Tanggapan Negara Barat Terhadap Darurat Militer di Korea Selatan
- Keputusan Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol untuk memberlakukan darurat militer demi melawan ancaman yang disebutnya sebagai "komunis Korea Utara" dan elemen anti-negara memicu reaksi kuat dari berbagai negara Barat.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA - Keputusan Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol untuk memberlakukan darurat militer demi melawan ancaman yang disebutnya sebagai "komunis Korea Utara" dan elemen anti-negara memicu reaksi kuat dari berbagai negara Barat.
Kekhawatiran atas stabilitas demokrasi di Korea Selatan mengemuka, dengan negara-negara seperti Irlandia, Inggris, Jerman, hingga Amerika Serikat menyatakan keprihatinan mereka secara terbuka.
Negara-negara Eropa dengan tegas menyerukan pentingnya penghormatan terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Irlandia, misalnya, mengimbau warganya yang berada di Korea Selatan untuk tetap waspada dan menghindari lokasi demonstrasi.
Pemerintah Irlandia juga meminta warga Irlandia yang berada di Korea Selatan untuk menghindari demonstrasi dan selalu berkoordinasi dengan Kedutaan Besar jika diperlukan.
"Warga negara yang berada di wilayah tersebut yang memiliki kekhawatiran dapat menghubungi Kedutaan Besar Irlandia di Seoul atau Departemen Urusan Luar Negeri," ungkap keterangan resmi yang dikeluarkan Kedutaan Besar Irlandia untuk Korea Selatan, dikutip Rabu, 4 Desember 2024.
Sementara itu, Inggris meminta pemerintah Korea Selatan menyelesaikan situasi ini secara damai dan sesuai dengan konstitusi negara. Pemerintah Inggris juga mengingatkan warganya untuk mematuhi saran perjalanan resmi selama masa ketegangan ini.
"Kami mendesak penyelesaian yang damai terhadap situasi ini, sesuai dengan hukum dan konstitusi Republik Korea," ungkap Kemenlu Inggris, dikutip laman media Anadolu.
- Dibandingkan dengan Miftah Maulana, Siapa Sebenarnya Niken Salindry?
- Sumber Harta Gus Miftah yang Viral karena Hina Bakul Es Teh
- Prediksi Harga Honda Beat One Piece, Bikin Ngiler Nakama
Kementerian Luar Negeri Jerman menyuarakan kekhawatiran melalui akun media sosial X (sebelumnya Twitter), menekankan bahwa demokrasi harus tetap dijaga di tengah dinamika politik yang terjadi. "Kami mengikuti perkembangan di Korea Selatan dengan sangat cemas. Demokrasi harus tetap berlaku," ujar Kemenlu Jerman.
Gedung Putih mengapresiasi langkah Presiden Yoon untuk mencabut darurat militer setelah Majelis Nasional Korea Selatan secara tegas menolak langkah tersebut. Dalam pernyataan resminya, pemerintah AS menyoroti pentingnya menjaga demokrasi sebagai nilai fundamental dalam hubungan bilateral antara Amerika Serikat dan Korea Selatan (ROK).
“Kami merasa lega Presiden Yoon telah mengubah arah deklarasi darurat militernya yang mengkhawatirkan dan menghormati keputusan Majelis Nasional ROK (Republik Korea; singkatan resmi Korsel) untuk mengakhiri hukum militer itu,” terang juru bicara Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat dikutip Antara.
- Dibandingkan dengan Miftah Maulana, Siapa Sebenarnya Niken Salindry?
- Sumber Harta Gus Miftah yang Viral karena Hina Bakul Es Teh
- Prediksi Harga Honda Beat One Piece, Bikin Ngiler Nakama
Pencabutan Darurat Militer dan Dampaknya
Setelah mendapat penolakan dari 190 dari 300 anggota parlemen, Presiden Yoon akhirnya mencabut darurat militer tersebut. Keputusan ini diambil melalui rapat kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Han Duck-soo. Militer yang sebelumnya dikerahkan untuk mengawasi parlemen pun ditarik kembali.
“Darurat militer akan dicabut segera setelah menerima permintaan Majelis Nasional (Parlemen) melalui pertemuan Dewan Negara (Kabinet),” terang Presiden Yoon dalam pidato nasionalnya.
Langkah ini disambut dengan kegembiraan oleh masyarakat Korea Selatan, yang menganggapnya sebagai kemenangan demokrasi di tengah ketegangan politik. Reaksi negara-negara Barat menunjukkan perhatian dunia internasional terhadap stabilitas politik dan demokrasi di Korea Selatan.
Sebagai sekutu strategis Amerika Serikat dan mitra penting bagi negara-negara Eropa, setiap perkembangan politik di Korea Selatan berdampak luas pada tatanan regional, terutama di tengah ancaman dari Korea Utara.

Ananda Astridianka
Editor
