Pengamat Soal Fenomena Worldcoin: Utamakan Perlindungan Data Pribadi
- Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) telah memberikan hak kepada masyarakat untuk menuntut secara pidana jika terjadi penyalahgunaan data. Oleh karena itu, Nailul menyerukan agar pemerintah segera menyelesaikan aturan turunan dari UU PDP untuk memperjelas mekanisme perlindungan tersebut.

Idham Nur Indrajaya
Author


JAKARTA - Fenomena masyarakat Indonesia yang rela menukar data retina demi sejumlah uang dari aplikasi WorldApp atau aset kripto Worldcoin memicu keprihatinan berbagai pihak.
Salah satunya datang dari Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, yang menyoroti pentingnya teknologi Proof of Human (PoH) dan perlindungan data pribadi masyarakat.
Nailul menjelaskan Proof of Human (PoH) adalah salah satu metode yang dikembangkan untuk mendeteksi apakah aktivitas di dunia maya dilakukan oleh manusia atau robot berbasis kecerdasan buatan (AI).
Teknologi ini, kata Nailul, sangat penting karena perkembangan AI membuka kemungkinan terjadinya kejahatan digital, seperti peretasan akun media sosial hingga akses ilegal ke akun keuangan.
"Teknologi PoH bukan hanya menggunakan data iris mata seperti yang dilakukan oleh Worldcoin, tapi bisa juga menggunakan teknologi puzzle atau Captcha. Memang keduanya memerlukan waktu lebih, tapi tujuannya sama, membedakan antara manusia dan robot AI," ungkap Nailul kepada TrenAsia, dikutip Jumat, 9 Mei 2025.
- Cara Mendapatkan Saldo DANA Gratis Langsung Cair
- Segini Realisasi BBM Subsidi yang digelontorkan Pertamina hingga Kuartal I-2025
- Jet Rafale India Ditembak Pakistan, Saham Dassault Turun
Ia menegaskan bahwa risiko penyalahgunaan identitas digital oleh AI membuat teknologi PoH menjadi sangat relevan saat ini.
Perlindungan Data Pribadi Jadi Hal Mutlak
Menanggapi dibekukannya sementara operasional World ID di Indonesia, Nailul mendukung langkah pemerintah. Ia menekankan bahwa perusahaan semestinya patuh terhadap regulasi yang berlaku, terutama dalam hal perlindungan data pribadi. "Data pribadi masyarakat adalah hal yang sangat penting. Jangan sampai diperjualbelikan kepada pihak ketiga," tegasnya.
Ia mengingatkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) telah memberikan hak kepada masyarakat untuk menuntut secara pidana jika terjadi penyalahgunaan data. Oleh karena itu, Nailul menyerukan agar pemerintah segera menyelesaikan aturan turunan dari UU PDP untuk memperjelas mekanisme perlindungan tersebut.
Salah satu kekhawatiran utama yang disampaikan Nailul adalah terkait transparansi teknologi yang digunakan oleh World ID. Menurutnya, penting bagi World ID untuk menjelaskan apakah data biometrik seperti pemindaian iris benar-benar disimpan atau tidak.
"Beberapa media menyebutkan bahwa teknologi yang digunakan tidak menyimpan data pribadi. Tapi ini harus dijelaskan secara rinci. Kalau memang tidak disimpan, harus ada bukti dan penjelasan teknisnya," katanya.
- Baca Juga: Apa Itu Worldcoin? Bagaimana Cara Kerja dan Tujuannya?
Ia menambahkan, kejelasan ini penting agar masyarakat tidak merasa bahwa mereka “menjual” data retina mereka demi mendapatkan aset kripto. Menurut Nailul, jika memang partisipasi bersifat sukarela, seharusnya tidak ada insentif yang mengarah pada praktik semacam barter data dengan imbalan uang atau token digital.
Nailul juga menyoroti pentingnya memisahkan dua entitas dalam ekosistem World Coin: World ID dan World Coin itu sendiri. Ia menyarankan agar World ID lebih fokus memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya PoH, tanpa mencampurkan kegiatan komersial terkait kripto.
Apa Itu Worldcoin?
World Coin adalah proyek teknologi global yang dikembangkan oleh Tools for Humanity (TFH), sebuah perusahaan yang didirikan oleh Sam Altman—CEO dari OpenAI. World Coin bertujuan membangun identitas digital global bernama World ID yang bersifat unik dan tidak dapat dipalsukan.
Untuk membuat identitas ini, masyarakat diminta memindai iris mata mereka menggunakan alat khusus bernama Orb. Setelah pemindaian, pengguna akan mendapatkan World ID dan diberi imbalan berupa token kripto World Coin (WLD).
Proyek ini mengklaim bahwa data iris yang dipindai tidak disimpan dan hanya digunakan untuk membuat kode numerik unik guna membedakan identitas seseorang secara global. Namun, sejumlah pakar menyebut bahwa janji semacam ini perlu pembuktian teknis yang kuat agar tidak terjadi pelanggaran data di kemudian hari.
Fenomena "Menjual" Data Retina di Indonesia
Sejak beberapa waktu ke belakang, muncul berbagai laporan media yang menyebutkan masyarakat Indonesia rela mengantre untuk melakukan pemindaian retina demi mendapatkan imbalan uang atau kripto dari World Coin. Di berbagai kota besar, orang-orang difasilitasi untuk mendaftar melalui aplikasi WorldApp dan kemudian dipandu melakukan pemindaian mata lewat Orb.
- Semua yang Perlu Diketahui Tentang Met Gala 2025, dari Tema hingga Dresscode
- Tren Lifting Meningkat, Bahlil Optimistis Pasokan Gas dari Sumber Baru Akan Cukupi Kekurangan di Wilayah Barat Akibat Natural Declining
- IndoXXI, LK21 dan Juraganfilm Ilegal, Ini 7 Situs Nonton Film yang Aman dan Lengkap
Imbalan yang diterima bervariasi, umumnya berkisar antara Rp400.000 hingga Rp800.000 dalam bentuk token WLD yang bisa ditukar menjadi rupiah melalui platform kripto. Fenomena ini membuat banyak warga, terutama dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, tergiur.
Namun, fenomena ini juga memicu kekhawatiran banyak pihak. Para pakar teknologi, hukum, dan hak asasi manusia mempertanyakan apakah masyarakat yang menyerahkan data biometrik tersebut benar-benar memahami implikasi jangka panjang dari tindakan mereka.
Beberapa lembaga, termasuk Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), telah menyatakan keprihatinannya. Bahkan Kominfo sempat memerintahkan penghentian sementara operasional World ID di Indonesia sambil menunggu klarifikasi dan penyesuaian dengan UU PDP.

Ananda Astridianka
Editor
