Tren Global

Sederet Konflik Perbatasan di ASEAN, Ancam Stabilitas Kawasan

  • Meski ada integrasi ASEAN, sengketa perbatasan seperti Sipadan-Ligitan, Pedra Branca, dan Preah Vihear tetap memicu ketegangan, bahkan bentrokan militer
asean.jpg

JAKARTA - Konflik perbatasan masih menjadi potensi destabilisasi di Asia Tenggara, bahkan di tengah semangat integrasi ASEAN. Sejumlah kasus memperlihatkan meski jalur damai seperti Mahkamah Internasional (ICJ) dan mediasi regional telah ditempuh, kompleksitas sejarah, politik domestik, dan keterbatasan kelembagaan ASEAN sering kali membuat konflik perbatasan berlangsung lama, bahkan berujung bentrokan bersenjata. 

Dilansir TrenAsia dari berbagai sumber, Senin, 28 Juli 2025, berikut sederet kasus sengketa perbatasan di Asia Tenggara,

Sipadan-Ligitan (Indonesia vs Malaysia)

Sengketa dua pulau kecil di Laut Sulawesi ini dimulai sejak tahun1969. Setelah negosiasi bilateral gagal selama hampir tiga dekade, Indonesia dan Malaysia sepakat menyerahkan perkara ke ICJ lewat Special Agreement 1997. 

ICJ memutuskan pada 2002 bahwa kedua pulau jatuh ke tangan Malaysia. Putusan itu berdasar prinsip effective control, termasuk keberadaan mercusuar dan perlindungan satwa yang dikelola pemerintah kolonial Inggris dan Malaysia. Indonesia gagal membuktikan adanya pengelolaan administratif atas pulau tersebut.

Kendati kalah, Indonesia menerima putusan demi stabilitas kawasan dan kemudian membentuk Joint Management Committee bersama Malaysia untuk pengembangan pariwisata dan konservasi. Kerja sama maritim juga diperkuat dalam menghadapi isu perompakan dan illegal fishing.

Sengketa Pedra Branca (Malaysia vs Singapura)

Sengketa ini bermula dari klaim atas pulau kecil di ujung timur Singapura. ICJ pada 2008 memutuskan Singapura berhak atas Pedra Branca karena bukti penguasaan administratif sejak abad ke-19, termasuk pembangunan mercusuar Horsburgh. 

Malaysia mendapat Middle Rocks, sementara status South Ledge tergantung demarkasi laut teritorial. Setelah putusan, dibentuk Komite Teknis Gabungan antara dua negara untuk mengatur batas maritim dan konservasi lingkungan. Meski Malaysia sempat mengajukan revisi pada tahun 2017, permohonan itu dicabut setahun kemudian.

Konflik Preah Vihear (Thailand vs Kamboja)

Berbeda dengan dua sengketa sebelumnya, konflik Preah Vihear melibatkan bentrokan militer berulang. Meski ICJ telah menetapkan kepemilikan candi pada Kamboja sejak 1962 dan diperkuat lagi pada 2013, sengketa lahan sekitar dan akses ke candi masih menjadi pemicu kekerasan. 

Situasi memanas kembali setelah UNESCO mengakui candi ini sebagai Warisan Dunia pada tahun 2008 berdasarkan pengajuan Kamboja. Thailand menuduh langkah ini melanggar MoU 2000 karena mencakup zona penyangga yang disengketakan. 

Bentrokan bersenjata pun pecah pada 2008-2011 dan kembali pada Juli 2025, menewaskan 33 orang dan mengungsi lebih dari 120.000 warga. ASEAN dikritik lamban dalam merespons eskalasi. 

Meski Indonesia sempat menjadi mediator pada tahun 2011 dan Amerika Serikat turun tangan dalam konflik yang kembali memanas pada bulan ini 2025, belum ada resolusi permanen. UNESCO pun menghadapi dilema: niat konservasi justru memantik konflik.

Dalam tiga kasus tersebut, terlihat perbedaan mencolok dalam mekanisme penyelesaian dan dampaknya. Sengketa Sipadan-Ligitan diselesaikan lewat ICJ dengan dasar effective control, berujung pada kerja sama konservasi. 

Pedra Branca menunjukkan mekanisme inovatif, ICJ membagi kedaulatan dan dibentuk komite teknis bersama, menghasilkan stabilitas. 

Sementara itu, Preah Vihear menjadi contoh kompleksitas konflik budaya, sejarah, dan nasionalisme, yang meski telah diputuskan ICJ tetap berulang menjadi konflik bersenjata. Peran ASEAN lebih terasa pada kasus Preah Vihear, namun efektivitasnya dipertanyakan karena lambannya respons terhadap eskalasi.