Semarak Amuk Rakyat Menyambut Hari Kemerdekaan
- Tak ada jalan lain, satu-satunya jalan mencegah kebocoran adalah penegakan hukum yang memberi efek jera. Jangan lagi ada koruptor yang mendapat remisi dan peninjauan kembali, seperti halnya Setya Novanto.

Andi Reza Rohadian
Author


Semarak hari kemerdekaan sudah berlangsung lebih dulu di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Sayangnya pesta rakyat di wilayah pesisir itu bukan dalam suasana penuh kegembiraaan. Sebaliknya rakyat Kota Manggis menyambut peringatan HUT RI dengan penuh amarah.
Mereka kecewa, mereka sakit hati, mereka muak terhadap Bupati Sudewo yang menaikkan Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250%. Tak pelak, pada Rabu, 13 Agustus silam sekitar 100.000 berkumpul di Alun-Alun Pati yang berseberangan dengan Pendopo Kabupaten Pati.
Amuk warga Bumi Mina Tani yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Pati Bersatu tersulut oleh ucapan Sudewo yang tak takut dengan ancaman datangnya demo oleh 5.000 orang. Ia bahkan sesumbar, ”Lima puluh ribu orang pun saya akan hadapi.” Pernyataan bernada arogan itulah yang menyulut amarah rakyat. Mereka menuntut Sudewo mundur.
Di tengah kepungan massa, Sudewo naik ke kendaraan taktis polisi. Tapi amuk massa memaksanya hanya menyampaikan pidato singkat. "Saya minta maaf yang sebesar-besarnya, saya akan berbuat yang lebih baik, terima kasih," katanya di tengah lemparan sandal dan botol mineral dari masyarakat yang menyemut di depan Pendopo Kabupaten Pati.
Meski politisi Gerindra itu menyampaikan pembatalan kenaikan PBB, rakyat kadung tak percaya terhadapnya. Mereka menuntut Sudewo mundur. Dan tuntutan ini pun diakomodasi oleh DPRD Pati yang siap menggelar hak angket.
Aksi menuntut pembatalan kenaikan PBB-P2 juga pecah di Bone, Sulawesi Selatan. Selasa, 19 Agustus lalu, ratusan masyarakat berdemo di halaman kantor Bupati Bone. Tapi tuntutan untuk meminta penjelasan atas kenaikan PBB-P2 yang mencapai 300% terhadap Bupati Andi Asman Sulaiman tak berjawab. Menurut Kadis Komdigi Bone, Anwar, bupati sedang ke luar kota.
Amuk massa pun pecah. Mereka mendobrak barikade dan berusaha merangsek ke halaman Kantor Kabupaten Bone. Aksi mereka dihadang aparat keamanan. Bentrok fisik tak terhindari. Sejumlah peserta aksi dan aparat keamanan dilarikan ke rumah sakit atas luka-luka yang dialami saat kontak fisik.
Anwar menyampaikan kenaikan PBB-P2 sebesar 300% adalah hoaks. “Yang benar hanya 65%,” ujarnya. Kenaikan PBB-P2 gila-gilaan juga terjadi di sejumlah daerah lainnya. Seperti Cirebon yang naik 1000%, Jember (100%-400%), Jombang (1.202%), Semarang (441%). Total jenderal ada 104 daerah yang menaikkan PBB, 20 diantaranya di atas 20%.
Penyebab dari kenaikan PBB-P2 yang tak masuk akal ini tak lain pemangkasan anggaran TKD (Transfer Keuangan Daerah). Dalam RAPBN 2026, anggaran TKD ditetapkan sebesar Rp650 triliun, terkoreksi sebesar 24,8 persen dari proyeksi TKD 2025 sebesar Rp864,1 triliun.
Mengadu ke PBB
Dana Transfer ke Daerah (TKD) adalah bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditujukan untuk mendanai berbagai layanan publik, mendukung pelaksanaan pemerintahan daerah dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Dana ini merupakan instrumen penting dalam desentralisasi fiskal, yang meliputi Dana Perimbangan, Dana Insentif Daerah, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penurunan ini menjadi perhatian karena dapat mempengaruhi kemampuan daerah dalam melaksanakan program pembangunan dan pelayanan publik. Pemerintah pusat sendiri yakin bahwa penurunan ini tidak akan menghambat pembangunan, karena pemerintah daerah diharapkan mampu meningkatkan kemandirian fiskal mereka.
Namun, beberapa pihak khawatir penurunan ini dapat berdampak pada pelaksanaan program-program pembangunan daerah. Faktanya, saat ini para pengusaha menghadapi bisnis yang lesu, rakyat susah mendapat kerja, data pendapatan kelas menengah yang terus anjlok.
Ini berbanding terbalik dengan klaim pemerintah yang dengan bangganya memaparkan sejumlah rekor tertinggi sepanjang sejarah. Dalam pidato kenegaraan di Sidang Tahunan MPR tanggal 16 Agustus silam, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pertumbuhan ekonomi triwulan kedua 2025 tumbuh 5,12% (year on year), lalu tingkat kemiskinan menjadi yang terendah dalam sejarah.
Tingkat pengangguran turun menjadi 4,76% di Februari 2025 dari 4,82% tahun lalu, dengan 3,6 juta lapangan kerja baru yang berhasil diciptakan. Presiden kedelapan RI bahaan menyebut tingkat kemiskinan ditekan menjadi 8,47% juga sebagai ”terendah sepanjang sejarah.”
Celios (Center of Economic and Law Studies) meragukan data yang disampaikan presiden. Lembaga pengkajian itu menduga angka pertumbuhan ekonomi 5,12% tidak sesuai dengan kondisi riil, terutama jika dilihat dari indikator-indikator ekonomi, seperti data manufaktur dan ekspor.
Nyatanya, manufaktur mengalami kontraksi, dan data ekspor tak sesuai dengan kondisi ekonomi global yang lesu. Atas keraguan tersebut, Celios sampai-sampai mengirimkan surat ke PBB untuk meminta dilakukannya audit terhadap data pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 yang dirilis oleh BPS.
Keraguan Celios tak berlebihan. Data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan PHK mencapai 42.385 orang di semester I 2025, naik 32,3 persen dibandingkan dengan periode sama tahun lalu. Lantas, merujuk data BPS terbaru, jumlah penganggur pada Februari 2025 bertambah 80.000 orang dari setahun sebelumnya.
BPS memberikan catatan bahwa peningkatan penganggur tersebut seiring dengan bertambahnya jumlah angkatan kerja yang mencapai 3,67 juta orang. Saat ini masih terdapat 23,85 juta penduduk miskin di Tanah Air.
Terus Dibebani Pungutan
Selain itu pemerintah juga terus membebani rakyat dengan berbagai pungutan. Tercatat, sedikitnya ada delapan pajak dan pungutan baru yang akan dipungut. Yakni, kenaikan PPN 12 % untuk barang mewah, opsen pajak kendaraan bermoptor dan bea balik nama kendaraan bermotor, hingga kenaikan Iuran BPJS Kesehatan.
Ada pula dana pensiun wajib, iuran Tabungan Perumahan Rakyat, Asuransi tanggung jawab hukum pihak ketiga (TPL) terkait kecelakaan lalu lintas, cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK), dan ada juga rencana kenaikan tarif Iuran Pembangunan Institusi (IPI) Perguruan Tinggi Negeri Program Sarjana dan Vokasi.
Betul, penerapan pungutan-pungutan baru ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dan menjaga keberlanjutan program-program sosial, namun juga berpotensi menimbulkan dampak terhadap daya beli masyarakat.
Dan ini yang paling menyakitkan perasaan rakyat, semakin gencaranya pengutipan pajak diikuti oleh peningkatan pendapatan DPR yang mencapai Rp100 juta per bulan dan fasilitas bagi pejabat eselon 1 (antara lain mobil dinas Rp 931 juta dan hotel Rp9,3 juta oper malam), yang tak sesuai dengan program efisiensi yang dicanangkan presiden.
Rakyat tentu belum lupa juga dengan perilaku aparat pajak yang hidup bergelimang kemewahan dari hasil manipulasi. Yang terbaru, Muhammad Haniv, mantan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Khusus, yang menerima dana haram sebesar Rp 21,56 miliar, juga Rafael Alun, Gayus Tambunan (kekayaan yang tercatat 56,1 miliar).
Lainnya adalah Handang Soekarno, Dhana Widyatmika, Pargono Riyadi, Alfred Simanjuntak, Wawan Ridwan, Bahasyim Assifie, Angin Prayitno Aji, Muhammad Asrul Zani. Kunci untuk mengatasi kekurangan pendapatan negara adalah mengatasi kebocoran pajak.
Sekadar mengingatkan, sekitar tahun 80an, ayahanda Prabowo, yakni Soemitro Djojohadikuusumo menyampaikan kebocoran APBN pada masa itu mencapai 30%. Dan agaknya dari tahun ke tahun kebocoran semakin lebar. Ambil contoh kasus korupsi pembangunan BTS 4G pada tahun 2020-2022.
Nah, dari nilai proyek sebesar Rp10 triliun, Kejaksaan Agung menemukan kerugian negara sebesar Rp8 triliun!
Tak Takut Tuhan
Tak ada jalan lain, satu-satunya jalan mencegah kebocoran adalah penegakan hukum yang memberi efek jera. Jangan lagi ada koruptor yang mendapat remisi dan peninjauan kembali, seperti halnya Setya Novanto, mantan Ketua DPR yang terbukti korupsi Rp2,3 triliun, tapi mendapatkan pembebasan bersayarat pada tanggal 17 Agustus kemarin.
Di sini hakim benar-benar mencederai rasa keadilan masyarakat. Sungguh menyakitkan. Asal tahu saja, MA memberi PK bagi Setya tanggal 4 Juni, hanya berselang delapan hari sebelum Presiden Prabowo menaikkan gaji hakim sebesar 280%.
Kalau sudah begini, masyarakat niscaya ingat pada Hakim Agung almarhum Artidjo Alkostar. Di tangannya tak ada satu orang pun terpidana korupsi yang mendapat korting hukuman. Yang ada permohonan kasasi maupun PK yang mereka ajukan diganjar dengan hukuman lebih berat.
Tapi setelah Artidjo meninggal, satu per satu terpidana korupsi mengajukan kasasi dan PK, dan semuanya berbuah “manis”. Jadi persoalannya bukan gaji yang tidak cukup, tapi soal tiadanya rasa takut terhadap sumpah yang dipanjatkan terhadap Tuhan.
Beginilah negara kita. Dulu sesuai amanat reformasi, terpidana korupsi diharamkan mendapat remisi. Tapi dengan alasan itu melanggar HAM, Mahkamah Konstitusi lantas membuka kembali keran bagi koruptor mengajukan remisi.
Demikian halnya hak koruptor untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, sejak beberapa tahun silam diperkenankan kembali maju dengan syarat jeda satu periode setelah bebas.

Andi Reza Rohadian
Editor
