Makroekonomi

Ungguli Thailand dan Vietnam, Nilai Tambah Manufaktur RI Masuk 12 Besar Dunia

  • Industri manufaktur Indonesia dinilai memiliki struktur yang cukup dalam, mulai dari sektor hulu hingga hilir. Hal ini memberikan dampak positif terhadap peningkatan nilai tambah (value added), sehingga memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional.
1000359741.jpg
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita (trenAsia )

JAKARTA – Peningkatan Manufacturing Value Added (MVA) telah mendorong posisi Indonesia masuk ke jajaran negara manufaktur global. Pada tahun 2023, Indonesia berhasil menempati peringkat ke-12 dalam daftar Manufacturing Countries by Value Added di dunia.

"Indonesia unggul jauh dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, seperti Thailand dan Vietnam, yang nilai MVA-nya hanya setengah dari Indonesia. MVA Thailand berada di posisi ke-22 dengan nilai US$128 miliar, sementara Vietnam di posisi ke-24 dengan nilai US$102 miliar," ujar Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin, 5 Mei 2025.

Industri manufaktur Indonesia dinilai memiliki struktur yang cukup dalam, mulai dari sektor hulu hingga hilir. Hal ini memberikan dampak positif terhadap peningkatan nilai tambah (value added), sehingga memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional.

Agus menyampaikan bahwa tren MVA Indonesia terus meningkat sejak tahun 2019 hingga 2023, kecuali pada masa pandemi COVID-19. Untuk terus mendorong peningkatan nilai tambah tersebut, diperlukan kebijakan strategis yang pro-bisnis dan pro-investasi agar industri manufaktur Indonesia semakin kompetitif di pasar global.

Berdasarkan data Bank Dunia, MVA sektor manufaktur Indonesia pada 2023 mencapai US$255,96 miliar, meningkat 36,4% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar US$241,87 miliar. 

Capaian ini menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah, mencerminkan peran strategis sektor industri pengolahan dalam perekonomian nasional. Dalam hal output dan global value, Indonesia setara dengan negara-negara maju seperti Inggris, Rusia, dan Prancis.

“MVA menunjukkan nilai tambah yang dihasilkan sektor manufaktur dalam suatu negara. Ini mencerminkan kontribusi industri manufaktur terhadap perekonomian nasional dan posisi strategisnya di tingkat global,” jelas Agus.

Sebagai perbandingan, rata-rata MVA dunia mencapai US$78,73 miliar berdasarkan data dari 153 negara. Sementara itu, rerata MVA Indonesia sepanjang periode 1983–2023 adalah US$102,85 miliar. Nilai terendah tercatat pada 1983 sebesar US$10,88 miliar, sedangkan nilai tertinggi tercapai pada 2023, yakni US$255,96 miliar.

Agus menambahkan, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) secara konsisten mendorong perlindungan terhadap industri dalam negeri melalui kebijakan pengendalian impor. Tujuannya adalah menjaga pasar domestik agar tidak dibanjiri produk luar, sehingga MVA Indonesia dapat terus meningkat secara signifikan.

Diketahui, sektor industri manufaktur menyumbang 18,67% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia—menjadikannya kontributor terbesar dibandingkan sektor lainnya. “Pencapaian ini mengonfirmasi bahwa industri manufaktur tetap menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan daya saing ekspor Indonesia,” tegas Agus.

Saat ini, Indonesia juga memiliki potensi besar untuk memperluas pangsa pasar global, terutama melalui peningkatan ekspor produk hilir bernilai tambah tinggi, seperti makanan dan minuman, tekstil, logam, otomotif, dan elektronik.

PMI Manufaktur April Terpukul

Namun demikian, industri manufaktur dalam negeri masih menghadapi tekanan dari berbagai ketidakpastian global dan domestik, mulai dari perang dagang yang digulirkan Amerika Serikat hingga masuknya produk impor dalam jumlah besar.

Kondisi ini tercermin dari menurunnya Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada April 2025, yang turun ke level 46,7, masuk dalam fase kontraksi (di bawah 50), menurut laporan S&P Global.

Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arief, mengatakan bahwa perlambatan PMI Manufaktur tersebut sejalan dengan hasil Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada April 2025 yang tercatat sebesar 51,90.

Meskipun masih berada di zona ekspansi, angka IKI tersebut melambat dibandingkan Maret 2025 yang mencapai 52,98, mengalami penurunan sebesar 1,08 poin. Jika dibandingkan dengan April tahun lalu, IKI juga mengalami koreksi sebesar 0,40 poin.

Menurut Febri, banyak pelaku industri manufaktur masih menunggu kepastian dari hasil negosiasi antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Amerika Serikat.

“Dengan adanya kepastian hukum melalui kebijakan pemerintah, pelaku industri akan lebih percaya diri untuk menjalankan usahanya. Saat ini mereka masih dalam posisi wait and see,” ujarnya.

Febri juga menambahkan bahwa penurunan PMI yang mencapai 5,7 poin dibandingkan bulan Maret (52,4) menunjukkan semakin menurunnya kepercayaan diri pelaku industri manufaktur di tengah situasi ketidakpastian saat ini.