Tantangan dalam Menegakkan Pilar Keempat Demokrasi
- Tantangan dalam Menegakkan Pilar Keempat Demokrasi Kasus pencabutan kartu peliputan istana terhadap wartawan CNN Indonesia menunjukkan arogansi penguasa terhada

Andi Reza Rohadian
Author


Kebebasan pers sebagai salah satu hasil reformasi 27 tahun lampau mendapat ancaman serius. Bila di zaman Orde Baru dahulu ancaman itu berupa pembreidelan media, maka kini bentuknya lebih bervariasi. Salah satunya seperti dialami wartawan CNN Indonesia, Diana Valencia, yang dicabut kartu peliputannya di Istana Presiden, Sabtu 27 September silam.
Biro Pers, Media dan Informasi (BPMI) Sekretariat Presiden berang lantaran Diana mengajukan pertanyaan tentang Makan Bergizi Gratis (MBG) kepada Presiden Prabowo Subianto yang baru saja mendarat di Bandara Halim Perdana Kusumah. Menilai pertanyaan Diana di luar konteks agenda kunjungan Prabowo ke empat negara --salah satunya menghadiri Sidang Majelis Umum PBB, BPMI mengutus seorang petugas mendatangi kantor Redaksi CNN Indonesia, di kawasan Mampang, Jakarta Selatan.
Tanpa tedeng aling-aling, si petugas mengambil kartu peliputan Istana milik Diana. CNN tak tinggal diam. Minggu, 28 September, CNN pun mengadu ke Dewan Pers. Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat lalu meminta agar akses liputan wartawan CNN Indonesia yang dicabut segera dipulihkan sehingga yang bersangkutan dapat kembali menjalankan tugas jurnalistiknya di Istana. Ia juga mengingatkan pentingnya menjunjung tinggi kemerdekaan pers sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.
Setali tiga uang, Ketua Umum PWI Pusat, Akhmad Munir, turut menyatakan keprihatinannya atas insiden yang menimpa jurnalis CNN Indonesia. Ia menilai, pencabutan tersebut berpotensi menghambat kemerdekaan pers serta bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Pers. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers juga ikut mengecam keputusan BPMI.
Mereka menyerukan agar negara tidak membiarkan peristiwa ini berulang. Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden (Setpres) Yusuf Permana mengatakan, pihaknya menyesal telah menarik ID khusus Istana milik Diana. Ia pun berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. "Saya menyesal,” sahutnya seraya berjanji untuk menjunjung tinggi asas keterbukaan dan kebebasan pers, sebagaimana diamanatkan UU Nomor 40 Tahun 1999.
Sejumlah Perundang-undangan Menghadang Jurnalis
Masalahnya, pencabutan kartu peliputan bukan satu-satunya bentuk intimidasi terhadap pers. Seperti sudah disebutkan, saat ini cara penguasa menekan pers lebih variatif. TrenAsia mencatat setidaknya ada lima peraturan dan undang-undang di Indonesia yang dapat membatasi kebebasan pers secara langsung atau tidak langsung.
Kelima peraturan dan perundang-undangan itu adalah UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023 yang berlaku efektif tahun 2026), UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, RUU Penyiaran dan beberapa UU yang memungkinkan pejabat publik menolak memberi data kepada jurnalis, dengan alasan keamanan negara, rahasia perusahaan, dll. UU ITE menyimpan beberapa pasal yang bisa menjerat jurnalis, seperti Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik, Pasal 28 ayat (2) ujaran kebencian dan Pasal 29 ancaman kekerasan.
Pasal-pasal ini sering digunakan untuk menjerat jurnalis meski kontennya berupa karya jurnalistik. Ada pun KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) memiliki Pasal 240 dan 241, yakni pasal penghinaan terhadap pemerintah serta Pasal 263 dan 264 tentang penyiaran berita bohong dan Pasal 351 penghinaan terhadap lembaga negara.
Delik "penghinaan" terhadap penguasa yang bisa mengkriminalisasi jurnalis ini di negeri asalnya (Belanda) sudah lama dicabut. Sungguh berlebihan di era kemerdekaaan yang sudah 80 tahun legislator masih mempertahankan pasal ini. Akan halnya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang sejatinya adalah payung perlindungan pers, tapi sangat tumpul dalam memberlakukan sanksi pidana bagi aparat/pihak yang melanggar kebebasan pers.
Sudah begitu, Dewan Pers pun tidak memiliki kewenangan eksekutif, hanya mediasi & rekomendasi. Tanpa keberadaan sanksi tegas untuk pihak yang menghambat kerja jurnalistik, banyak jurnalis mengalami intimidasi, doxing, atau kekerasan. UU Pers (UU No. 40/1999) Pasal 18 menegaskan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum menghalangi kerja pers dapat dipidana (ancaman: penjara maksimal 2 tahun atau denda hingga Rp 500 juta).
Toh, dalam praktiknya, meskipun ada undang-undang, penanganan kasus penghalangan liputan sering lemah — pelaporan tidak ditindaklanjuti, bukti hilang, atau proses hukum berjalan lambat. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis & media sepanjang Januari sampai Agustus 2025, yang mencakup penghalangan kerja jurnalistik, intimidasi fisik, dan serangan terhadap peralatan pers.
Kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis juga terjadi selama aksi demo mahasiswa menolak tunjangan perumahan Rp50 juta bagi anggota DPR pada tanggal 25–30 Agustus silam. Aparat kepolisian/petugas keamanan memaksa jurnalis menghapus rekaman, merusak dan menyita peralatan liputan, bahkan ada wartawan kena pukul hingga sempat ditahan singkat meski telah menunjukkan kartu pers.
Larangan Liputan Investigasi: Bredel Gaya Baru
Tak kalah seramnya RUU Penyiaran yang melarang jurnalisme investigasi di media penyiaran (TV/radio). Hal itu tertuang dalam Pasal 50B ayat (2) huruf c menyebut larangan menayangkan konten penyiaran investigatif. AJI dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyebut larangan jurnalisme investigasi sebagai "usaha membungkam pers secara sistematis".
Investigasi adalah pilar utama dalam fungsi kontrol pers. Mereka minta pasal itu dicabut total. Beberapa pasal dianggap sengaja dibuat untuk membatasi kritik terhadap pejabat publik atau elite politik, karena investigasi media kerap membongkar korupsi atau konflik kepentingan. Tak hanya itu, RUU ini juga dibuat secara tertutup tanpa partisipasi publik.
Karena itu RUU ini dapat disimpulkan melanggar prinsip kebebasan pers yang dijamin UUD 1945 & UU Pers, membatasi kerja jurnalistik di ruang publik, khususnya media penyiaran (TV, radio, daring) dan memungkinkan kewenangan sensor oleh negara atas isi siaran. Tak heran jika banyak pihak menilai larangan investigasi sebagai pembredelan gaya baru.
Di luar itu, beberapa perundangan juga memberi peluang bagi pejabat publik untuk tidak meladeni jurnalis dengan alasan demi keamanan negara, rahasia perusahaan, dll. Salah satu contohnya adalah UU Sumber Daya Air. Seorang pejabat BUMN bisa saja menolak wawancara dengan dalih liputan yang dilakukan jurnalis bisa mengganggu program strategis.
Begitulah, meski pers diakui sebagai pilar keempat demokrasi -bersama eksekutif, legislatif, yudikatif, nyatanya pihak penguasa tak sepenuhnya rela memberi ruang bagi jurnalis untuk turut serta mengontrol jalannya pemerintahan. Artinya meski hak itu sudah diakui negara melalui UUNomor 40 Tahun 1999, pers harus terus berjuang untuk menegakkan hak dan kewajibannya.

Ananda Astridianka
Editor
