Suntikan Dividen Rp11,42 T: Pemicu Rotasi Modal ke Saham BBRI dan BMRI?
- Total dividen Rp11,42 triliun mengalir ke pasar, memicu likuiditas. Analis menyimpulkan ini adalah sinyal laba historis, mendorong rotasi modal ke BBRI dan BMRI.

Alvin Bagaskara
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Memasuki penghujung tahun 2025, sejumlah emiten BUMN dan konglomerasi bersiap membagikan dividen interim. Pembagian dividen ini menjadi momen penting bagi investor yang mengincar pendapatan pasif, namun juga menghadirkan dilema strategis di pasar modal.
Setidaknya, 31 emiten dijadwalkan membayar dividen interim dengan total nilai mencapai Rp11,42 triliun. Guyuran dividen yang terkonsentrasi pada akhir November hingga pertengahan Desember ini menjadi katalis likuiditas substansial bagi pergerakan IHSG.
Analis BRI Danareksa Sekuritas, Abida Massi Armand, menuturkan dividen interim berfungsi sebagai sinyal positif. Namun, ia menilai sinyal ini memiliki kelemahan sebagai indikator prospek kinerja pada tahun 2026.
1. Skala Injeksi Likuiditas Pasar
Total injeksi dividen yang terkonsentrasi pada akhir November hingga pertengahan Desember 2025 mencapai Rp11,42 triliun. Nilai ini menjadi katalis likuiditas substansial bagi pergerakan pasar menjelang penutupan akhir tahun.
Nilai tersebut setara dengan sekitar 65% dari rata-rata nilai transaksi harian (RNTH) BEI. Injeksi kas ini krusial karena perdagangan harian sempat melambat, dan pasar masih menghadapi tekanan jual bersih asing sepanjang tahun 2025.
2. Paradoks Sinyal: Kinerja Historis Vs Prospek
Pembagian dividen interim ini didasarkan pada laba tinggi yang dibukukan emiten komoditas hingga September 2025. Sinyal ini menegaskan likuiditas kuat dan profitabilitas historis perusahaan, namun bukan jaminan untuk profitabilitas tahun depan.
Proyeksi harga komoditas utama (batu bara, nikel) diperkirakan melandai atau kembali normal pada 2026. Proyeksi tersebut berisiko menekan margin emiten, membuat sinyal dividen historis tidak lagi relevan untuk valuasi ke depan.
Abida Massi Armand menyebut pembayaran dividen yang terlalu besar juga bisa mengindikasikan strategi manajemen. "Pembayaran dividen yang terlalu besar juga bisa mengindikasikan residual dividend policy," tutur Abida Massi Armand.
3. Kasus MEDC: Bukti Laba Menciut
Kasus PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) menjadi contoh. Emiten migas ini dijadwalkan menebar dividen interim sebesar US$42 juta (sekitar Rp701,31 miliar) pada 28 November 2025.
Namun, MEDC membukukan koreksi laba bersih menjadi US$85,65 juta (setara Rp1,42 triliun) sepanjang Januari-September 2025. Laba bersih MEDC menciut 1,46% YoY, menunjukkan tantangan profitabilitas sudah dimulai di tahun berjalan.
Pembagian dividen per saham MEDC ditetapkan US$0,0017 per saham. Oleh karena itu, investor perlu meninjau kembali sustainability laba MEDC pada 2026, yang diprediksi akan tertekan harga minyak yang fluktuatif, dibandingkan melihat dividen historis.
4. Rotasi Modal ke Saham Defensif (Bank)
Di tengah ketidakpastian komoditas, investor disarankan untuk beralih ke saham yang lebih defensif. Emiten bank dinilai cukup menarik karena loyalitas mereka dalam menebar dividen tiap tahun.
Rotasi modal ini menunjukkan adanya pergeseran strategi. "Angga Septianus (IPOT) menilai emiten bank cukup menarik karena loyalitas mereka dalam menebar dividen tiap tahun," tulis analis Indo Premier Sekuritas.
Emiten seperti PT Bank Rakyat Indonesia (BBRI) direkomendasikan karena berkomitmen membagikan dividen interim di bulan Januari 2026. Asumsi serupa berlaku untuk PT Bank Mandiri Tbk (BMRI).
5. Implikasi Pasar dan Keyakinan Analis
Dividen interim menunjukkan komitmen emiten untuk menghargai pemegang saham dengan pencapaian yang ada, namun bukan menjadi prospek kinerja di tahun depan. "Angga Septianus menegaskan dividen interim menandakan komitmen emiten untuk menghargai pemegang saham dengan pencapaian yang ada, namun bukan menjadi prospek kinerja di tahun depan," ujarnya.
Abida Massi Armand menambahkan, sinyal dividen cenderung menjadi lebih efektif dalam membangun kepercayaan pasar, terutama pada periode akhir tahun yang penuh ketidakpastian. "Sinyal dividen cenderung menjadi lebih efektif dalam membangun kepercayaan pasar, terutama pada periode akhir tahun yang penuh ketidakpastian," tutup Abida.
Kombinasi injeksi likuiditas besar-besaran dan rotasi ke bank menunjukkan pasar mulai memfinalisasi posisi untuk menghadapi potensi perlambatan komoditas di 2026, yang memerlukan portofolio yang lebih defensif.

Alvin Bagaskara
Editor
