Energi

Pasokan Gas Bumi Makin Tipis, DEN: Impor Opsi untuk Ketahanan Energi

  • Dalam jangka pendek, opsi impor perlu dicanangkan untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri di tengah turunnya pasokan dari sumur tua eksisting akibat natural declining.
IMG-20240812-WA0011.jpg
Gas Bumi (Gas Bumi)

JAKARTA – Pemanfaatan gas bumi sebagai bagian penting menjaga ketahanan energi nasional perlu terus diupayakan. Dalam jangka pendek, opsi impor perlu dicanangkan untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri di tengah turunnya pasokan dari sumur tua eksisting akibat natural declining.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Abadi Poernomo mengatakan mengoptimalkan gas sebagai transisi menuju Net Zero Emission (NZE) pada 2060 tertuang dalam perubahan arah kebijakan dalam pembaruan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang saat ini masih dalam bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP). Beleid ini merupakan revisi dari Peraturan Pemerintah (PP) 79 tahun 2014 tentang KEN.

”Tadi dikatakan (oleh Kementerian ESDM) ketahanan energi kita ada di skala 6,4 yang artinya cukup tahan. Kenapa dikatakan tahan artinya availability (ketersediaan), accessibility (aksesibilitas), affordability (keterjangkauan), dan acceptability (akseptabilitas) itu semua terjaga. Meskipun itu dilakukan dengan impor tetapi kita tahan,” ungkapnya dalam Discussion Series ‘Memacu Infrastruktur Gas Menuju Swasembada Energi’ yang digelar Energy Institute for Transition (EITS) secara virtual, akhir pekan ini.

Di tengah menurunnya pasokan gas bumi nasional akibat natural decline, ancaman terhadap ketahanan energi perlu diantisipasi. ”Oleh karena itu kalau sekarang masih kekurangan gas, sedikit harus impor. Nanti kalau Masela dan Andaman sudah onstream, kelihatannya 78 sampai 100,3 MTOE (Mega Ton setara Minyak) bisa terpenuhi oleh resources yang ada di kita,” jelasnya.

Kepala Divisi Program dan Komunikasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Hudi D. Suryodipuro mengatakan cadangan gas dengan kandungan sangat besar sebagaimana dimaksud adalah temuan baru pada 2023 dan 2024.

”Kita berani bilang bahwa kita sekarang berada di era gas. Penemuan 2023 oleh ENI (perusahaan Italia) di Geng North-1 (Kalimantan Timur) dan pada 2024 oleh Mubadala Energy di wilayah Andaman ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang dilirik oleh investor asing untuk mengeksplor kembali,” ungkap Hudi pada kesempatan yang sama.

Meski begitu dibutuhkan waktu serta upaya yang besar termasuk membangun infrastruktur untuk mengoptimalkan sumber baru gas tersebut. Ke depannya diyakini akan mencukupi seluruh kebutuhan gas bumi yang terus meningkat serta mendukung target swasembada energi.

Berdasarkan Outlook The International Energy Agency (IEA) penggunaan gas bumi masih akan stabil sampai tahun 2050 di saat konsumsi energi fosil lainnya mengalami penurunan signifikan. ”Artinya, bukan hanya Indonesia, negara lain di dunia juga melakukan hal yang sama dalam utilisasi terhadap gas bumi untuk menopang ketahanan energinya,” ungkap Direktur Infrastruktur Migas Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (KemenESDM) Laode Sulaiman.

Pemanfaatan gas bumi di dalam negeri akan terus dioptimalkan karena menopang banyak sektor strategis. Mulai dari pembangkit listrik, industri, sampai rumah tangga. ”Supaya bisa dipenuhi maka harus ada pengaturan yaitu dari solusi infrastruktur. Di Jawa dan Sumatera ditopang jaringan transmisi dan distribusi pipa baik yang eksisting maupun dalam penyelesaian yaitu Cisem (Cirebon – Semarang) dan Dusem (Dumai – Sei Mangke)” ujarnya.

Di wilayah Indonesia Tengah dan Timur lebih banyak diselesaikan dengan virtual pipeline seperti moda LNG, mini LNG, dan di daerah tersebut dibangun Terminal Regasifikasi. ”Kalau kita negara daratan mungkin gampang lah dengan pipa seluruhnya. Karena kita negara kepulauan maka solusinya beda. Lebih rinci dan rigid dan di setiap tahapan supply chain ada strategi keekonomian yang harus diperhitungkan,” terangnya.