bersedia menggunakan senjata nuklir sebagai respons terhadap serangan konvensional besar dari India yang dianggap mengancam eksistensi nasional. Untuk itu, Pakistan telah mengembangkan senjata nuklir taktis yang dirancang untuk digunakan dalam konflik berskala kecil.
Pakistan juga membangun sistem peluncuran nuklir yang fleksibel, melibatkan roket, pesawat, dan kapal selam, guna memastikan kemampuannya merespons dalam berbagai situasi.
Saat ini, kedua negara diperkirakan memiliki sekitar 150 hingga 165 hulu ledak nuklir masing-masing, dengan sistem peluncuran yang mencakup darat, laut, dan udara. Pakistan bahkan telah mengembangkan senjata nuklir jarak pendek, yang meningkatkan risiko penggunaan dalam situasi konflik terbatas.
Dengan stok senjata yang terus berkembang, potensi ancaman nuklir menjadi sangat nyata. Setiap ketegangan militer—mulai dari baku tembak, pemboman, hingga serangan lintas batas di wilayah Kashmir—dapat memicu eskalasi yang tak terkendali. Jika situasi meningkat, kedua negara berisiko terjerumus ke dalam perang nuklir yang akan berdampak luas pada stabilitas global.
Harapan Perdamaian yang Rapuh
Selama bertahun-tahun, berbagai upaya telah dilakukan untuk meredakan ketegangan melalui dialog bilateral, pertukaran budaya, dan pembukaan jalur ziarah lintas batas bagi umat Sikh. Namun, setiap kali muncul harapan untuk perdamaian, serangan teror atau lonjakan ketegangan politik kerap menggagalkannya.
Peristiwa seperti serangan Mumbai pada 2008 dan serangan Pulwama pada 2019 memperburuk hubungan diplomatik dan menipiskan kepercayaan di antara kedua negara. Harapan perdamaian pun kian sulit digapai.
Selama isu Kashmir belum terselesaikan, prospek perdamaian akan tetap rapuh. Konflik ini diperparah oleh campuran ideologi agama, nasionalisme ekstrem, dan dendam sejarah yang telah mendarah daging. Ini bukan semata konflik teritorial, melainkan pertarungan identitas dan legitimasi nasional.
Situasi ini memiliki potensi besar untuk memicu bencana global, terutama jika salah satu pihak mengambil keputusan keliru dalam menghadapi provokasi atau serangan.
Dengan status Kashmir yang tetap disengketakan, diskriminasi agama yang belum mereda, serta siklus kekerasan yang terus berulang, dunia harus tetap waspada. Setiap kesalahan langkah dalam konflik ini dapat membawa konsekuensi fatal bagi keamanan internasional.

Ananda Astridianka
Editor
