Tiru Pola CBRE, Begini Tips Cuan Berburu Saham Rights Issue
- Fenomena kenaikan harga saham emiten rights issue seperti CBRE dan IRSX menarik perhatian investor. Analis menyebut narasi ekspansi bisnis dan perbaikan neraca keuangan menjadi pemicu utama lonjakan harga tersebut.

Alvin Bagaskara
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Fenomena lonjakan harga saham menjelang aksi rights issue kembali menjadi sorotan tajam pelaku pasar pada tahun 2025. Emiten seperti PT Cakra Buana Resources Energi Tbk (CBRE) mencatatkan kenaikan fantastis hingga 5.718%, sementara PT Folago Global Nusantara Tbk (IRSX) terbang lebih dari 2.000% secara tahunan.
Bagi investor pemula, rights issue sering dianggap menakutkan karena risiko dilusi kepemilikan. Namun, data pasar menunjukkan bahwa jika aksi korporasi ini dibalut dengan narasi ekspansi yang kuat, respons pasar justru sangat bullish. Investor berlomba masuk lebih awal untuk mengamankan posisi sebelum harga pelaksanaan ditetapkan.
Memahami pola pergerakan ini menjadi kunci untuk mendulang keuntungan (capital gain). Tidak semua rights issueberdampak positif, namun ada karakteristik khusus yang membuat saham-saham tertentu menjadi primadona. Berikut adalah analisis mengapa aksi korporasi ini kerap menjadi katalis kenaikan harga yang eksplosif.
1. Narasi Ekspansi Mengalahkan Isu Dilusi
Kunci utama lonjakan harga terletak pada tujuan penggunaan dana. Saham cenderung naik kencang jika dana hasil rights issue dialokasikan untuk ekspansi bisnis yang agresif, seperti akuisisi aset produktif atau pengembangan proyek baru, bukan sekadar untuk membayar utang lama yang membebani kinerja perusahaan.
Investor melihat potensi pertumbuhan pendapatan di masa depan yang jauh lebih besar daripada efek dilusi saham jangka pendek. Dalam kasus INET dan WIFI, dana triliunan rupiah yang dihimpun digunakan untuk belanja modal sektor digital, yang menjanjikan margin keuntungan tinggi di era transformasi teknologi saat ini.
Pasar selalu bergerak berdasarkan ekspektasi masa depan. Ketika emiten menawarkan prospek pertumbuhan yang jelas lewat suntikan modal baru, investor akan merespons positif. "Secara umum rights issue memang dipakai untuk ekspansi bisnis, bukan sekadar aksi korporasi," kata Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas, David Kurniawan.
2. Mekanisme 'Re-rating' Valuasi Saham
Suntikan dana segar dari rights issue secara otomatis memperbaiki struktur permodalan perusahaan. Peningkatan ekuitas membuat rasio utang terhadap modal (Debt to Equity Ratio) menjadi lebih sehat, sehingga risiko kebangkrutan menurun dan kapasitas perusahaan untuk mencari pendanaan eksternal tambahan menjadi lebih besar.
Perbaikan fundamental ini memicu penyesuaian ulang valuasi atau re-rating oleh pasar. Saham yang sebelumnya dihargai murah karena beban keuangan tinggi, kini dinilai layak diperdagangkan di harga premium. Hal inilah yang mendorong harga saham merangkak naik secara konsisten menuju target harga wajar barunya.
Ekspektasi publik terhadap kinerja keuangan yang lebih solid menjadi pendorong utama. Investor institusi biasanya masuk lebih dulu saat melihat neraca keuangan membaik. "Rights issue bisa memperkuat neraca keuangan. Ekspektasi publik dan narasi pertumbuhan pun memicu re-rating saham," tambah David dalam analisisnya.
3. Sektor 'High Growth' Jadi Primadona
Lonjakan harga paling ekstrem biasanya terjadi pada emiten yang bergerak di sektor dengan pertumbuhan tinggi (high growth), seperti teknologi, infrastruktur digital, dan energi baru. Sektor ini membutuhkan belanja modal (capex) jumbo untuk bertumbuh, sehingga rights issue dianggap sebagai bahan bakar wajib untuk akselerasi.
Contoh nyata terlihat pada saham CBRE (energi/pelayaran) dan WIFI (infrastruktur digital). Keduanya bergerak di industri yang sedang naik daun. Kebutuhan dana besar untuk ekspansi di sektor ini dianggap wajar dan justru dinanti oleh pasar sebagai sinyal keseriusan manajemen dalam membesarkan skala bisnis.
Prospek jangka panjang sektor-sektor ini menutupi risiko jangka pendek. Investor rela menebus hak memesan efek terlebih dahulu karena percaya pada roadmap bisnisnya. "Sektor digital dan telekomunikasi berpotensi ramai menggelar rights issue, seiring dengan kebutuhan belanja modal yang besar," jelas David.
4. Psikologi Pasar: 'Priced In' Sejak Rumor
Kenaikan harga saham seringkali terjadi jauh sebelum jadwal pelaksanaan rights issue resmi dimulai. Pelaku pasar yang jeli biasanya sudah mengakumulasi saham sejak rumor atau rencana awal RUPSLB diumumkan. Fenomena ini dikenal dengan istilah priced in, di mana harga pasar sudah mencerminkan kabar baik tersebut.
Ketika keterbukaan informasi resmi dirilis, harga saham seringkali sudah berada di posisi puncak. Investor ritel yang baru masuk belakangan seringkali terlambat menikmati pesta kenaikan harga. Oleh karena itu, mencermati gerak-gerik emiten yang berencana menggelar RUPSLB menjadi strategi krusial bagi para trader.
Analis menilai bahwa pasar sudah sangat efisien dalam merespons sinyal ekspansi. Kenaikan harga adalah validasi bahwa investor menyetujui rencana manajemen. "Aksi korporasi ini bisa jadi katalis positif dan pelaku pasar sudah melakukan priced in," ujar Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia, Abdul Azis Setyo Wibowo.
5. Momentum Makroekonomi 2026
Melihat ke depan, tren rights issue diprediksi akan semakin marak pada 2026. Faktor makroekonomi seperti potensi penurunan suku bunga global dan arah kebijakan The Fed akan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi emiten untuk mencari pendanaan murah di pasar modal guna membiayai pertumbuhan.
Sektor properti dan aviasi, yang sebelumnya tertekan, diprediksi akan mulai bangkit dan melakukan aksi korporasi untuk pemulihan (recovery). Stabilitas Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan masuknya arus modal asing (foreign inflow) akan menjadi bensin tambahan yang menjaga tren kenaikan harga saham-saham rights issue.
Investor disarankan untuk mulai memantau sektor-sektor yang tertinggal namun memiliki potensi turnaround. Momentum pemulihan ekonomi akan mendorong emiten lebih berani berekspansi. "Sektor properti yang sebelumnya delay karena pasar belum kondusif, kemungkinan akan kembali mempertimbangkan aksi korporasi pada 2026," tutup David.

Alvin Bagaskara
Editor
