Tren Global

Tarif Impor Trump Dinyatakan Batal Oleh Pengadilan, Begini Dampaknya

  • Pengadilan Banding AS nyatakan sebagian besar tarif impor era Trump tidak sah. Nasib kebijakan kini menunggu putusan Mahkamah Agung.
Presiden AS Donald Trump menyampaikan pidato tentang tarif di Rose Garden di Gedung Putih di Washington, DC, AS, 2 April 2025.
Presiden AS Donald Trump menyampaikan pidato tentang tarif di Rose Garden di Gedung Putih di Washington, DC, AS, 2 April 2025. (Reuters/Carlos Barria)

JAKARTA, TRENASIA.ID - Sengketa tarif impor era Donald Trump memasuki babak baru setelah Pengadilan Banding Federal di Washington D.C. memutuskan sebagian besar kebijakan tarif tersebut tidak sah. 

Dalam putusan dengan perbandingan suara 7-4, majelis hakim menyatakan bahwa dasar hukum yang digunakan Trump, yakni International Emergency Economic Powers Act (IEEPA) 1977, tidak memberikan kewenangan kepada presiden untuk memungut tarif atau pajak impor.

Putusan ini menjadi pukulan bagi agenda ekonomi Trump, yang sejak awal menempatkan tarif impor sebagai pilar kebijakan luar negeri dan proteksi industri dalam negeri. 

Namun, tarif yang sudah diberlakukan masih akan tetap berlaku hingga 14 Oktober mendatang, guna memberi kesempatan bagi pihak Trump maupun Departemen Kehakiman AS mengajukan banding ke Mahkamah Agung.

Tarif impor era Trump sejatinya diterapkan dengan alasan darurat nasional, menggunakan IEEPA sebagai landasan hukum. Trump menilai defisit perdagangan yang membengkak, melemahnya industri manufaktur, serta masuknya narkotika lintas negara sebagai ancaman luar biasa bagi keamanan dan ekonomi Amerika Serikat.

Departemen Kehakiman pun mendukung langkah tersebut, dengan argumen bahwa presiden memiliki kewenangan luas untuk mengatur alur impor dalam kondisi darurat. 

Akan tetapi, pengadilan menegaskan bahwa konstitusi AS secara eksplisit memberikan kewenangan menetapkan tarif dan pajak kepada Kongres, bukan presiden. Dengan demikian, penggunaan IEEPA dianggap sebagai penyalahgunaan tafsir hukum yang melampaui batas.

Baca Juga : Livin’ by Mandiri Kian Lengkap, Hadirkan Ekosistem Transaksi Digital untuk Semua Kebutuhan

Reaksi Politik dan Pasar

Trump langsung merespons putusan ini dengan nada keras. Ia menyebut keputusan tersebut sarat motif politik dan yakin Mahkamah Agung, yang kini mayoritas berhaluan konservatif (6-3), akan membatalkannya. 

“Jika tarif ini dicabut, negara akan menghadapi bencana total,” cuit Trump di laman platform Truth Social, dikutip Senin, 1 September 2025.

Sementara itu, gugatan terhadap kebijakan tarif ini datang dari koalisi negara bagian yang dikuasai Partai Demokrat, bersama sejumlah pelaku usaha kecil yang mengaku dirugikan karena lonjakan harga bahan baku impor.

Para ekonom menilai, meski pasar keuangan belum menunjukkan reaksi signifikan, putusan ini berpotensi meningkatkan ketidakpastian bagi dunia usaha yang sudah menghadapi tekanan global, mulai dari perlambatan ekonomi Tiongkok hingga fluktuasi harga energi.

“Yang paling tidak dibutuhkan dunia usaha saat ini adalah ketidakpastian baru soal perdagangan,” ungkap kepala strategi pasar di lembaga keuangan B. Riley Wealth, Art Hogan, dikutip laman financial times, Senin, 1 September 2025.

Kini, nasib kebijakan tarif impor era Trump akan ditentukan di Mahkamah Agung. Meski secara politik Trump memiliki keuntungan dengan mayoritas hakim konservatif, sejumlah pengamat menilai jalan tidak akan mudah. 

Baca juga : IHSG Ditekan Asing, Hanya 3 Saham Komoditas LQ45 Ini yang Jadi Jawara Pekan Lalu

Mahkamah Agung selama ini kerap menolak interpretasi hukum yang terlalu luas, terutama jika berpotensi menggeser kewenangan konstitusional Kongres.

Kasus ini bukan hanya soal tarif impor, tetapi juga menyangkut keseimbangan kekuasaan di sistem pemerintahan Amerika Serikat. Jika Mahkamah Agung menguatkan putusan pengadilan banding, maka presiden, siapa pun yang berkuasa, akan kehilangan instrumen penting untuk bertindak cepat dalam menghadapi gejolak perdagangan global. 

Sebaliknya, jika Mahkamah Agung mendukung Trump, hal ini dapat membuka jalan bagi presiden untuk menggunakan kewenangan darurat dalam berbagai kebijakan ekonomi di masa depan.