Jauh Panggang dari Api Target Energi Bersih RI
- Pemerintah masih merencanakan penambahan kapasitas pembangkit listrik berbasis batu bara dan gas dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034. Total kapasitas tambahan dari dua sumber energi fosil tersebut mencapai 16,6 gigawatt (GW).

Debrinata Rizky
Author


JAKARTA – Pemerintah masih merencanakan penambahan kapasitas pembangkit listrik berbasis batu bara dan gas dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034. Total kapasitas tambahan dari dua sumber energi fosil tersebut mencapai 16,6 gigawatt (GW).
Adapun, dalam pernyataan Presiden terpilih Prabowo Subianto saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Brasil pada 2024 lalu, Indonesia disebut akan menghentikan penggunaan pembangkit fosil pada 2040. Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN), Tata Mustasya, menilai rencana kelistrikan terbaru ini justru menjadi kemunduran dari komitmen Indonesia terhadap transisi energi.
“Dengan RUPTL seperti ini, target keluar dari ketergantungan energi fosil pada 2040 hampir mustahil tercapai,” ujar Tata pada Rabu, 28 Mei 2025.
Tata menilai, keberadaan pembangkit batu bara dalam RUPTL menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha dan sektor keuangan yang tengah bersiap beralih ke energi hijau. Rencana tersebut dinilai tidak sinkron dengan arah pembangunan industri energi terbarukan yang konsisten dan berkelanjutan.
Dampak Bagi Iklim Investasi dan Daya Saing
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menyatakan bahwa RUPTL baru ini terlalu mengakomodasi kepentingan energi fosil. Ia menilai hal ini menjadi hambatan serius bagi masuknya investasi baru di sektor energi bersih.
Bhima juga menilai RUPTL tersebut belum menjawab kebutuhan pertumbuhan ekonomi nasional yang ditargetkan mencapai 8% dalam jangka menengah. “Investor akan bingung membaca arah kebijakan pemerintah. Di satu sisi bicara soal transisi energi dan pembangunan industri panel surya, di sisi lain masih memasukkan PLTU dan PLTG baru dalam RUPTL,” ujar Bhima.
Ketergantungan Struktural
Kekhawatiran juga disampaikan oleh Policy Strategist CERAH, Sartika Nur Shalati menurutnya, pembangunan pembangkit berbahan gas seperti PLTG akan menambah beban ketergantungan struktural terhadap energi fosil. Ia mencontohkan, PLTG umumnya berumur teknis 25–30 tahun, dan pembangunannya memicu investasi lanjutan berupa pipa gas, terminal LNG, kontrak jangka panjang, hingga subsidi gas.
Ia mengingatkan bahwa ketika infrastruktur tersebut terbangun dan modal sudah tertanam (sunk cost), pemerintah akan sulit menghentikannya tanpa biaya kompensasi yang tinggi. “Menambah PLTU saat ini sama saja menuangkan bensin ke rumah yang sudah terbakar. PLTU tetap tumbuh lewat captive power meskipun tidak masuk dalam jaringan PLN,” ucapnya.
Sartika menegaskan bahwa ketergantungan terhadap ekosistem fosil akan menciptakan insentif untuk mempertahankan operasional lebih lama dari yang ideal dalam skenario iklim. Akibatnya, upaya transisi akan kembali tersandera seperti dalam kasus industri batu bara saat ini.
Ironi Target dan Realisasi NZE RI
Target bauran energi terbarukan Indonesia adalah 23% pada tahun 2025, namun hingga 2024, pencapaian tersebut belum terpenuhi. Sementara itu, peringkat ETI (Energy Transition Index) Indonesia menunjukkan peningkatan, menempati posisi ke-3 di ASEAN pada tahun 2024 dengan skor 56,7.
Berikut adalah tabel pencapaian transisi energi Indonesia dari tahun 2015 hingga 2024, yang mencakup bauran energi terbarukan, kapasitas terpasang energi terbarukan, dan peringkat ETI menurut World Economic Forum:
| Tahun | Bauran Energi Terbarukan (%) | Kapasitas Terpasang Energi Terbarukan (MW) | Peringkat ETI ASEAN | Catatan |
|---|---|---|---|---|
| 2015 | 10,65 | 8.514 | - | Awal target bauran EBT 23% pada 2025 |
| 2016 | 12,07 | 8.900 | - | Peningkatan dari tahun sebelumnya |
| 2017 | 12,56 | 9.200 | - | Pertumbuhan moderat |
| 2018 | 12,90 | 9.500 | - | Pertumbuhan moderat |
| 2019 | 13,00 | 9.833 | - | Pertumbuhan moderat |
| 2020 | 11,30 | 10.200 | - | Penurunan karena pandemi COVID-19 |
| 2021 | 11,50 | 10.500 | - | Pemulihan pasca-pandemi |
| 2022 | 12,30 | 11.000 | - | Pertumbuhan berlanjut |
| 2023 | 13,50 | 13.155 | - | Peningkatan signifikan dalam kapasitas terpasang |
| 2024 | 12,30 | 13.500 | 3 | Peringkat ke-3 di ASEAN dengan skor ETI 56,7 |

Ananda Astridianka
Editor
