Sejarah Pendirian Hamas dan Tuntutan Merdeka 100 Persen
- Hamas sejak awal mengusung ideologi Islamis yang menginginkan Palestina Merdeka 100%, menolak eksistensi negara Israel, dan menempuh jalur perjuangan bersenjata sebagai strategi utama pembebasan Palestina.

Muhammad Imam Hatami
Author


GAZA - Hamas, atau dalam bahasa Arab disebut Ḥarakat al-Muqāwamah al-Islāmiyyah (Gerakan Perlawanan Islam), lahir pada akhir tahun 1987 di tengah gejolak Intifada Pertama, sebuah pemberontakan rakyat Palestina terhadap pendudukan Israel di wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Dilansir dari laman Ensiklopedia Britanica, Rabu, 25 Juni 2025, Organisasi ini berakar dari cabang lokal Ikhwanul Muslimin (Muslim Brotherhood) di Palestina. Berbeda dari Otoritas Palestina (PLO) yang berhaluan sekuler dan cenderung moderat.
Hamas sejak awal mengusung ideologi Islamis yang menginginkan Palestina Merdeka 100%, menolak eksistensi negara Israel, dan menempuh jalur perjuangan bersenjata sebagai strategi utama pembebasan Palestina.
Pada tahun 1988, Hamas merilis piagam pendiriannya yang menegaskan bahwa seluruh tanah Palestina adalah milik umat Islam, dan tidak boleh diserahkan atau dikompromikan kepada non-Muslim.
Dalam dokumen ini, Hamas tidak hanya menyatakan penolakan terhadap perjanjian damai dengan Israel, tetapi juga menyatakan bahwa solusi terhadap konflik Palestina–Israel harus melalui perlawanan total. Piagam ini menempatkan perjuangan Hamas sebagai bagian dari jihad keagamaan dan nasional.
Hamas juga membentuk sayap militernya yang bernama Brigade ʿIzz al-Dīn al-Qassām, dinamai dari tokoh pejuang anti-kolonial yang tewas dalam konfrontasi dengan pasukan Inggris dan Zionis pada tahun 1935. Sayap inilah yang kemudian menjadi kekuatan utama dalam konflik bersenjata melawan Israel.
- Industri Teknologi Masih Terlalu Maskulin, Peran Perempuan Masih Sangat Minim
- Jalan Ninja Anak Muda Hemat Biaya Hidup
- Tanpa Gencatan Senjata, Ekonomi 5 Negara Asia ini Terancam Remuk
Dari Gerakan Bawah Tanah ke Arena Politik
Selama tahun-tahun awal berdirinya, Hamas beroperasi sebagai gerakan bawah tanah di wilayah Palestina yang diduduki. Namun, situasi berubah ketika pada pemilu legislatif Palestina tahun 2006, Hamas secara mengejutkan mengalahkan Fatah, partai yang selama ini menguasai Otoritas Palestina.
Kemenangan ini memicu krisis politik besar. Pada tahun 2007, setelah bentrokan bersenjata dengan Fatah, Hamas berhasil mengambil alih Jalur Gaza, sementara Fatah tetap berkuasa di Tepi Barat. Sejak itu, Palestina terpecah secara de facto menjadi dua entitas pemerintahan.
Langkah Hamas memicu reaksi keras dari dunia internasional. Amerika Serikat (sejak 1997) dan Uni Eropa (sejak 2003) menyatakan Hamas sebagai organisasi teroris. Sejumlah negara Arab juga menjaga jarak, terutama setelah Hamas berpihak pada oposisi dalam konflik Suriah.
Namun, hubungan dengan negara seperti Iran dan Qatar kemudian menjadi penopang penting, baik dalam aspek militer, diplomasi, maupun bantuan kemanusiaan. Kepemimpinan Hamas pun berpindah-pindah mengikuti dinamika politik regional, dari Amman ke Damaskus, lalu Doha (Qatar), hingga akhirnya kembali berfokus pada kepemimpinan lokal di Gaza.
Seiring berjalannya waktu, Hamas menunjukkan sinyal-sinyal pragmatisme, termasuk menyatakan keterbukaan terhadap solusi dua negara berdasarkan perbatasan pra-1967. Namun, penolakan formal terhadap legitimasi Israel dan keberlanjutan perlawanan bersenjata tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas politik Hamas.
Konflik terbaru pada 7 Oktober 2023, di mana Hamas dan kelompok Jihad Islam Palestina menyerang Israel secara mendadak, menewaskan lebih dari 1.200 orang dan menyandera ratusan lainnya, menjadikan Hamas kembali dalam sorotan internasional, baik sebagai aktor perlawanan maupun sebagai subjek kecaman global.
Kematian tokoh penting seperti Ismail Haniyeh dan Yahya Sinwar pada tahun 2024, akibat serangan Israel, menyisakan kekosongan kepemimpinan di tubuh Hamas dan membuka babak baru dalam arah gerakan ini ke depan.
Sejak didirikan pada 1987, Hamas telah berevolusi dari gerakan Islamis bawah tanah menjadi kekuatan politik dan militer dominan di Jalur Gaza. Dalam sejarah yang penuh pertentangan, Hamas tetap mempertahankan satu hal, keyakinan bahwa kemerdekaan Palestina harus diperjuangkan secara utuh, tanpa kompromi.
Sebuah prinsip yang membuatnya bertahan di tengah tekanan global, meski dengan harga yang sangat mahal bagi rakyat Palestina.

Amirudin Zuhri
Editor
