Home

Teknologi Dorong Pemberdayaan Perempuan Desa

  • Jakarta- PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) bersama Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada meluncurkan hasil riset yang bertajuk “Peran Amartha dalam Meningkatkan Kesejahteraan Perempuan di Desa”, bertempat di GoWork Fx Sudirman (6/11). Hasil riset ini mengungkap 76% mitra usaha Amartha mengaku dapat membayar uang sekolah anak dari pendapatan usaha mereka. Mereka juga merasakan […]

Teknologi Dorong Pemberdayaan Perempuan Desa

Jakarta- PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) bersama Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada meluncurkan hasil riset yang bertajuk “Peran Amartha dalam Meningkatkan Kesejahteraan Perempuan di Desa”, bertempat di GoWork Fx Sudirman (6/11).

Hasil riset ini mengungkap 76% mitra usaha Amartha mengaku dapat membayar uang sekolah anak dari pendapatan usaha mereka.

Mereka juga merasakan hasil penjualan meningkat, usaha semakin berkembang, dapat turut membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat sekitar serta memiliki cadangan dana darurat.

Sejak 2010, Amartha menjalankan bisnis model pendanaan peer to peer lending yang berfokus pada masyarakat, khususnya perempuan di rural area. Fokus ini menjadi target Amartha untuk mewujudkan inklusi keuangan melalui program literasi keuangan dan peminjaman modal untuk semua orang.

Aria Widyanto selaku Chief Risk and Sustainability Officer Amartha mengatakan, “Setiap minggunya, Amartha mengadakan pertemuan majelis atau kelompok mitra beranggotakan 10-25 orang untuk memberi pendampingan dan pendidikan mengenai tata kelola usaha dan keuangan. Dengan metode ini, Amartha dapat menjembatani kesenjangan yang muncul dari rendahnya tingkat pendidikan dan akses informasi perempuan di pedesaan.”

Peran Perempuan dalam Kesejahteraan

Secara spesifik, Amartha menjadikan perepuan di pedesaan sebagai target utama dengan maksud perempuan sebagai pilar dari kesejahteraan keluarga.

Sedangkan faktanya, Mayoritas perempuan di pedesaan memiliki tingkat pendidikan yang rendah serta mengalami keterbatasan dalam mengakses informasi. Sebanyak 52,3% mitra Amartha merupakan lulusan sekolah dasar yang rata-rata berprofesi sebagai pedagang berskala mikro dengan penghasilan kurang dari Rp3 juta per bulan.

Dalam mengakses informasi, para mitra Amartha masih mengandalkan televisi atau orang-orang di sekitar mereka. Sekitar 70% perempuan mitra Amartha berusia di atas 40 tahun dan sebanyak 62,5% mitra Amartha tidak memiliki telepon genggam yang memungkinkan mereka terhubung dengan internet.

Menghadapi tantangan tersebut, Amartha menerjunkan business partner atau agen lapangan yang bertugas untuk menjembatani jurang tersebut.

Sistem pendampingan melalui business partner Amartha membuat pengetahuan para perempuan desa tentang literasi keuangan semakin meningkat. Selain mengumpulkan pembayaran, business partner yang datang di setiap pertemuan mingguan turut membantu para mitra Amartha untuk mengelola pinjaman.

Kegiatan rutin mingguan ini membangkitkan kesadaran dan tanggung jawab untuk mengelola keuangan dengan lebih baik. Sebanyak 54,5% mitra Amartha merasa kemampuan mengelola keuangan meningkat setelah bergabung dengan Amartha.

Dengan rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya akses terhadap informasi, para perempuan mitra Amartha ternyata lebih memilih fintek peer-to-peer (p2p) lending dibandingkan jasa keuangan formal lainnya.

Sejumlah pertimbangan yang melatarbelakangi keputusan tersebut adalah jarak yang jauh dengan bank, jumlah pinjaman yang dapat diajukan terlalu besar, syarat administrasi yang lebih kompleks, hingga sudah terbiasa dengan transaksi tunai.