Fintech

Harga Bitcoin Tembus Rekor Tertinggi Baru, Apakah Akan Terus Naik?

  • Secara teknikal, pergerakan harga Bitcoin selama satu bulan terakhir dinilai mengalami pola konsolidasi yang sehat, ditandai dengan aksi beli yang segera muncul setiap kali harga mengalami koreksi.
<p>Ilustrasi Trading Bitcoin / Pixabay.com</p>

Ilustrasi Trading Bitcoin / Pixabay.com

(Istimewa)

JAKARTA - Harga Bitcoin kembali menguat dan menembus titik tertingginya sepanjang masa. Pada Kamis, 22 Mei 2025, pukul 13.00 WIB, aset kripto terbesar di dunia ini diperdagangkan di kisaran US$111.000. Level ini sudah melebihi rekor all-time-high (ATH) Bitcoin yang tercatat sebesar US$109.000 pada Januari 2025 lalu. 

Analis dari platform aset kripto Reku, Fahmi Almuttaqin, menilai bahwa lonjakan harga Bitcoin belakangan ini dipengaruhi oleh perpaduan berbagai faktor, mulai dari kondisi makroekonomi global, masuknya dana investasi dari institusi besar, hingga meningkatnya optimisme di kalangan investor ritel yang tercermin dari sejumlah indikator teknikal dan on-chain. 

Investasi Institusi Global Dongkrak Permintaan Bitcoin 

Menurut Fahmi, kehadiran institusi besar seperti manajer aset global menjadi katalis utama yang memperkuat posisi Bitcoin di pasar. Aliran dana dari institusi tersebut menunjukkan tren positif sepanjang bulan Mei 2025. 

“Masuknya investasi dari institusi besar seperti aset manager global memperkuat posisi Bitcoin di pasar. Data Coinglass dan The Block menunjukkan sepanjang bulan Mei ini hanya terdapat dua hari di mana aliran dana masuk neto ETF Bitcoin spot AS membukukan angka negatif, yakni pada tanggal 6 dan 13,” ungkap Fahmi melalui hasil riset yang diterima TrenAsia, dikutip Kamis, 22 Mei 2025. 

Ia menambahkan bahwa keterlibatan investor institusional dari Amerika Serikat—terutama dari kalangan tradisional—tak hanya meningkatkan permintaan terhadap Bitcoin, tetapi juga memberikan sinyal positif bagi investor ritel untuk ikut masuk ke pasar kripto. 

Ekspektasi Penurunan Suku Bunga AS Dorong Kenaikan Harga 

Selain arus investasi institusional, prospek kebijakan moneter The Federal Reserve juga turut mendongkrak harga Bitcoin. Data inflasi Amerika Serikat yang lebih rendah dari ekspektasi pasar memicu spekulasi terkait kemungkinan penurunan suku bunga dalam waktu dekat. 

“Data inflasi AS yang lebih rendah dari perkiraan memicu spekulasi terhadap potensi penurunan suku bunga acuan. Diturunkannya suku bunga akan cenderung memperlemah nilai dolar AS dan mendorong investor mencari aset lindung nilai alternatif seperti Bitcoin, Ethereum, dan Emas,” jelas Fahmi. 

Kondisi ini menciptakan dorongan baru bagi investor untuk mencari alternatif investasi yang lebih menjanjikan, terutama di tengah meningkatnya kekhawatiran terhadap potensi pelemahan ekonomi global. 

Baca Juga: Harga Bitcoin Dekati Rekor Tertinggi, Transaksi Kripto di RI Melonjak hingga Rp32,7 Triliun

Indikator On-Chain Tunjukkan Tren Akumulasi 

Di sisi teknikal dan on-chain, sejumlah indikator juga mendukung tren positif yang tengah berlangsung. Salah satunya adalah indikator Realized Capitalization dan rasio MVRV (Market Value to Realized Value) yang menunjukkan adanya akumulasi oleh investor. 

“Data dari Glassnode menunjukkan Realized Cap Bitcoin menyentuh rekor tertinggi, menandakan banyaknya investor baru yang masuk di harga tinggi dan belum mengambil keuntungan. Hal ini biasanya menjadi tanda akan berlanjutnya reli yang ada,” terang Fahmi. 

Secara teknikal, pergerakan harga Bitcoin selama satu bulan terakhir dinilai mengalami pola konsolidasi yang sehat, ditandai dengan aksi beli yang segera muncul setiap kali harga mengalami koreksi. 

“Secara teknikal, pergerakan harga Bitcoin selama satu bulan terakhir memperlihatkan pola konsolidasi yang sehat. Setiap kali harga terkoreksi, aksi beli segera mendominasi. Jika Bitcoin mampu bertahan di atas US$105.000 dalam beberapa hari ke depan, potensi breakout menuju US$120.000 semakin terbuka,” imbuhnya. 

Proyeksi Harga dan Risiko Koreksi Jangka Pendek 

Sejumlah lembaga keuangan global, termasuk Standard Chartered dan JP Morgan, memperkirakan bahwa harga Bitcoin dapat menyentuh angka US\$120.000 pada akhir kuartal II tahun ini. Namun, meskipun tren saat ini terlihat positif, bukan berarti investor bisa lengah terhadap potensi koreksi jangka pendek. 

“Namun, investor dihimbau untuk tetap waspada terhadap potensi koreksi harga jangka pendek, mengingat indikator RSI mulai memasuki area overbought dan terdapat resistance kuat di area ATH sebelumnya,” ujar Fahmi. 

Pentingnya Strategi Investasi yang Cermat dan Adaptif 

Fahmi juga menekankan bahwa dalam situasi pasar yang dinamis seperti saat ini—terlebih dengan adanya potensi risiko inflasi dan perlambatan ekonomi akibat kebijakan tarif dari mantan Presiden AS Donald Trump—investor perlu bersikap cermat dan fleksibel dalam menyusun strategi investasi. 

“Potensi berlanjutnya tren positif yang ada yang turut diiringi dengan risiko inflasi dan perlambatan ekonomi dari kebijakan tarif Trump menuntut investor untuk lebih cermat dan adaptif dalam mengelola portofolio investasinya,” katanya. 

Bagi investor berpengalaman, strategi trading aktif di altcoin menjadi opsi yang cukup menjanjikan. Sedangkan untuk investor pemula, strategi Dollar Cost Averaging (DCA)—yakni mengakumulasi aset secara berkala—dapat menjadi pilihan yang lebih stabil. 

“Hal itu dikarenakan investor akan mendapatkan harga rata-rata pembelian yang lebih rendah. Ketika misalnya kemudian kondisi pasar sewaktu-waktu berubah, seperti Bitcoin yang tengah mendekati ATH, posisi portofolio investor sudah siap untuk merealisasikan keuntungan dari hasil akumulasi yang dilakukan,” jelas Fahmi. 

Namun demikian, ia mengingatkan agar investor tetap selektif dalam memilih aset yang akan diakumulasi. Aset kripto dengan kapitalisasi pasar dan likuiditas tinggi menjadi pilihan yang lebih aman untuk dieksplorasi lebih lanjut.

Dalam menerapkan strategi DCA, investor juga disarankan untuk memanfaatkan fitur-fitur investasi yang tersedia di platform aset digital. Salah satu contohnya adalah fitur Packs di Reku yang memungkinkan investor berinvestasi di berbagai aset kripto unggulan secara sekaligus. 

“Misalnya di fitur Packs di Reku, investor bisa berinvestasi pada berbagai crypto blue chip dengan performa terbaik termasuk Bitcoin dalam sekali swipe untuk memudahkan diversifikasi,” ujar Fahmi. 

Fitur ini juga dilengkapi dengan sistem *Rebalancing* otomatis yang secara berkala akan menyesuaikan alokasi portofolio berdasarkan perubahan kondisi pasar. Dengan begitu, investor dapat mengelola investasinya secara lebih optimal dan praktis. 

“Terlebih, fitur Packs yang dilengkapi dengan sistem Rebalancing akan membantu investor menyesuaikan alokasi investasinya sesuai dengan kondisi pasar secara otomatis. Dengan begitu, strategi DCA yang dilakukan dapat lebih mudah, praktis, dan optimal,” tutup Fahmi.