Nasional

Seperti Hilang Ditelan Bumi, Bagaimana Perkembangan Terakhir Kasus Pagar Laut?

  • Setelah pembongkaran rampung dan sorotan media mulai memudar, kisah dan keberlanjutan kasus ini seolah hilang ditelan bumi.
pagar laut.jpg

TANGERANG - Di balik tenangnya ombak pesisir utara Tangerang, kisah tentang pagar laut sepanjang 30 kilometer yang sempat berdiri megah kini seperti tinggal kenangan.

Dulu, pagar ini menghalangi akses nelayan melaut, membentang dari bibir pantai hingga menjorok ke laut. Kini, seluruh pagar telah dibongkar. Namun, kasusnya menyisakan banyak tanda tanya, siapa yang sebenarnya bertanggung jawab, bagaimana proses hukumnya, dan yang paling penting, bagaimana nasib nelayan setelahnya?

Kisah bermula dari aduan para nelayan pada awal Januari 2025. Mereka mengaku kesulitan melaut akibat pagar laut dari bambu yang membentang tanpa izin, memaksa mereka memutar jauh dan menghabiskan lebih banyak bahan bakar. 

Padahal, laporan soal pagar ini sebenarnya sudah masuk ke Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten sejak Agustus 2024, saat panjangnya baru 7 kilometer. Namun, hingga Januari 2025, pagar itu tumbuh liar menjadi lebih dari 30 kilometer.

Kini, setelah pembongkaran rampung dan sorotan media mulai memudar, kisah dan keberlanjutan kasus ini seolah hilang ditelan bumi. Tak lagi ramai diberitakan, tak jelas pula kelanjutan proses hukumnya. Sementara nelayan, yang dulu berada di barisan paling terdampak, perlahan kembali ke laut, dengan luka-luka sunyi yang belum tentu sembuh.

“Apabila terbukti tidak mengantongi izin, pihaknya akan melakukan pencabutan terkait pelanggaran izin penggunaan ruang laut itu. Pasti dicabut, artinya bangunan-bangunan yang ada di situ ya harus dihentikan,” tegas Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono kala itu, dikutip Selasa, 22 April 2025.

Dari Keluhan ke Aksi Negara

Desakan publik dan tekanan media membuat pemerintah bergerak cepat. Presiden Prabowo Subianto secara langsung memerintahkan pembongkaran pagar.

 TNI AL pun turun tangan, dan pada 18 Januari 2025, pembongkaran resmi dimulai. Dua belas bulan kemudian, tepatnya pada 13 Desember 2025, pagar sepanjang 30,16 kilometer itu selesai dibongkar, resmi mengakhiri salah satu polemik kelautan terbesar tahun ini.

Namun pembongkaran hanyalah permukaan dari persoalan yang lebih dalam.  menegaskan bahwa semua bangunan di laut tanpa izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) harus dicabut. “Bangunan-bangunan yang tidak punya izin, pasti kita hentikan,”  tegas Trenggono dihadapan awak media kala itu.

Kades dan Jaringan Rakyat Pantura Jadi Sorotan

Salah satu tokoh yang terseret adalah Kepala Desa Kohod, Arsin bin Sanip. Ia viral di media sosial setelah terekam video sedang berdebat dengan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid, membela keberadaan pagar. 

Arsin bahkan dijuluki "mandor pagar laut." Dalam penyelidikan, ia disebut menjadi salah satu otak di balik pemagaran laut. Pada tanggal 31 Januari 2025, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah memeriksa sedikitnya 13 saksi, termasuk dua perwakilan Jaringan Rakyat Pantura (JRP) yang mengaku membangun pagar secara swadaya.

Namun, klaim "swadaya" itu menuai kritik. Anggota DPR dari Fraksi PKS, Mulyanto, menyebut biaya pembangunan pagar laut sepanjang itu bisa mencapai Rp15 miliar, mustahil dibiayai oleh nelayan biasa. 

Sanksi Miliaran dan Akhir Investigasi

Puncaknya, KKP menjatuhkan sanksi denda sebesar Rp48 miliar kepada dua pelaku utama, termasuk Kades Arsin. Menteri Trenggono menyatakan, proses investigasi kini dihentikan karena telah ada pihak yang bertanggung jawab. 

Menurut Trenggono dua pelaku sudah terbukti nyata melakukan pemagaran sehingga investigasi dihentikan, jelas Trenggono dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR pada tanggal 27 Februari 2025.

“Pada akhirnya melalui penyelidikan maka ditemukan dua pelaku yang jelas yang telah terbukti secara nyata melakukan pemagaran dan yang bersangkutan telah mendapatkan sanksi administratif,” ujar Trenggono, di kompleks parlemen senayan.

Namun hingga kini masyarakat nelayan masih menunggu pemulihan. Masyarakat telah kehilangan waktu, biaya, bahkan pendapatan akibat proyek pagar yang kini dianggap ilegal. Sebagian pihak juga menuntut transparansi dana, audit penggunaan material, dan evaluasi pengawasan zonasi laut ke depan.

Kasus pagar laut ini menjadi cermin penting bahwa konflik ruang laut bukan lagi sekadar soal batas administratif, tapi menyangkut hidup orang banyak. Negara harus hadir tidak hanya sebagai penghukum, tetapi juga sebagai pelindung ruang hidup rakyatnya.