Tuntutan 17+8, Eksploitasi Raja Ampat dan Gelapnya Kasus Pagar Laut
- Di balik pemotongan fasilitas sewa rumah, para “wakil rakyat” menaikkan sejumlah tunjangan lainnya. Kementerian ESDM juga mengizinkan PTV GAG mengeksploitasi Raja Ampat. Bagaimana kasus pagar laut?

Andi Reza Rohadian
Author


Tuntutan 17+8 yang diajukan mahasiswa terhadap DPR, partai politik, kepolisian, TNI, hingga kementerian sektor ekonomi, rupanya hanya ditanggapi setengah hati. Keinginan untuk berubah agaknya terasa sebagai beban yang sangat berat bagi mereka. Kalau pun ada yang berubah, agaknya sekadar untuk meredakan amuk massa.
Coba perhatikan gaji dan tunjangan para “wakil rakyat” setelah dipotong fasilitas sewa rumah sebesar Rp50 juta. Sebelum dipotong, gaji dan tunjangan mereka mencapai Rp104.051.903. Seharusnya pendapatan mereka tinggal Rp54.051.903. Nyatanya setelah direvisi rincian gaji para legislator tercatat Rp65.595.730.
Mengapa bisa begitu? Rupanya setelah mencoret tunjangan rumah mereka malah menambah tunjangan beras dari Rp30.000 menjadi Rp289.000, lalu menaikkan tunjangan kehormatan dari Rp5.580.000 menjadi Rp7.187.000, tunjangan komunikasi dari Rp15.554.000 menjadi Rp20.033.000, tunjangan peningkatan fungsi dari Rp3.750.000 menjadi Rp4.830.000.
Selanjutnya, di daftar pendapatan anggota DPR yang lama terdapat bantuan listrik dan telepon Rp7.700.000 serta asisten anggota Rp2.250.000. Nah keduanya telah dicoret, namun diganti dengan honorarium kegiatan peningkatan fungsi dewan yang terdiri dari fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran. Tiap-tiap fungsi dijatah Rp8.461.000. Jadi total jenderal gaji dan tunjangan anggota DPR pasca demo mahasiswa Rp74.210.880. Setelah dikurangi pajak PPh 15% take home pay mereka mencapai Rp65.595.730.
Selesai? Tunggu dulu. Menurut FORUM Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), alokasi gaji dan tunjangan anggota DPR RI berdasarkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun 2025 mencapai angka fantastis, yakni lebih dari Rp 1,6 triliun untuk 580 anggota. Jadi, setiap anggota menerima sekitar Rp 2,8 miliar per tahun atau lebih dari Rp 230 juta per bulan.
Selain itu, anggota DPR mendapat tunjangan serap aspirasi melalui reses. Dalam DIPA DPR, total pagu anggaran untuk tunjangan serap aspirasi melalui reses yang diterima oleh anggota DPR RI Tahun 2023-2025 rata-rata Rp 2,4 triliun. Jika dibagikan jumlah anggota DPR sebanyak 580 orang, setiap anggota DPR mendapatkan sekitar Rp 4,2 miliar.
Pantas DPR begitu cepat merespon tuntutan mahasiswa untuk mencoret tunjangan perumahan. Ternyata di balik pemangkasan tunjangan perumahan masih ada penerimaan yang jauh lebih besar.
Mengetahui hal itu, mahasiswa tak tinggal diam. Selasa, 9 September lalu, ratusan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Islam negeri (UIN) Jakarta mendatangi DPR. Dalam rangka mengawal tuntutan 17+8, mereka menuntut transparansi dari gaji dan tunjangan para anggota DPR.
“Ini manipulasi, akal-akalan mereka saja, kami menuntut transparansi,” ujar salah seorang peserta demo berjaket kuning.
“Memang angkanya dipangkas, tapi mereka menambahkan dengan banyak tunjangan baru,” timpal salah seorang peserta demo dari UIN. “Ini sebuah bentuk penipuan dan pengkhianatan yang besar bagi,” sahut mahasiwa berjaket biru muda lagi.
Aktivitas Tambang Nikel di Raja Ampat Berlanjut
Tak hanya itu. Enam hari sebelum demo mahasiswa UI dan UIN, diam-diam Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengizinkan PT GAG Nikel untuk beroperasi kembali di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Langkah ini dikritik pegiat lingkungan yang menyebutnya sebagai "kabar buruk" bagi upaya "menyelamatkan Raja Ampat dari bahaya tambang nikel".
Greenpeace Indonesia menilai keputusan ini merupakan pengabaian langsung terhadap ekosistem laut Raja Ampat yang menjadi rumah dari 75% spesies terumbu karang dunia. "Memberikan izin tambang untuk beroperasi lagi di wilayah ini menunjukkan keserakahan pemerintah dan korporasi, yang menempatkan pelindungan lingkungan dan hak asasi manusia di bawah keuntungan ekstraktif jangka pendek," kata Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, dalam situs resminya, Selasa, 9 September.
Satu hari sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Tri Winarno, mengungkapkan, hasil evaluasi Program Penilaian Kinerja Perusahaan (PROPER) menunjukkan GAG Nikel memperoleh peringkat hijau. Peringkat hijau, lanjutnya, berarti GAG Nikel sudah taat terhadap seluruh tata kelola lingkungan dan melakukan pemberdayaan masyarakat.
"(Keputusannya) lintas kementerian, sama KLH (Kementerian Lingkungan Hidup) dan KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan)," ungkap Tri, seperti dilansir Antara.
Sekadar mengingatkan, PT GAG Nikel, yang merupakan anak usaha PT Aneka Tambang Tbk (Antam), dihentikan sementara operasinya pada awal Juni 2025. Hal itu dilakukan setelah muncul gelombang protes terhadap aktivitas pertambangan di Raja Ampat. Kala itu ada lima perusahaan yang memiliki izin usaha pertambangan (IUP) di Kabupaten Raja Ampat. Pemerintah telah mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) di wilayah itu, karena beberapa di antaranya masuk kawasan lindung Geopark.
Empat IUP yang dicabut itu dimiliki oleh PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Melia Raymond Perkasa, dan PT Kawai Sejahtera. Sedangkan, kontrak karya PT GAG Nikel masih berlaku.
Atas dasar tersebut, Presiden Prabowo Subianto meminta Mengteri ESDM Bahlil lahadalia dan jajarannya untuk mengawasi ketat Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan reklamasi yang masuk dalam rencana kerja PT GAG Nikel.
Menanggapi terbitnya izin bagi PT GAG, Greenpeace Indonesia menyerukan agar pemerintah Indonesia tidak mengabaikan suara masyarakat adat dan komunitas lokal Raja Ampat yang sejak awal menolak tambang.
“Keputusan itu melanggar Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,” sahut Arie Rompas, serya menambahkan, pemberian izin itu akan merusak masa depan ekosistem terumbu karang yang kaya di Raja Ampat. Pasal 35 (k) UU itu melarang penambangan mineral pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara langsung dan tidak langsung apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat.
"Seakan tidak ada jalan lain, pemerintah terus bergantung pada industri ekstraktif, padahal ini hanya menunjukkan miskinnya imajinasi pemerintahan Prabowo dalam membangun ekonomi Indonesia yang adil dan berkelanjutan," ujarnya. Ini, tambahnya,”adalah bentuk pengkhianatan pemerintah terhadap komitmen iklim Indonesia, sekaligus memperdalam krisis ekologis yang sudah mengancam negeri ini. “
Tak ayal, Greenpeace Indonesia mendesak agar pemerintah Indonesia segera mencabut izin PT Gag Nikel serta menghentikan semua rencana penambangan nikel dan pembangunan smelter di Sorong maupun Raja Ampat. PT GAG Nikel yang diklaim Menteri Bahlil sebagai anak perusahaan PT Antam Tbk, l menambang di Pulau Gag, yang luas daratannya sekitar 6.035,53 hektare dan memiliki 1.000 penduduk. Menurut Geenpeace Indonesia, eksploitasi nikel di pulau itu mengancam terumbu karang yang rusak oleh aktivitas pembukaan lahan, deforestasi, dan limpasan lumpur ke wilayah pesisir.
Kasus Pagar Laut Menggantung, Muncul Tanggul Laut
Selain gaji dan tunjangan DPR serta tambang nikel di Raja Ampat, kasus tembok beton di Cilincing, Jakarta Utara, juga perlu medapat perhatian pemerintah. Di tengah derita nelayan Jakarta Utara yang nelangsa akibat pagar laut yang tak kunjung menemukan jawaban, muncul lagi satu proyek yang semakin menyulitkan masyarakat dalam mencari ikan ke tengah laut.
Jika pagar laut ditengarai dimiliki oleh pengusaha properti, tembok beton telah mendapat izin Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Tembok yang memagar laut itu berada di kawasan PT Karya Citra Nusantara (PT KCN). Pembangunan tembok bertujuan sebagai breakwater atau penahan air laut selama proses pembangunan pelabuhan berlangsung.
KKP menyatakan PT KCN telah mengantongi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut atau KKPRL sebagai izin dasar dalam rencana tata ruang. Tanggul beton berukuran hingga 3 kilometer itu ramai diperbincangkan setelah muncul dalam unggahan akun Instagram @cilincinginfo. Pemilik akun menyertakan narasi bahwa tanggul ini menyulitkan nelayan pesisir untuk melintas.
“Jadi awalnya perlintasan nelayan sehingga kesulitan mencari ikan karena harus memutar jauh dengan adanya tanggul beton ini," kata seseorang dalam video yang diunggah akun Instagram @cilincinginfo.
Keluhan senada ramai diutarakan nelayan saat munculnya pagar laut, Februari lampau. Toh setelah ditangani Mabes Polri dan Kejaksaan Agung kasus ini tak menemui titik terang.Penanganan perkara ini benar-benar gelap. Itu terjadi setelah empat tersangka kasus pagar laut di Kabupaten Tangerang bisa menghirup udara bebas. Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menyatakan batas waktu penahanan mereka sudah habis, akhir April silam.
Perkara ini berawal dari terungkapnya 263 serifikat hak guna bangunan (HGB) untuk area di atas laut Kabupaten Tangerang. Sebanyak 234 tercatat milik PT Intan Agung Makmur, dan sisanya punya PT Cahaya Inti Sentosa. PT Intan beralamat di Jalan Inspeksi Pantai Indah Kapuk 2, Jakarta Utara, kawasan properti milik PT Pantai Indah Kapuk Dua yang dikermbangkan Grup Agung Sedayu. Akan halnya Cahaya Inti Sentosa dimiliki PT Pantai Indah Kapuk Dua dan PT Agung Sedayu.
Kedua perusahaan terafiliasi dengan Grup Agung Sedayu milik taipan Sugianto Kusuma alias Aguan.
Keluarnya para tersangka dari tahanan Mabes Polri gara-gara Bareskrim tak kunjung melengkapi berkas kasus sesuai petunjuk Kejaksaan Agung. Berkas yang diajukan Bareskrim sudah dua kali dikembalikan dari Gedung Bundar (kantor tindak pidana khusus Kejaksaan Agung).
Kejaksaan Agung minta polisi menerapkan pasal korupsi. Tapi polisi keukeuh mengenakan pasal pemalsuan. Bareskrim menggunakan pasal itu dengan alasan belum ada kerugian negara. Sedangkan Kejaksaan Agung ngotot ada perkara korupsi. Alasannya di situ ada suap, pemalsuan dan penyalahgunaan wewenang.
Begitulah penegakan hukum di negeri kita. Jika sudah berhadapan dengan oligarki, semuanya mendadak tumpul.

Ananda Astridianka
Editor
