Sudah Masuk Bioskop! Ini Review Film Fantastic Four: First Steps
- The Fantastic Four: First Steps resmi tayang di bioskop Indonesia Rabu, 23 Juli 2025. Film ini menjadi penampilan perdana tim superhero legendaris tersebut dalam semesta film Marvel (MCU).

Distika Safara Setianda
Author


JAKARTA – The Fantastic Four: First Steps resmi tayang di bioskop Indonesia Rabu, 23 Juli 2025. Film ini menjadi penampilan perdana tim superhero legendaris tersebut dalam semesta film Marvel (MCU).
Disutradarai Matt Shakman, film ini menampilkan jajaran bintang papan atas. Pedro Pascal sebagai Reed Richards, Vanessa Kirby sebagai Sue Storm, Joseph Quinn sebagai Johnny Storm, dan Ebon Moss-Bachrach sebagai Ben Grimm, memerankan tokoh-tokoh utama.
Fantastic Four: First Steps digadangkan sebagai salah satu film unggulan di pertengahan tahun ini. Kolaborasi antara Marvel Studios dan Walt Disney Studios Motion Pictures ini juga menandai awal dari fase terbaru dalam Marvel Cinematic Universe (MCU).
Sebelum menonton film ini, alangkah baiknya membaca review Fantastic Four: First Steps terlebih dahulu. Yuk, simak artikel berikut!
Review Film Fantastic Four: First Steps
Meski diperkuat dengan akting solid dari Pedro Pascal dan para pemeran lainnya, dan meskipun film ini punya gaya yang ringan namun rapi, visi masa depan bergaya retro dari Marvel ini tetap terasa kurang dalam hal ketegangan.
Para produser sering kali membuat berbagai klaim besar soal film mereka. Namun kali ini, Kevin Feige, produser dari waralaba superhero Marvel, tidak berlebihan ketika menyebut The Fantastic Four: First Steps sebagai “film yang tidak perlu PR.”
Dan itu sungguh melegakan. Untuk sekali ini, penonton tak perlu repot membuka Wikipedia demi memahami sejarah karakter yang rumit dan alur waktu yang berbelit-belit. Inilah salah satu kekuatan dari film mandiri ini, yang benar-benar mengandalkan nuansa dan gaya retro-futuristik ala tahun 1960-an.
Film ini juga sangat terbantu oleh para pemain yang tampil meyakinkan dalam situasi yang tidak masuk akal, terutama Pedro Pascal sebagai ilmuwan jenius Reed Richards, dan Ebon Moss-Bachrach sebagai sahabatnya, Ben alias The Thing, sosok raksasa yang terbuat dari batu.
Namun, seberapa besar Anda akan menikmati film ini mungkin tergantung pada seberapa Anda menyukai suasana taman hiburan selama dua jam, karena begitulah kesan yang diberikan film Disney yang cukup menyenangkan ini.
The Fantastic Four dengan efisien memperkenalkan latar belakang para pahlawan utamanya. Mark Gatiss berperan sebagai pembawa acara talk show yang ceria dan menjelaskan kembali kepada penonton tentang kejadian empat tahun lalu.
Saat itu, keempat anggota tim sedang dalam misi luar angkasa ketika gelombang kosmik mengubah struktur DNA mereka.
Reed Richards, selain kecerdasannya, kini memiliki tubuh yang elastis. Istrinya, Sue Storm (Vanessa Kirby), mampu memancarkan medan gaya dari tangannya dan bisa menjadi tak terlihat. Sementara itu, adiknya, Johnny (Joseph Quinn), berubah menjadi Human Torch yang bisa menyulut tubuhnya menjadi api dan terbang.
Dan Ben, yang dulunya mirip sepupu Richie dari The Bear, kini menjadi The Thing, makhluk kuat berkulit batu, sebuah kondisi permanen.
Kini, keempatnya tinggal bersama entah kenapa, dan akan turun tangan menyelamatkan dunia jika dibutuhkan.
Mereka juga mendirikan sebuah yayasan kemanusiaan, yang tampaknya telah digunakan Sue untuk menciptakan perdamaian dunia, meski bagian ini disampaikan secara singkat lewat montase cepat yang penuh gaya.
Komik pertama yang menampilkan karakter-karakter ini terbit pada tahun 1961, dan gaya visual film ini sangat terinspirasi dari era tersebut, mulai dari seragam biru identik Fantastic Four hingga sepatu putih bergaya tahun 60-an.
Dunia dalam film ini bukanlah dunia di mana SpaceX atau Blue Origin, perusahaan luar angkasa milik para miliarder masa kini sudah terpikirkan. Sebaliknya, ini adalah dunia dengan mobil terbang, robot seukuran balita bernama H.E.R.B.I.E yang membantu pekerjaan rumah, serta layar-layar berbentuk kotak seperti televisi lawas.
Meskipun Reed adalah ilmuwan jenius, ia bahkan baru saja menemukan cara untuk mentransportasi benda, ia masih menulis rumus-rumusnya di papan tulis kapur.
Jika kalian pernah melihat cuplikan dari serial TV lama seperti The Jetsons atau Lost in Space, yang juga berasal dari era komik Fantastic Four pertama, kamu pasti familiar dengan gambaran masa depan bergaya kartun yang seperti ini.
Ikatan keluarga antar anggota tim menjadi tema utama dalam film ini, bahkan lebih menonjol daripada misi menyelamatkan umat manusia. Di awal cerita, Sue mengetahui bahwa dirinya hamil.
Reed yang panik menghadapi peran sebagai ayah meminta bantuan robot H.E.R.B.I.E. untuk mengamankan rumah dan laboratorium dari risiko bagi bayi. Sementara itu, Johnny dan Ben sering kali menjadi sumber humor dengan pertengkaran kecil mereka, namun tetap menunjukkan antusiasme sebagai calon paman.
Namun tak lama kemudian, Bumi benar-benar menghadapi ancaman besar dari Galactus, makhluk luar angkasa raksasa berzirah dengan mata bercahaya yang bertahan hidup dengan cara melahap planet. Ia mengirim utusan bernama Silver Surfer untuk menyampaikan niatnya menghancurkan Bumi.
Karakter Surfer diperankan oleh Julia Garner melalui teknologi motion capture, sosok ramping berlapis logam yang menjadi efek visual paling mengesankan dan elegan dalam film ini, dan langsung membuat Johnny jatuh hati.
Seiring cerita dan aksi mulai berkembang, film ini terasa seperti petualangan anak-anak yang sederhana, meskipun aneh karena mencakup adegan Sue melahirkan saat berada di luar angkasa, di tengah upaya tim mengejar Galactus sambil dikejar Surfer.
Sebagian besar efek visual ditampilkan sebagai pusaran cahaya, ditambah dengan Johnny yang melayang dalam api melintasi layar. Dari segi aksi ala Marvel, film ini tampil lebih sederhana, namun tetap selaras dengan nuansa retro penuh warna yang diusung sepanjang cerita.
Meski para karakter menjalankan rencana-rencana gila untuk menyelamatkan dunia, para aktor tetap berhasil menjaga emosi karakter mereka terasa nyata dan menyentuh. Dalam adegan aksi besar di akhir film, akhirnya kita melihat Reed meregang seperti karet, sementara Sue berusaha menahan Galactus dengan medan pelindungnya.
Namun yang paling menonjol adalah energi keibuan dan kebapakan yang kuat dari Pascal dan Kirby dalam memerankan Sue dan Reed.
Sepanjang film, Ebon Moss-Bachrach juga berhasil menghidupkan karakter Ben hampir sepenuhnya lewat suaranya saja, menjadikan The Thing bukan sekadar sosok berbatu, tapi pribadi yang setia, hangat, dan sedikit kesepian di balik penampilannya yang keras.
Sutradara Matt Shakman sebagian besar berkarier di dunia televisi, dan sebelumnya menyutradarai seluruh episode serial Marvel WandaVision. Seperti yang ia lakukan dalam serial tersebut, di film ini ia juga piawai menyeimbangkan sisi emosional para karakter dengan aksi-aksi magis mereka.
Namun, meskipun film ini tampil dengan gaya ringan yang rapi dan penuh warna, tetap saja terasa kurang dalam hal ketegangan atau rasa penasaran yang seharusnya membuat penonton benar-benar terpikat.
Marvel sendiri sudah mengumumkan bahwa para karakter ini akan kembali muncul di film-film mendatang, jadi kita tahu bahwa mereka tidak akan benar-benar mati. Film superhero terbaik biasanya membuat kita lupa akan absurditas ceritanya, tapi dalam The Fantastic Four, sisi kekonyolannya justru terus-menerus terasa di hadapan kita.
Pada akhirnya, subjudul First Steps benar-benar mencerminkan isi film ini. Film ini terasa seperti langkah awal atau pemanasan, yang berfungsi memperkenalkan karakter-karakter yang nantinya akan menjadi bagian penting dalam jagat MCU.
Di akhir adegan post-credit kedua, diumumkan bahwa The Fantastic Four akan kembali dalam Avengers: Doomsday, film berikutnya dalam waralaba ini.
Para karakter ini cukup kuat untuk tampil menonjol di tengah banyaknya superhero lainnya, tapi seiring itu, kita juga bisa merasakan dorongan untuk segera membuka Wikipedia dan mencari tahu lebih dalam.

Distika Safara Setianda
Editor
