Dunia

China Rem Ekspor Logam Langka, Saatnya Indonesia Tampil di Panggung Global

  • Langkah terbaru China yang membatasi ekspor logam langka sebagai respons atas tarif baru dari AS menjadi sinyal eskalasi serius dalam perseteruan dagang kedua negara adidaya tersebut. Di balik gejolak ini, peluang justru terbuka bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Ilustasi Perang dagang AS-CHINA.jpg
Ilustasi Perang dagang AS-CHINA.jpg (TrenAsia)

JAKARTA - Ketegangan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat China kembali memanas dan kali ini bukan sekadar perselisihan tarif, melainkan menyentuh komoditas strategis global: logam tanah jarang atau rare earth elements (REE). 

Langkah terbaru China yang membatasi ekspor logam langka sebagai respons atas tarif baru dari AS menjadi sinyal eskalasi serius dalam perseteruan dagang kedua negara adidaya tersebut. Di balik gejolak ini, peluang justru terbuka bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia.

Langkah China yang membatasi ekspor logam langka bukan semata bentuk pembalasan terhadap tarif AS, tetapi juga merupakan strategi yang lebih dalam untuk mengamankan dominasi industri teknologinya. 

Logam langka merupakan komponen penting dalam pembuatan semikonduktor, kendaraan listrik (EV), perangkat elektronik, hingga sistem pertahanan. Dengan membatasi ekspor, China memberi tekanan pada negara-negara yang selama ini bergantung pada pasokan logam langka dari Negeri Tirai Bambu tersebut.

Yeang Cheng Ling, Chief Investment Officer untuk wilayah North Asia di Bank DBS, menyampaikan bahwa langkah ini justru memberi dorongan bagi China untuk memperkuat efisiensi internal dan mendorong hilirisasi industri logam langka di dalam negeri. Menurutnya, China tidak sepenuhnya akan menutup diri, namun akan lebih selektif dalam menjalin kemitraan dagang.

“Ini adalah teknologi utama yang dikuasai China, sementara seluruh dunia masih bergantung pada China untuk produksi dan ekstraksi logam langka,” ujar Ling dalam diskusi daring bertajuk Bertahan di Tengah Badai Tarif, Prospek Ekonomi Kuartal II, Rabu, 9 April 2025.

China diprediksi akan menjaga hubungan baik dengan negara-negara mitra strategis dan tetap mempertahankan jalur ekspor yang menguntungkan secara diplomatik dan ekonomi.

Peluang Global: Negara Pemasok Alternatif Muncul

Dengan terganggunya rantai pasok global akibat kebijakan pembatasan ekspor dari China, sejumlah negara lain melihat celah untuk menjadi pemasok alternatif logam langka. 

Australia dan Malaysia disebut sebagai dua negara yang memiliki potensi untuk mengisi kekosongan tersebut. Kedua negara ini memiliki cadangan logam langka yang cukup signifikan dan infrastruktur pendukung yang memadai.

Hal serupa juga berlaku untuk Indonesia. Joanne Goh, Senior Investment Strategist Bank DBS, menilai bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk masuk dalam pasar logam langka dunia, tidak hanya sebagai penyedia bahan mentah, tetapi juga sebagai pelaku industri manufaktur bernilai tambah tinggi.

Baca Juga: Trump Tunda Tarif Semua Negara, China Justru Dibogem Tarif 125 Persen

“Indonesia harus terus memperkuat strategi hilirisasi dan mempertahankan kemajuan industri dalam negeri,” ujar Goh.

Indonesia selama beberapa tahun terakhir memang telah menjalankan kebijakan larangan ekspor bahan mentah dan fokus pada industrialisasi lokal. Dengan kekayaan sumber daya mineral dan kebijakan yang berpihak pada hilirisasi, Indonesia berpeluang besar menjadi pusat manufaktur EV dan komponen semikonduktor di kawasan Asia Tenggara.

Gejolak Pasar dan Ancaman Volatilitas

Namun, ketegangan geopolitik ini tak hanya berdampak pada rantai pasok, tetapi juga mengguncang pasar keuangan global. Hou Wey Fook, Chief Investment Officer dari Bank DBS, menyampaikan bahwa reaksi pasar terhadap pengumuman tarif baru oleh Presiden AS Donald Trump sangat cepat dan mengarah pada kepanikan.

“Begitu tarif diumumkan, pasar langsung bereaksi negatif. Sehari setelahnya, China membalas dengan tarif serupa, dan sejak saat itu pasar mengalami gejolak yang sangat signifikan,” ujar Fook.

Fook bahkan menyebut bahwa jika ketegangan ini terus berlanjut tanpa respons kebijakan yang memadai, skenario terburuk seperti depresi global bukan tidak mungkin terjadi, meski probabilitasnya belum menjadi yang utama.

Strategi Investasi: Bangun Portofolio Tahan Banting

Menghadapi situasi global yang tidak menentu, DBS merekomendasikan pendekatan investasi yang bersifat defensif namun tetap berorientasi jangka panjang. Kunci utamanya adalah membangun portofolio yang tahan terhadap guncangan (resilient portfolio) melalui diversifikasi lintas aset secara global.

DBS mendorong investor untuk menyebar investasinya ke dalam berbagai kelas aset seperti saham, obligasi, emas, dan instrumen alternatif. Setiap jenis aset memiliki peran strategis untuk menyeimbangkan risiko dan imbal hasil, terutama dalam kondisi pasar yang volatil.

“Kami menyarankan prinsip ‘stay with quality’, yakni tetap memilih aset-aset berkualitas tinggi yang memiliki fundamental kuat,” jelas Fook.

Menurutnya, saham dari perusahaan besar dengan kinerja solid dan obligasi dari emiten berperingkat tinggi akan lebih stabil dan memiliki daya tahan lebih baik dalam situasi seperti sekarang.

Strategi Barbel dan Peran Emas

DBS juga mengandalkan pendekatan investasi “barbell” atau strategi barbel, yang menyeimbangkan aset pertumbuhan seperti saham teknologi dengan aset pendapatan seperti obligasi investment grade. Strategi ini terbukti efektif dalam menjaga keseimbangan portofolio. Meski sisi pertumbuhan mengalami penurunan, sisi pendapatan menunjukkan hasil positif.

“Sisi pertumbuhan kami turun sekitar 12% sejak awal tahun, tetapi ini dikompensasi oleh obligasi yang naik lebih dari 2%,” ujar Fook.

Selain itu, emas tetap menjadi salah satu instrumen utama dalam strategi investasi DBS. Emas berfungsi sebagai lindung nilai terhadap ketidakpastian global dan fluktuasi pasar. Tahun ini, emas mencatatkan pengembalian yang impresif sebesar 15,5% secara year-to-date, membuktikan perannya sebagai penyelamat dalam portofolio defensif.

Indonesia di Pusaran Perubahan: Tantangan dan Harapan

Kebijakan China yang membatasi ekspor logam langka dan gejolak pasar global menjadi peringatan bagi semua negara untuk meningkatkan ketahanan ekonominya. Bagi Indonesia, ini adalah saat yang tepat untuk memperkuat posisi dalam rantai pasok global dengan mempercepat hilirisasi, menarik investasi asing, dan mengembangkan teknologi pengolahan logam langka secara mandiri.

Dengan cadangan sumber daya alam yang melimpah dan posisi geografis yang strategis, Indonesia berpotensi menjadi pemain kunci dalam industri masa depan seperti kendaraan listrik, semikonduktor, dan energi terbarukan.